‘Cabe-cabean’ tiba-tiba menghentak. Ini istilah baru yang mulai populer. Wujutnya gadis-gadis yang biasa keluyuran di waktu malam. Membiarkan tubuhnya dinikmati lelaki. Demi uang tidak seberapa. Demi menyemarakkan pertarungan di balapan liar. Dan demi nafsu bawah sadar agar tampil sebagai ‘dewi’ yang diperebutkan.
Gadis-gadis itu, usia anak SMP dan SMU, melakukan sesuatu yang harusnya belum layak dilakukan. Dia merelakan tubuhnya dinikmati laki-laki untuk kesenangan. Menjadi hadiah bagi yang menang balapan pacu motor. Dan disebut ‘cabe-cabean’ karena konotasinya sebagai penghangat malam, menggairahkan para petarung untuk berlaga, mirip kapok lombok, pedas tetapi membuat ketagihan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nakal itu lumrah. Selagi tidak terlalu menabrak tatanan hukum dan susila. Namun ‘cabe-cabean’ ini sudah terlalu menyimpang. Melakukan pelanggaran banyak sendi. Merusak diri sendiri, lingkungan, dan tidak terbayangkan jika dikaitkan dengan generasi bangsa ini ke depan. Benarkah itu karena hilangnya nilai keteladanan dari orangtua di dalam keluarga dan pemimpin dari bagan besar yang disebut negara?
Jika kita menoleh ke kasus impor daging yang melibatkan Fathanah dan Lutfi Hasan Ishaq (LHI) yang mantan presiden PKS, memang tudingan itu tidak salah. Kaca buram itu terpampang dan terekspos begitu gencar. Bukan main banyaknya ‘bidadari’ di kasus ini. Berbagai peran disandang. Berbagai wajah terpampang. Dan terbayang, seperti apa praktik simbiose mutualisme antara para ‘bidadari’ yang puluhan itu. Ini bak Negeri Trembini. Negeri syahwat bagi yang syur.
Kasus korupsi impor daging itu tampil seperti sinetron. Bukan soal duit miliran rupiah dan ironi mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai ‘partai dakwah’, tapi munculnya nama-nama baru perempuan di baliknya. Perempuan-perempuan itu datang dari berbagai profesi. Ada yang artis dan penyanyi. Ada yang pelajar dan tetangga. Ada pengusaha , sehingga perempuan-perempuan itu menyemut ke Fathanah karena diberi mobil, uang dan perhiasan yang wah.
Ini mengingatkan pada Negeri Trembini. Negeri mitos, yang dalam banyak kepercayaan, diyakini hanya dihuni perempuan. Tidak ada laki-laki. Mereka garang-garang. Kalau sampai ada laki-laki yang nyasar, dia diperkosa ramai-ramai sampai menemui ajalnya.
Di Pulau Jawa, negeri mitos itu mengalir dalam darah pengelana berkah. Menghidupi batin sepi di ranah kesunyian. Meramaikan ruang gung-liwang-liwung. Menyatukan dunia nyata dan impian dalam gelegak nafsu. Dan itu acap menyembul sebagai ‘negeri impian’ laki-laki yang dalam hati kecilnya bercita-cita sebagai lelanange jagad. Lelaki penuh nafsu yang dipuasi multi perempuan.
Letak negeri mitos itu dalam khasanah lama ada di Pulau Sempu. Sebuah pulau karang, kecil, dihuni banyak ular, bertahan dari gempuran ombak besar di daerah Malang Selatan. Ketika pulau ini ramai berkat pariwisata, negeri mitos itu pun sirna dengan sendirinya. Dongeng tentang Negeri Trembini raib. Juga asosiasi dan imajinasi yang percaya tentang perempuan-perempuan garang di laga dan ranjang.
Negeri Trembini juga mengemuka dalam banyak serat. Dalam Balsafah Gatoloco, Cemara Jamus adalah kerajaan perempuan. Ratu dan panglimanya ada yang berkulit kuning, putih, hitam, dan kemerahan. Sedang pembesar serta rakyatnya ada yang berambut keriting, berombak, lurus dan beralun. Ini disebut, karena kulit, rambut, mata, alis, dan lagak (gaya berjalan dan bicara) merupakan cerminan watak perempuan. Dia tipe galak atau santun. Dia kebendaan atau spiritualis. Dia pengabdi atau penguji kesabaran laki-laki. Perempuan cerewet!
Dalam Serat Centhini beda lagi. Serat ini membabar wadi (rahasia) perempuan lebih ke dalam lagi. Pancaindera, kulit, rambut, body, dan lagak bisa diketahui segala yang disembunyikan wanita tanpa perlu ditelanjangi. Termasuk untuk melihat bentuk kemaluan dan tipenya sebagai perempuan, juga ‘rasa’ tatkala di ranjang. Tak ketinggalan diungkap pula rintihan serta ringkiknya saat mencapai puncak ‘pendakian’.
Dengan pengetahuan itu, tidak tersadari kasus Fathanah dengan LHI ini memantik angan-angan untuk menerawang ke arah sana. Memandangi Ayu Ashari dari ujung rambut sampai ujung kaki sambil mengkalkulasi hohohihenya. Juga perempuan-perempuan jelita lainnya yang terekspos ke media.
Jika para pemimpin melakukan asusila seperti ini, macam mana pula anak-anak muda yang melihat tayangannya. Apalagi Fathanah dan LHI tidak sendiri. Terlalu banyak pemimpin dan orang penting yang mengamalkan tingkah sama. Mencekoki pemirsa dengan jalan pintas mencari duit, kencan dan hedonisasi.
Jika kini muncul ciblek, cabe-cabean, dan entah istilah apa lagi, itu tanda dalam keluarga, lingkungan, sekolah dan pergaulan mereka telah terjadi polusi. Polusi akhlak dan moral, juga bisa ekonomi. Ini salahsatunya karena kita terlalu permisif terhadap segala yang baru, di tengah kepungan teknologi informasi yang tidak bisa dibendung.
Untuk itu surgakan rumah agar anak-anak kita tidak mencari surga di luar yang jahatnya melebihi neraka.
(fjr/fjr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini