Lingkaran Setan Korupsi Politik
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Lingkaran Setan Korupsi Politik

Kamis, 05 Des 2013 13:46 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Menjelang Pemilu 2014, lingkaran setan korupsi politik yang melibatkan partai politik, politisi, kroni bisnis, proyek korup, dan birokrasi masih menjadi penyakit jalannya pemerintahan Indonesia. Tahun 2013 menjadi tahun yang cukup rawan menjelang Pemilu 2014, karena tahun 2013 adalah tahun politik, semoga tidak menjadi tahun korupsi politik.

Berdasarkan temuan-temuan di atas, pada akhir 2013 korupsi politik diduga akan semakin memanas. Kasus mafia anggaran akan bertambah banyak, proyek-proyek besar di APBN dan alokasi dana untuk daerah juga rawan politisasi dan korupsi. Korupsi oleh Kepala Daerah, Anggota DPR/D, pendanaan parpol dan korupsi pemilukada akan semakin merajalela. Semuanya diprediksi untuk mengalirkan dana untuk Pemilu 2014.

Berkaca dari vonis Wa Ode Nurhayati yang dituntut dengan UU Pencucian Uang, kemungkinan pada 2013 akan semakin banyak politisi yang akan dijerat pasal ini agar vonis tinggi dan berefek jera. Sementara, pembahasan UU Pemilukada dan UU Pemda masih akan berlanjut tahun 2013.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

‘Tanda-tanda zaman’ Pemilu 2014 mulai terlihat, banyaknya kasus korupsi yang melibatkan bendahara partai yang mengalir ke pendanaan politik dan disinyalir untuk persiapan Pemilu 2014. Badan Anggaran DPR juga lekat dengan kasus korupsi untuk kepentingan parpol. Penyaluran Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) juga diduga sarat korupsi yang berakhir pada pendanaan parpol.

Sejak 1999, ‘tradisi korupsi’ menjelang pemilu biasanya akan mengemuka. Aktor-aktor yang terlibat dalam kasus korupsi adalah politikus baik anggota DPR dan birokrat, pengusaha, juga staf khusus kementerian/DPR. Peran para aktor ini pun bermacam-macam, politikus dapat menciptakan proyek yang bisa dikerjakan dirinya ataupun rekanan dan menambah anggaran untuk proyek tertentu. Birokrat dapat mengusulkan proyek yang akan diarahkan kepada perusahaan tertentu. Pengusaha dapat memberikan suap dan melobi politikus untuk mendapatkan proyek. Staf khusus dapat menjadi penghubung antara pengusaha dengan politikus atau elit kementerian dan sebagai pelaksana transaksi. Sebuah lingkaran korupsi yang sempurna.


“Kongkalikong” antara eksekutif dan legislatif inilah yang akhirnya menggerus uang rakyat. Baik yang mega skandal maupun kasus-kasus kecil namun rutin. Ini memprihatinkan, terutama menjelang 2014. Disinyalir muara dari kasus korupsi politik adalah pada pendanaan politik Pemilu 2014. Hal ini diperburuk lemahnya UU Parpol dan UU Pemilu, dimana tidak ada pengaturan yang melarang sumber dana dari kejahatan/tindak pidana dan tidak ada pembatasan sumbangan dari kader anggota partai.

Bawaslu/KPU juga tidak mampu memeriksa kebenaran penerimaan dana kampanye pemilu yang berasal dari sumbangan. Ada beberapa tipe umum korupsi pemilukada yang melibatkan pemilih, peserta pemilu yang mencakup parpol dan kandidat, pegawai negeri, dan penyelenggara pemilu. Beberapa cara yang digunakan adalah, suap untuk memenangkan kandidat, penerimaan uang dari organisasi kriminal untuk parpol, penyalahgunaan APBN/D untuk kepentingan pemilukada, setoran dari kandidat dalam jumlah besar untuk parpol, dan lain sebagainya.

Partai politik umumnya enggan ketika dimintai laporan keuangan. Dari 9 parpol, sebagian besar tidak berkenan memberikan dengan dalih pendanaan parpol bukan konsumsi publik, atau memberikan laporan yang tidak lengkap, bahkan ada parpol yang tidak punya laporan keuangan. Lemahnya regulasi turut melanggengkan jalannya korupsi politik. Namun penegakan hukum masih lemah, ditambah konflik antara Polri dengan KPK yang tak kunjung selesai.

Isu korupsi yang menimpa sejumlah fungsionaris partai bukanlah hal baru. Isu yang sama juga pernah dialami sejumlah Partai Politik (Parpol) yang pernah berkuasa di Indonesia, terlebih menjelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Sayangnya yang selalu menjadi kambing hitam dan mendekam dalam penjara adalah oknum-oknum dari parpol tersebut, sementara parpol sebagai institusi berbadan hukum seolah mempunyai kekebalan hukum.

Jika sekian banyak oknum Parpol yang terjerat kasus korupsi, muncul pertanyaan, apakah korupsi tersebut benar benar hanya dilakukan oleh oknum yang bersangkutan secara pribadi? Atau jangan-jangan korupsi tersebut dilakukan secara terorganisasi dan sistematis oleh Parpol. Penyuapan politik yang dilakukan di parlemen dalam pembuatan suatu UU, sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap kata, kalimat, bahkan koma dan titik dalam pembahasan RUU di DPR mempunyai nilai rupiah.

Tidak sedikit uang yang digelontorkan oleh pemilik modal kepada Parpol dalam rangka menggolkan suatu RUU. Motivasinya, agar UU yang dihasilkan berpihak kepada pemilik modal (political bribery). Korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilu. Parpol secara teorganisir dan sistematis telah merencanakan kemenangan dengan cara-cara ilegal yang biasanya dimulai dari pendaftaran pemilih yang tidak akurat, penggelembungan suara, pemalsuan dokumen sampai pada tahap penetapan hasil pemilu.

Lazimnya, parpol menyogok sejumlah uang kepada petugas atau pejabat yang bertanggungjawab pada setiap tahapan pemilu (election fraud). Sementara itu, dari kajian korupsi politik yang terjadi di beberapa negara modern, terlihat bahwa korupsi politik memiliki dampak lebih luas dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki posisi politik.

Korupsi politik melekat dan berlindung dengan kekuasaan. Korupsi politik lebih berada dalam stadium untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Dari konstelasi penyalahgunaan kekuasaan dan kebutuhan ketertiban sosio-politik, menuntut adanya peran kontrol yang sepadan terhadap pelaksanaan kekuasaan. Bagaimana karakter norma konstitusi dalam mengatur hak-hak strategis dan sistem kepemilikan yang dipunyai oleh rakyat terlihat berkorelasi dengan timbulnya korupsi politik.

Kekuasaan pemerintahan diberi mandat untuk mengatur dan mendistribusikan kekayaan negara, sehingga dalam proses pendistribusian tersebut selalu berpotensi adanya penyimpangan yang dilakukan oleh yang berwenang yaitu pemegang kekuasaan. Dalam masyarakat yang feodalistik terlihat adanya hambatan kontrol terhadap kekuasaan dibandingkan dengan masyarakat yang egaliter.

Faktor lain yang berkorelasi dengan korupsi politik adalah budaya konsumtif masyarakat dalam suatu negara, terutama budaya para pemegang kekuasaan atau pihak yang memiliki posisi politik. Sistem hukum dan penegakan hukum yang feodalistik berkorelasi dengan timbulnya korupsi politik. Korupsi politik yang sistemik merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).

Korupsi politik memiliki hubungan korelasional dengan ideologi hukum dan sistem penegakan hukum. Korupsi politik terjadi baik di negara kapitalis, komunis, maupun fasis. Dalam negara yang mayoritas penduduk ya beragama apapun tidak kebal terhadap kejahatan korupsi politik. Korupsi politik banyak terjadi baik di Negara Asia, Timur Tengah, Afrika, Eropa, Amerika Latin maupun Amerika Utara.

Korupsi politik tidak lepas dari karakter kekuasaan, struktur sosial politik yang tidak adil dan lemahnya kontrol. Di banyak negara, perangkat hukum seringkali tidak dapat berfungsi untuk mengontrol atau mengendalikan penguasa, sehingga terjadilah korupsi politik. Keberadaan perangkat hukum dalam suatu masyarakat merupakan suatu keniscayaan, apalagi dalam suatu negara modern.

Hanya saja, hukum itu sendiri mengandung kekurangan-kekurangan. Kekurangan pertama di dalam hukum itu tidak sesuai dengan kedudukan manusia yang tinggi. Biasanya, hukum diberlakukan untuk mencegah permusuhan dan sikap melampaui batas. Hukum diberlakukan untuk menghilangkan kelaliman. Pembenahan sistem penegakan hukum harus melalui pemberlakuan asas legalitas secara ketat dan prinsip persamaan di hadapan hukum secara konsekuen.

Untuk itu perlu adanya pencabutan ”hukum yang korup” karena hal ini menjadi faktor penghambat pemberantasan korupsi. Hukum yang korup adalah hukum yang menghilangkan atau merampas hak-hak strategis yang dipunyai rakyat seperti halnya beberapa hukum yang diberlakukan pada masa penjajahan Belanda, Orde Lama, dan Orde Baru. Krisis kepercayaan kepada kedaulatan hukum merupakan faktor penghalang bagi pemberantasan korupsi.

Korupsi politik banyak berkorelasi dengan pelanggaran hak asasi manusia oleh pemimpin pemerintahan, karena korupsi politik tidak lepas dari nafsu mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Penguasa atau rezim otoriter dan yang melakukan korupsi politik pada era yang sama melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Penguasa atau rezim yang korupsi selalu ingin memperkuat eksistensi kekuasaannya, sehingga apabila ada pihak atau kelompok yang kritis akan dihadapi dan dibasmi oleh penguasa atau rezim korup itu dengan segala macam cara. Termasuk melakukan upaya represif dan tindakan yang tidak manusiawi, dan melanggar hak asasi manusia.

Penanggulangan korupsi politik menuntut adanya aturan hukum dan prosedur penerapan hukum yang spesifik, karena menyangkut kejahatan yang berdimensi kekuasaan politik dan/atau pihak yang mempunyai kekuatan ekonomi. Konsekuensi logis dari posisi politik dan ekonomipelaku korupsi politik yang demikian menuntut adanya pemberlakuan pembuktian terbalik dan ketegasan penjatuhan pidana. Penegakan hukum yang berintegritas terkait dengan prasyarat tersedianya perangkat lunak dalam penegakan hukum, yaitu ideologi penegak hukum.

Semoga hukum tetap menjadi panglima dalam memberantas korupsi. Salam hormat kepada para penegak hukum yang jujur……merdeka!

*) Suhendro, peneliti senior di Kajian Nusantara Bersatu, Jakarta

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads