Membesarnya impor BBM dan kekurangan pasokan gas terjadi karena keterbatasan infrastruktur dan pasokan gas. Dari 68.000 km jaringan pipa gas yang seharusnya ada, baru sekitar 20% (11.800 km) yang sudah terbangun, 80% masih berupa cakap-cakap dan rencana di atas kertas.
Belum ada champion yang mau melakukan investasi. Sebagian besar jaringan tersebut dibangun tidak dengan dana APBN tetapi dengan pinjaman komersial korporasi/BUMN (data Kepmen ESDM No. 2700 tahun 2012 tentang Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional tahun 2012 Γ 2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada ironi di masalah gas Indonesia, sehingga pemanfaatannya belum maksimal untuk publik. Sebagai contoh saat ini ada defisit atau kekurangan gas di Sumatra Utara tetapi ada over supply gas di Jawa Timur yang tidak bisa dimanfaatkan oleh industri dan rumah tangga akibat minimya infrastruktur gas. Begitu pula di daerah lain.
Sampai hari ini negara, sebagai pengatur kebijakan migas, masih belum bekerja optimal karena sangat dipengaruhi oleh sekelompok orang, yang bernama rentenir atau traders. Akibatnya pendapatan negara atas Migas, khususnya minyak bumi, terus turun. Sementara produksi gas terus naik namun minim manfaatnya bagi publik karena minimnya infrastruktur.
Supaya tidak mengulang habisnya minyak bumi, kayu dan SDA lain tanpa bisa membuat bangsa ini makmur dengan GDP diatas USD 20 ribu, sebaiknya segera urus gas dengan baik. Jangan sampai menguap dan membuat traders semakin kaya raya, sementara rakyat tetap menjadi buruh dengan gaji UMP atau dideportasi karena menjadi penduduk gelap di negara orang. Gasku memang bermasalah.
Pengembangan Infrastruktur Gas Bumi Domestik
Pertumbuhan gas yang tinggi membutuhkan infrastruktur pipa gas domestik yang baik. Saat ini dengan panjang pipa transmisi sekitar 8.000 km (terdiri dari pipa dedicated hulu, dedicated hilir dan open access), pada tahun 2025 dibutuhkan panjang pipa transmisi gas sepanjang sekitar 15.600.
Sedangkan untuk pipa distribusi saat ini terpasang sekitar 4.800 km dan pada tahun 2025 dibutuhkan pipa transmisi gas sepanjang 42.500 km. Untuk membangun kedua jenis pipa tersebut dibutuhkan investasi sekitar USD 40 billion.
Selain ketersediaan infrastruktur, kepastian pasokan gas dan kesiapan pasar juga harus diatur dengan baik. Pengembangan infrastruktur akan bergairah dan berjalan baik ketika Pemerintah memberikan insentif dan stimulus fiskal bagi badan usaha gas. Infrastruktur gas juga harus dikembangan dengan skema best practice dunia dan kesesuaian dengan prinsip UUD 1945, tanpa ini semua maka kembali bangsa kita tidak akan dapat menikmati sisa gas yang masih ada.
Ini persoalan serius bagi bangsa Indonesia karena meskipun kita mempunyai banyak cadangan gas, namun tanpa infrastruktur yang memadai, tetap saja bangsa ini tidak bisa menikmati SDA yang ada di bumi Nusantara ini. Sayang, Pemerintah belum mau belajar dari pengalaman salah kelola minyak bumi. Ketika minyak bumi masih berlimpah, negara lalai membangun infrastruktur minyak, seperti kilang minyak.
Persoalan gas di Indonesia menjadi semakin rumit ketika para traders terus memaksa Pemerintah membuat kebijakan open access dan unbundling pipa transmisi dan distribusi. Keberadaan dan lobi traders membuat Pemerintah yang selalu bimbang bertambah limbung. Ketidakberpihakan negara terhadap kepentingan publik, tidak saja membuat rakyat bertambah miskin tetapi memunculkan dualisme operator pengelola Migas yang dikemudian hari dikhawatirkan dapat menghancurkan dua operator migas BUMN, Pertamina dan PGN.
Kasus Sumatra Utara (langka gas tapi infrastruktur ada) dan Jawa Timur (berlimpah gas tapi infrastruktur minim) harus menjadi pelajaran serius untuk segera membangun infrastruktur dan memastikan pasokan gas. Ketidaksinkronan terlambatnya (lag) penyediaan pasokan gas dari kesiapan infrastruktur dan pasar menciptakan krisis pengelolan gas berupa krisis pasokan gas. Ketidaksinkronan ini karena tidak berjalannya pengembangan infrastruktur oleh pihak yang mendapatkan pasokan gas.
Selain itu kebutuhan energi masih terpusat di Pulau Jawa karena 80% penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa, sementara cadangan gas besar terletak di luar Pulau Jawa. Kebutuhan ketersediaan infrastruktur sangat tinggi untuk mengatasi gap antara pasokan dan kebutuhan. Dicabutnya subsidi BBM secara bertahap dan naiknya harga minyak dunia yang sangat tinggi, membuat harga gas kompetitif dibandingkan BBM. Ini menyebabkan Indonesia akan lebih senang mengekspor gas untuk menambal defisit APBN daripada untuk kebutuha industri domestik.
Langkah Pemenuhan Ketersediaan Gas Domestik
Untuk dapat memenuhi kebutuhan gas domestik, Pemerintah harus segera melakukan beberapa langkah strategis, sebagai berikut:
1. Segera pastikan siapa pengelola gas di hulu dan siapa di hilir, antara PT Pertamina dan PT PGN Tbk. Jangan dibiarkan peran kedua BUMN tersebut tumpang tindih seperti sekarang. Kalau dibiarkan, yang untung traders bukan bangsa ini. Usulan Meneg BUMN, Dahlan Iskan, yang menyarankan agar PT Pertagas (anak perusahaan PT Pertamina) merger dengan PT PGN, Tbk harus diapresiasi dan segera dilaksanakan.
2. Peran SKK Migas dan BPH Migas dalam industri migas di Indonesia terbukti tidak efisien karena tingginya overhead yang membebani cost recovery dan panjangnya rantai birokrasi. Pilihannya, dibubarkan atau diintegrasikan saja pada kedua BUMN Migas.
3. Pembangunan pipa transmisi dan distribusi Kalimantan-Jawa (Kalija), Jawa Timur-Jawa Tengah dan Jawa Tengah-Jawa Barat harus segera dibangun mengingat sudah ada pemenang tendernya. Jika masih belum jelas kapan akan mulai dibangun, sebaiknya Pemerintah segera batalkan kontrak pemenang yang ada dan tender ulang.
4. Pemerintah harus melakukan revisi Kepmen ESDM No. 3 tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri dan Kepmen ESDM No. 19 tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa. Supaya tidak ada ruang untuk traders atau makelar.
*) Agus Pambagio, pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen
(nwk/nwk)