Dewasa ini keputusan Pemerintah tersebut berkecenderungan akan dibahas lagi. Dalam hal semacam itu Pemerintah harus tegas yaitu UU Minerba dan PP pelaksanaannya tidak perlu dibahas lagi, harus dilaksanakan.
Pemerintah mulai tahun ini akan menghentikan ekspor mineral mentah. Semua mineral yang boleh diekspor adalah hasil olahan. Kalangan anggota Komisi VII DPR juga mengingatkan pentingnya pemurnian dan pengolahan mineral tersebut.
βKalau hanya pandai menjual bahan mentah, tidak unggul,β kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pada kuliah umum βHipmi dan Mahasiswa Wirausaha Menuju ASEAN Economic Communityβ, di Universitas Jember, Jawa Timur, Sabtu (28/12/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap tahun, Indonesia mengekspor sebanyak 40 juta ton bauksit ke China, padahal kalau diolah menjadi alumina dan terus diolah menjadi aluminium, hasil dan harganya berlipat ganda dibandingkan dengan jika hanya dijual mentahnya.
βJika Indonesia ingin menjadi negara yang unggul dalam bidang industri, salah satu cara yang harus dilakukan adalah tidak mengekspor bahan material mentah lagi,β katanya.
Meski ada pihak yang menolak rencana itu, Hatta dengan tegas mengatakan, semua pihak sebaiknya mengikuti undang-undang. Oleh karena itu, perusahaan tambang di Indonesia harus mempunyai pabrik smelter sebagai tempat pengolahan bahan mentah hasil tambang, antara lain bauksit, pasir besi, emas, dan tembaga.
Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi PDI-P, Bambang Wuryanto, menjelaskan, perdebatan mengenai larangan bahan mentah mineral seharusnya tidak perlu terjadi. βPasal 103 dan 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan. Itu sudah sangat jelas bahwa harus ada pengolahan dan pemurnian,β kata Bambang.
Peraturan pemerintah mengenai larangan ekspor bahan mentah mineral hanya akan memperjelas definisi pemurnian dan mempertegas pembangunan pabrik pengolahan. Semestinya, larangan ekspor bahan mentah mineral harus menyentuh kepentingan industri nasional.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rahkmanto, Minggu (29/12/2013) lalu, menilai, nuansa peraturan pemerintah yang baru hanya fokus pada larangan bahan mentah mineral. βSetelah diolah, bahan tambang masih fokus untuk ekspor. Padahal, pemurniannya juga pasti tidak akan mencapai 100 persen sehingga nilai tambahnya tidak terlalu besar. Seandainya pemerintah mendorong bahan mentah yang sudah diolah itu digunakan untuk kepentingan industri dalam negeri, dampak pengganda ekonominya akan lebih besar,β kata Pri Agung.
Sebelum UU dan peraturan pemerintah disahkan, seharusnya pemerintah sudah memiliki cetak biru industri nasional berbahan baku mineral. Dengan cara itu, Indonesia tidak hanya menjadi tempat pengolahan bahan mineral menjadi bahan setengah jadi, tetapi juga menjadikan bahan setengah jadi itu sebagai bahan baku
Revisi atau Eksekusi
Upaya untuk menunda dan kalau mungkin membatalkan pelaksanaan UU Minerba tersebut khususnya datang dari dua perusahaan Amerika Serikat, yaitu NEWMONT di Nusa Tenggara Barat dan FREEPORT di Papua. Kedua perusahaan besar tersebut selama ini membawa bahan galian tanah dari Nusa Tenggara Barat dan Papua dengan kapal dalam jumlah yang sangat besar. Bahan galian tersebut selain tembaga yang tertera sebagai konsesi juga ternyata emas yang besar kadarnya. Dengan diberlakukannya pengolahan bahan galian harus dilakukan di dalam negeri Indonesia, sehingga setiap perusahaan penambangan harus mempunyai Smelter (tempat pengolahan), mereka akan berkurang keuntungannya.
Untuk mengganggu program ini dimunculkan permasalahan perburuhan yang katanya terpaksa banyak yang harus di PHK. Masalah inilah kini menjadi bahan pembahasan. Sayangnya Yusril Ihza Mahendra sehabis bertemu Presiden juga membuat pernyataan seolah-olah Presiden juga akan meninjau UU Minerba yang sudah lama disahkan. Berita ini harus tidak disiar-siarkan yang mengesankan UU Minerba harus direvisi dahulu.
Semangat yang ingin dicapai dalam UU Minerba adalah meningkatkan nilai tambah dari proses produksi mineral dan batubara, yang diharapkan dapat mendatangkan pajak bagi negara, bahkan secara tidak langsung dapat menciptakan lapangan-lapangan kerja baru di daerah-daerah yang akan dibentuk smelter. Tidak hanya itu saja, pengolahan bahan minerba juga akan dapat memberikan ilmu tambahan kepada para pekerja atau SDM Indonesia di bidang pertambangan. Namun, dari sisi investor yang menanamkan modalnya di bidang minerba ini, memang undang-undang ini akan mengurangi keuntungannya, karena tidak dapat mengekspor minerba secara mentah lagi.
Hanya saja, sebaiknya bahan minerba yang sudah diolah tidak ditujukan pertama kali untuk diekspor, walaupun kegiatan ekspor di bidang minerba dapat meningkatkan cadangan devisa negara kita, namun tidak akan berdampak signifikan terhadap perputaran roda perekonomian di bidang minerba ataupun chain of economic activitiy lainnya. Situasi akan berbeda jika bahan minerba yang sudah diolah tersebut dipergunakan untuk kepentingan dalam negeri terlebih dahulu dan untuk keamanan energy (energy security) kita di masa depan.
*) Otjih Sewandarijatun adalah peneliti senior Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD), Jakarta. Alumnus Universitas Udayana, Bali.
(nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini