Buruh & Batur Bagong
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Djoko Suud

Buruh & Batur Bagong

Jumat, 06 Sep 2013 10:07 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Buruh kembali berdemo.Turun ke jalan, memacetkan jalanan. Ini langkah lain untuk mewujudkan kenaikan upah di DKI. Dari Upah Minimum Provinsi (UMP) Rp 2,2 juta di tahun ini menjadi Rp 3,7 juta untuk tahun depan. Realistiskah itu? Dan mengapakah kaum buruh acap berdemo?

Ini bukan hari buruh, tetapi buruh berdemo. Dan laiknya demo buruh, dilakukan dengan arak-arakan, umbul-umbul berkibaran, plus berbagai tuntutan. Anarkiskah? Merusak fasilitas umumkah? Membajak angkutankah? Destruktifikasi itu kini tidak terjadi. Nampaknya mereka mulai sadar, tindakan itu jauh dari semangat futurisasi kaum buruh.

Namun begitu, demo ini membuat dag-dig-dug banyak kalangan. Tidak hanya melanda pengusaha. Rakyat (implisit buruh) juga ikut merasakan itu. Mereka ketar-ketir. Was-was. Itu karena berdasar pengalaman, demo buruh tidak selalu kondusif. Biasanya terdapat dampak ikutan, pabrik di-sweeping buruh, terjadi pemaksaan, dan terjadi perusakan di perusahaan-perusahaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akibat ulah itu, maka demo buruh menjadi demo yang 'menakutkan'. Menjadi momok. Padahal yang disebut buruh itu tidak hanya yang turun ke jalan. Sebab hakekatnya, kita semua ini adalah buruh. Buruh yang menempati lapis-lapis, dengan berbagai profesi, aspirasi, dan tentu inspirasi.

Buruh dan majikan tidaklah beda, terutama di alam merdeka. Demokrasi memberi batas itu semakin tipis, karena hak berpendapat, berserikat, dan mengupayakan kesejahteraan masing-masing individu dijamin undang-undang. Maka definisi buruh dan majikan kian berdempet, sekadar tirai transparan soal hak dan kewajiban. Hak dibayar dan kewajiban membayar.

Namun jarak yang tidak berjarak ini dalam realitasnya selalu merenggang. Buruh menuntut dan menuntut. Kalau tuntutan tidak dikabulkan melakukan 'pemaksaan' dengan pengerahan massa. Tak jarang disertai tindakan anarkis. Dan pelanggaran-pelanggaran hukum yang harusnya tidak terjadi.

Tripartit sebagai ruang untuk mencari solusi kerap buntu. Pengusaha, buruh, dan pemerintah kurang gayeng di area itu. Pemerintah sebagai mediator dianggap sering doyong. Doyong kiri atau ke kanan. Kadang dianggap membela pengusaha. Kendati UMR DKI yang Rp 2,2 juta kemudian merembet ke berbagai daerah dicap sebagai pemihakan terhadap buruh.

Ketidakharmonisan ini kayaknya akan laten terjadi. Hukum yang belum sempurna mengatur aturan main, euforia kebebasan, kepentingan politik, berkelindan dalam untaian ini. Ditambah roh familiar yang mulai hilang, maka lambat tapi pasti, buruh negator pengusaha dan sebaliknya terus terjadi, dengan segala risikonya. Buruh mogok, atau pengusaha kabur, melakukan investasi di negara lain adalah konsekuensi logis dari aktivitas itu.

Dalam khasanah lama, buruh dan majikan sangatlah mesra. Saling tahu posisi, tatkala zaman belum seterbuka sekarang. Sebutan buruh pun terbilang kasar, karena mengacu 'boro' (nguli), menjadi kuli, seperti era Borobudur (boro Budho ing dhuwur) di abad delapan. Kuli (pembuat) candi Buddha di atas (bukit), yang saking banyaknya pekerja, hingga tak dikenal siapa yang menjadi majikannya.

Sebagai pengagem harmoni, kebudayaan Jawa memposisikan buruh sebagai batur. Kependekan dari 'embat-embate pitutur'. Penyumbang saran. Fungsinya sebagai konsultan penyeimbang berbagai masalah, utamanya yang bersifat pribadi. Itu yang menyebabkan batur menempati 'status' sebagai orang yang 'dituakan'. Sosok dan kediriannya mirip Nyai Ontosoroh, personifikasi wanita Jawa yang anggun dalam novel Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer.

Dalam pewayangan, empat punakawan yakni Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong adalah gambaran batur idaman. Batur yang tinggal di Desa Tumaritis itu memang khas Jawa. Ditampilkan sebagai sosok yang bisa lebih sakti dari majikannya. Trahnya ditinggikan dalam mitos 'telur kelahiran'. Bethara Guru, Semar, Togog sesaudara, lahir berbarengan dari kulit telur, kuning telur, dan putih telur. Yang jadi batur berkesadaran sebagai batur. Mengejawantah dalam totalitas pengabdian pada Pandawa dan Kurawa majikannya.

Bahasa yang digunakan halus dan santun. Sikapnya nrimo ing pandum. Itu karena sang majikan tahu apa kebutuhan batur, dan batur tahu posisinya sebagai batur. Maka dalam pewayangan, jika sang majikan adigang-adigung, batur pun juga bisa keras, tegas, sekaligus tuntas. Menuntaskan perkara yang mendisharmoni hubungan batur, majikan, dan negara (kerajaan).

Buruh dan majikan sama membutuhkan. Di era globalisasi sekarang, keduanya saling bergantung. Tidak ada yang superior dan inferior. Tidak ada yang pintar dan bodoh. Untuk itu, jika buruh sama posisinya, maka anarkisme bukanlah pilihan. Tindakan itu harus dilawan. Sebab arogansi itu tidak elok, tidak cerdas, dan menurunkan derajat kaum buruh secara keseluruhan.

Bagaimana dengan demo di Bundaran HI, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (5/9/2013) kemarin? Memang bisa diterima jika dilihat dari sisi kebutuhan buruh. Tetapi tidak tepat tuntutan itu dibeber saat ini jika melihat kondisi yang sedang berkembang. Sebab sang majikan (pengusaha), terutama pengusaha dalam negeri kini lagi loro lopo (sakit dan kebingungan). Kurs rupiah anjlok, dan mereka senewen dengan membanjirnya produk impor yang tidak dihambat pemerintah.

Buruh mulia adalah yang mampu sebagai embat-embate pitutur. Memberi solusi terhadap masalah. Bukan menambah masalah saat sang majikan sedang terkena masalah. Adakah buruh kini sudah terimbas profanisme globalisasi? Menurunkan derajatnya dari batur pada terminologi kuli? Semoga ini bisa dijadikan renungan kembali.

*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads