Provokasi dan permainan asing tidak hanya satu dua kali saja terjadi, bahkan dilakukan berulang-ulang baik di dalam negeri maupun di luar negeri dari teror hingga dukungan terhadap upaya segelintir orang papua yang ingin melepaskan Papua dari wilayah NKRI. Peranan kolonialis Asing terhadap berkecamuknya isu Papua terus berlangsung baik di dalam negeri misalnya ; meningkatnya konflik sosial antar suku dan Pilkada, tingginya intensitas penembakan gelap kepada aparat Polri/TNI khususnya di wilayah tambang Freeport yang telah memakan korban jiwa dan lain sebagainya.
Sementara campur tangan asing di luar negeri juga tidak kalah agresifnya sejak jaman Orde Baru hingga reformasi, Gerakan OPM terus bergerilya ke beberapa negara untuk mencari dukungan politik atas kemerdekaan Papua. Langkah diplomatik politiknya seperti menyebarkan aktifis/mahasiswa ke belahan negara (Eropa, Kep. Pasifik, Australia, Amerika, dll) dengan kedok study padahal mereka menanamkan dan menyebarkan ideologi Kemerdekaan untuk Papua. Tidak hanya itu, langkah politik berani belakangan ini adalah adanya 43 rakyat Papua mencari suaka politik ke PNG dan Australia (2006), Anggota senator kongres AS dukung penyelesaian damai Papua dan dukung otonomi khusus (2012), hadirnya 12.000 marinir AS di Darwin dalam rangka mengimbangi Cina di perairan Asia Pasifik (2012), pembukaan kantor perwakilan Parlemen OPM di London Inggris (1/5/2013), dan lain-lain.
Provokasi asing tidak hanya berhenti disini, belakangan kelompok yang mengatasnamakan Freedom Flotilla West Papua (FFWP) sedang berlayar dari Australia menuju PNG dengan tujuan akhir Papua Barat yang diperkirakan tiba pada awal September 2013 dengan membawa misi perdamaian dan kegiatan sosial budaya. Tentunya kita patut bertanya, apakah misi perdamaian dan kegiatan sosial budaya menjadi prioritas kelompok FFWP yang notabenenya adalah kelompok aktifis berwarganegara Australia yang getol memberikan ruang kepada aktifis OPM dan memberikan dukungan dengan melakukan kampanye terbuka tentang self determination/kemerdekaan untuk Papua Barat di Australia ?. Yang pasti kedatangan kelompok FFWP ke Papua Barat tidak lain adalah untuk mendukung separatisme OPM dengan tidak hanya membawa misi damai dan kegiatan sosial budaya melainkan ingin membuka tabir pelanggaran HAM dan Kekerasan yang dilakukan Pemerintahan RI kepada rakyat Papua selama ini. Misi terselubung kelompok FFWP yang masuk ke dalam perairan Indonesia secara ilegal ini telah menjadi perhatian khusus Pemerintahan dengan mengerahkan seluruh aparat keamanan untuk mengantisipasi pelanggaran kedaulatan dan gangguan keamanan nasional. Pemerintahan Indonesia memiliki hak untuk melakukan langkah persuasif dan represif tatkala kelompok Freedom Flotilla West Papua menerobos wilayah kedaulatan Indonesia. Pemerintahan juga berkewajiban melakukan diplomasi politik kepada Australia untuk mempertanyakan misi perdamaian FFWP. Semua Stakeholder harus memberikan dukungan sikap tegas pemerintahan dalam melakukan diplomasi politik supaya penghargaan kedaulatan tidak dilecehkan. Namun, tragisnya, pemerintahan Australia dan Inggris memiliki standar ganda dalam melihat persoalan Papua. Satu sisi melalui agen NGO dengan berkedok aktifis HAM, relawan kemanusiaan dan penggiat sosial budaya memberikan dukungan penuh terhadap gerakan separatisme OPM untuk menuntut kemerdekaan sementara di satu sisi melalui pemerintahannya mendukung Papua masuk kedalam NKRI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sumber Daya Alam dan Pertarungan Kolonialis Asing
Papua merupakan geopolitik leverage bagi Indonesia, karena sumber kekayaan alam yang terkandungan adalah gas dan emas terbesar di dunia. Inilah modal terbesar kedaulatan bangsa Indonesia. Tidak hanya itu Papua juga memiliki kandugan hayati yang berlimpah, Hutan yang luas, ekosistem yang menawan dan lain sebagainya. Modal terbesar inilah yang kemudian menjadi perburuan kolonialis asing untuk mengeruk demi kepentingan negaranya.
Begitu kentalnya anasir rakyat Papua disokong negara kolonialis berupaya melepas Papua dari NKRI. Modus negara kolonialis yang diterapkan sama bahkan identik dengan pola kolonial gaya baru dibelahan dunia. Penyelesaian konflik selalu dibaluri dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan (freedom), demokratisasi, kemiskinan, korupsi dan lainnya. Balutan Isu-isu inilah yang kemudian menjadi modal negara kolonialis melalui agennya (NGO) dalam negeri yang memiliki link ke NGO internasional, bahkan tidak jarang NGO asing melakukan kampanye sendiri di Indonesia sehingga pemerintahan akan disibukkan dengan isu ini dan melupakan bagaimana membangun Papua dengan arif dan adil.
