Wacana koalisi Partai Gerindra dengan Partai Demokrat mencuat setelah usai pertemuan SBY dan Prabowo di Istana Negara, 24 Desember 2013 yang lalu. Hal ini merupakan pertemuan yang kedua sejak Maret 2013. Pertemuan semacam ini tentunya bukan pertemuan biasa, sebab jika dua elite partai bertemu tentunya memiliki agenda politik tertentu. Peluang koalisi kedua partai ini terbuka untuk Pilpres 2014, di samping itu upaya-upaya komunikasi koalisi harus terus berjalan tanpa harus menunggu hasil pemilu legislatif.
Partai Gerindra dan Demokrat masih mempunyai peluang untuk berkoalisi, karena komunikasi politik antara Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo sudah dibangun dengan beberapa kali pertemuan. Pertemuan SBY dan Prabowo bisa juga dikategorikan berupa memberikan pencerahan dan pendidikan politik yang positif bagi masyarakat dan bangsa ini. Seorang politisi yang handal harus mampu melakukan komunikasi dengan politisi lainnya demi untuk kemaslahatan bangsa dan negara ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengenai figur Prabowo sendiri merupakan figur yang visioner, sebagai mantan tentara tentunya Prabowo mampu berstrategi. Kalau kita lihat latar belakang Prabowo dengan SBY akan sama, yaitu sama-sama tentara. Jadi Prabowo juga punya visi membangun negeri.
Di sisi lain Demokrat sangat terbuka, bersahabat dengan siapa saja. Sejak awal SBY mengatakan tidak mungkin hanya Demokrat saja yang mengatur negeri ini, oleh sebab itu maka diperlukan koalisi. Dalam politik koalisi bisa saja terjadi dengan partai apa saja, namun yang perlu diperhatikan, bahwa koalisi itu harus ideologis, yaitu sepaham dan sejalan.
M Qodari pengamat politik Indo Barometer menilai, pertemuan SBY dengan Prabowo ini sangat strategis sekali. Pasalnya, keduanya sama-sama memiliki pengaruh kuat dalam pengambilan kebijakan strategis partai. Prabowo Subianto saat ini menjabat Ketua Dewan Pembina Gerindra sedangkan SBY adalah Ketua Umum Partai Demokrat. SBY sudah bisa melihat kemungkinan koalisi dengan Gerindra.
Qodari mengatakan, koalisi Partai Gerindra dengan Demokrat adalah format yang paling logis. Hal ini karena pertama Gerindra dan Demokrat berdasarkan hasil survei sekarang tidak bisa lolos angka presidential thereshold dalam pemilu legislatif. Sedangkan PDI Perjuangan sebagai partai yang elektabilitasnya selalu unggul dalam survei kemungkinan besar tidak akan mau berkoalisi dengan partai Demokrat dan Gerindra. Hal ini disebabkan suasana batin politik Megawati dengan SBY dan Prabowo tidak sejalan.
Seperti kita ketahui, untuk bisa mencalonkan pasangan capres dan cawapres, dibutuhkan suara partai di pemilu legislative (pileg) sebesar 20%, sebuah prosentase yang cukup berat untuk diraih oleh sebuah partai peserta pemilu di negeri ini, oleh sebab itu maka mulai sekarang perlu rancangan untuk berkoalisi dengan partai lain. Sesungguhnya, peta pencalonan capres di 2014 sampai saat ini, semua masih wacana karena masih menunggu hasil Pemilu Legislatif (pileg) 2014 dan menunggu hasil komunikasi antar partai untuk berkoalisi. Jika sukses menjalin koalisi, maka dipastikan bisa menjagokan jagoannya. Sebaliknya, jika gagal menjalin koalisi, maka dipastikan hanya menjadi penonton dalam pilpres 2014 mendatang. Diharapkan hasil pileg April 2014 mendatang menghasilkan peta politik yang menarik dan bisa memunculkan capres-capres terbaik untuk dipilih di Pilples Juni 2014.
Penulis memprediksi dalam Pileg 2014 mendatang Partai Demokrat akan mengalami penyusutan perolehan suara yang cukup signifikan, sebagian besar hal ini disebabkan kekecewaan publik terhadap karakter kepemimpinan, pencapaian yang masih belum maksimal, serta kasus-kasus yang menjerat kader-kader partai. Di sisi lain partai Gerindra dalam pileg mendatang akan mengalami peningkatan suara yang sangat signifikan, karena konsistensi Prabowo dan Partai Gerindra yang aktif dalam aktifitas politik dan media berdampak besar dalam mengambil simpati pemilih.
Dalam pemilu 2009 Partai Demokrat memperoleh suara 20,85%, diperkirakan Pemilu 2014 akan menperoleh suara 15%, di sisi lain Partai Gerindra pemilu 2009 memperoleh suara 4,46%, diperkirakan dalam Pemilu 2014 mendapat 15% suara.
Kalau dilihat dari rangkaian perjalanan sejarah kepemimpinan nasional, rakyat kita masih memimpikan pemimpin yang berkarakter kuat dari beberapa nama yang muncul sebagai calon pemimpin Indonesia yang akan bertarung pada Pemilu 2014 nanti. Penulis berpendapat ada 2 (dua) nama yang berpotensi menjadi pemimpin sekelas Soekarno maupun Soeharto.
Mereka tersebut adalah Prabowo Subianto, merupakan sosok yang dijuluki oleh Permadi sebagai Soekarno kecil memang berpotensi menjadi seorang pemimpin sekelas Soekarno. Elektabilitas Prabowo pun saat ini harus diperhitungkan karena terbukti dari hasil-hasil survei yang dilakukan oleh beragam lembaga survei menempatkan Prabowo pada urutan atas sebagai sosok Presiden Indonesia. Konsistensi aktivitas politik partai Gerindra yang digawanginya dalam mengusung isu kerakyatan sedikit banyak mulai memanen hasil. Citra Prabowo sebagai pemimpin berkarakter kuat yang pro rakyat mulai dibangun dan sedikit demi sedikit telah mengikis masa lalu kelam (sampai detik ini belum bisa dinilai keabsahannya) yang pernah dilewatinya terutama menjelang pergantian dari Orde Baru ke reformasi, lalu menjelma menjadi figur masa depan harapan Indonesia.
Nama yang berikuynya Jokowi. Penulis menganalogikannya sosok yang dapat mewakili gaya kepemimpinan Soeharto, dengan kepribadian terkesan santun, namun memiliki ketegasan yang luar biasa dalam kepemimpinan (birokrasi atau pemerintahan). Nilai tambah yang dimilikinya adalah kedekatannya dengan masyarakat dan media yang belum banyak dilakukan oleh para pemimpin kita sebelumnya.
Prabowo atau Jokowi
Dengan sosok calon pemimpin tadi, bila kita berbicara kompetensi, maka penulis dengan yakin bahwa Prabowo maupun Jokowi paling layak menduduki kursi Presiden mendatang, namun sangat disayangkan perebutan kursi tersebut tidak cukup berbekal kompetensi saja. Selain kompetensi, faktor kendaraan politik menuju kursi presiden harus lah kuat. Faktor media sama besar perannya memenangkan pertarungan puncak kekuasaan.
Prabowo maupun Jokowi bila kita berbicara kekuatan kendaraan politik harus diakui PDIP dengan basis loyalisnya masih di atas Gerindra, akan tetapi jangan kita lupakan bahwa Gerindra telah berkembang menjadi sebuah kekuatan besar dengan anggota-anggota partai yang sangat aktif bergerak. Dan penulis meyakini pada perhelatan Pemilu 2014 nanti Gerindra akan menunjukkan peningkatan perolehan suara yang sangat signifikan.
Kalau dilihat dari sisi media, Jokowi di posisi puncak, hal ini juga yang mendongkrak dirinya lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia serta membuat elektabilitasnya sangat besar dan selalu berada pada peringkat teratas, namun jangan lupa bahwa Prabowo baru saja merekrut bekas kepala tim media campaign pasangan Jokowi-Ahok saat maju menjadi Gubernur DKI. Hal ini akan berpengaruh besar terhadap kubu Prabowo sejalannya dengan waktu mendekati pemilu. Sampai pada titik ini, Jokowi dapat dikatakan sedikit lebih unggul dari Prabowo. Jika berbicara mengenai kekuatan karakter, maka Prabowo unggul dari Jokowi, karena Prabowo terbebas dari pengaruh baik dari luar maupun dalam, sedangkan Jokowi masih dibayangi oleh sosok Megawati dan hal ini dapat mengurangi kekuatan karakternya.
Sebagai indikator netral untuk melihat apakah Prabowo atau Jokowi yang pantas didukung pada Pemilu 2014 antara lain:
Pertama, pada 2015 Indonesia akan menjalani apa yang disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Masyarakat Politik dan Keamanan ASEAN, sehingga capres yang mengerti atau paham soal ini yang pantas dipilih, karena persiapan terkait masalah ini sekarang ini masih amburadul.
Kedua, pada 2015 sampai 2019, ada beberapa target dari Millenium Development’s Goals yang harus dicapai Indonesia, yang sekarang ini masih minim pencapaiannya.
Ketiga, kemungkinan dampak tapering off yang dilakukan The Fed terhadap ekonomi Indonesia.
Keempat, bagaimana memulihkan wibawa Indonesia di ASEAN yang dapat dikatakan kalah dengan Vietnam.
Kelima, bagaimana mengatasi political and economic turbulence karena China dan AS sama-sama mengarahkan kekuataannya ke kawasan Asia Pasifik yang notabene Indonesia sebagai “pivotalnya” (intinya).
Keenam, siapa dari capres yang memiliki resep canggih mengatasi separatisme, terorisme, konflik sosial dan sengketa lahan ataupun kerukunan beragama yang masih fragile di beberapa daerah.
Capres yang diyakini dapat menyelesaikan masalah tersebut yang layak didukung, apakah Prabowo, Jokowi atau mungkin Tri Rismaharini (Walikota Surabaya). Bila kita mengacu kepada elektabilitas, penulis tidak akan membantah bahwa Jokowi akan memenangkan pertarungan dengan mudah terbukti dari hasil sebagian besar survei yang pernah dilakukan dan menempatkan Jokowi selalu di atas nama-nama calon lainnya. Namun jangan lupa juga bahwa pertarungan nanti bukan pada individu akan tetapi pada pasangan, sehingga hal ini akan membuat faktor calon wakil presiden yang tepat justru akan menjadi penentu pemenang Pilpres 2014 mendatang.
Di sisi lain faktor penentu yang tidak kalah pentingnya dalam pemenangan presiden dan wakil presiden adalah pasangan militer-sipil atau sebaliknya serta pasangan Jawa dan Non Jawa. Menariknya figur Prabowo juga ditunjukkan dengan adanya informasi Priyo Budi Santoso akan dijadikan cawapresnya Prabowo, hal ini diakui sendiri oleh politisi senior Partai Golkar tersebut kepada beberapa media massa pada 29 Desember 2013.
Bagi Partai Gerindra yang terpenting saat ini adalah bagaimana memperoleh ambang batas Presidential Threshold (PT) 20% dalam Pemilu 2014, namun Gerindra harus tetap menjalin komunikasi dengan baik dan santun terhadap partai politik lainnya. Di sisi lain, biarkanlah bergulir wacana koalisi partai Gerindra dengan Partai Demokrat pasca pertemuan SBY dengan Prabowo .
*) Datuak Alat Tjumano adalah peneliti senior di Forum Dialog (Fordial), Jakarta.
(nwk/nwk)











