Modus pengelabuhan dan lain-lain melalui menciptakan konflik, menanamkan teror dan melancarkan kekacauan ditengah masyarakat merupakan penyesatan dan taktik pengelabuhan sebagai wujud dari modus-modus kolonialis dalam mengeruk seluruh kekayaan alam secara agresif. Secara logika dan faktual menyingkap setiap kali terjadi konflik atau penembakan gelap di puncak jaya, maka pihak manajemen memberlakukan prosedur tetap di lingkungan dalam dengan menutup total Freeport dari dunia luar. Diduga bahwa penciptaan kekacauan identik dengan pengapalan raw material Freeport ke kapal-kapal AS di perairan, karena Freeport merupakan negara dalam negara. Tidak heran jika negara kolonialis waktu itu Belanda kemudian sekarang Amerika dan sekutunya terus menancapkan cengerakamannya di tanah Papua. Magnet Sumber Daya Alam inilah yang menjadi incaran negara kolonialis untuk terus mengusik ketentraman dan kedamaian di tanah Papua.
Papua merupakan area terbesar menjadi pertarungan para kolonialis asing dalam penguasaan sumber daya alam dan hayati. Menurut James Canto di buku Exstreme Future menjelaskan bahwa AS dan sekutunya menyadari peperangan di masa mendatang adalah tehnologi dan informasi dalam penguasaan pangan (food), air dan perubahan iklim. Maka peperangan tidak lagi antara AS vs Rusia tapi AS melawan Cina dan India yang disokong Jepang dan Korea. Papua dinilai strategis sebagai batu loncatan guna menghadang produk-produk Cina, India, Korea dan Jepang yang menguasai pasar Indonesia dan ASEAN. Penguasaan sumber pangan seperti sudah menjadi kenyataan dengan dibukanya proyek lumbung pangan dan energi terpadu Merauke atau Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang disokong oleh Cina. Disinilah pertarungan korporasi pangan dan energi terbesar di Papua sedang berlangsung.
Semua ini memperlihatkan bahwa kekacauan terselubung, kekerasan yang diciptakan tidak bisa dilepaskan dari pertarungan kolonialisme asing itu sendiri. Pun demikian dengan Amerika Serikat tidak akan mau kehilangan segala keuntungan yang telah didapatkan selama ini. Di sisi lain Inggris dan Australia terus berusaha untuk bisa turut menanamkan pengaruhnya disana dan menikmati keuntungan termasuk kekayaan alam tanah Papua yang berlimpah. Sementara itu Cina sebagai pendatang baru juga mencari-cari kesempatan emas dalam melakukan ekspansi kapitalnya.
Menggapai Kemerdekaan Semu
Tuntutan kemerdekaan Papua telah berjalan sistematis sejak Orde Baru hingga sekarang makin massif dengan berbagai dalih kekerasan, pelanggaran HAM dan ketimpangan pembangunan yang selama ini dilakukan oleh pemerintahan yang sudah meng-internasional. Sejatinya, kemerdekaan yang disuarakan oleh minoritas rakyat Papua hanya didasari atas ketidakpuasan terhadap ketimpangan hasil integrasi selama ini yang kemudian mendapat intervensi utuh dari kolonialisme asing yang dibaluri isu kekerasan, HAM dan kemiskinan. Tuntutan kemerdekaan ini semakin menjadi-jadi tatkala dukungan dan solidaritas mendapatkan tempat di negara kolonialisme asing seperti Inggris, Amerika dan Australia yang telah menguasai hampir 90 persen kekayaan alam Papua. Sementara sikap tidak tepatnya pemerintah melakukan pendekatan (Operasi militer) terhadap sekelompok elit Papua juga menjadi penegas menguatnya tuntutan kemerdekaan.
Karenanya jika elit Papua terus mendesakan tuntutan kemerdekaannya maka mereka telah menjerumuskan rakyat papua kedalam jurang kolonialisme model baru yang dilakukan oleh korporasi asing penghisap kekayaan alam yakni Amerika, Australia dan Inggris. Kemerdekaan semacam ini dapat dikatakan sebagai kemerdekaan yang bersifat semu, karena kemerdekaan disandarkan pada kepentingan asing yang bercokol hanya mengeksploitasi sumberdaya alamnya semata, tentunya tanah Papua akan menjadi area langgeng pertarungan bisnis dan politik korporasi asing.
Pada momentum 68 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia tentunya pembenahan dan pendekatan pembangunan terhadap Papua selama ini harus di evaluasi total. Mulai dari pendekatan militerisme, pendekatan sosial dan pembangunan, pemberian otonomi khusus sampai pada pembentukan badan khusus tentang Papua. Papua sebenarnya butuh keberpihakan pusat supaya pembangunan dapat dimanfaatkan dan dirasakan. Keberhasilan pembangunan selama ini tentunya harus dapat ditingkatkan kualitasnya karena Papua masih menyisakan potensi kekayaan hayati dan alam yang berlimpah sebagai basis peningkatan sumber pendapatan daerah supaya keterbelakangan dan kemiskinan yang menjadi akar persoalan di tanah Papua bisa teratasi.
Kemudian, kritik terhadap Pemerintahan Indonesia selama ini adalah jangan selalu memberikan stigma separatisme terhadap riak-riak kecil rakyat Papua yang menuntut keadilan. Pendekatannya harus mencerminkan pemerataan dan pembangunan secara berkelanjutan dan tentunya harus terus mengedepankan persuasif dan dialogis. Sejatinya rakyat Papua membutuhkan sentuhan kedamaian dengan hati demi terwujudnya tanah Papua yang adil, makmur dan aman.
*) Penulis adalah alumnus Fisipol Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia. Mantan Dosen STIN. Tinggal di Jakarta.
(gah/gah)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini