Belum hilang ingatan saya saat tepat hari kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus tahun 2012 lalu, KPK menangkap dua hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Semarang tidak lama berselang setelah upacara HUT RI ke-67 di Pengadilan Tinggi Negeri Semarang. Dua hakim yang menjual martabat keadilan itu adalah Kartini Marpaung dan Heru Kusbandoro setelah kepergok menerima suap untuk rencana vonis bebas untuk terdakwa mantan Ketua DPRD Grobogan, M Yaeni. Kebetulan tanggal 17 Agustus tahun lalu, saya sedang di tanah kelahiran Semarang untuk mengisi acara sebuah Seminar antikorupsi.
Setahun berselang, menjelang HUT RI ke-68 tahun ini, hati saya kembali teriris. KPK lagi-lagi bekerja tak pernah tidur terus memburu koruptor kelas kakap, KPK menangkap ketua SKK Migas Rudi Rubiandini dalam sebuah transaksi suap senilai US$ 400 ribu dari pengusaha trading minyak dari perusahaan asing Kernel Oil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat saja dan renungkan, setiap hari berita paling seksi di negeri ini adalah tentang korupsi. Di manapun dan di segala bidang, bidang pendidikan misalnya, 20 persen dari APBN senilai 1.700 Triliun untuk pendidikan korupsi. Dalam hal keagamaan, dana haji, Alquran bahkan untuk kegiatan Tilawatil Quran tidak lepas dari korupsi. Di Bidang olahraga dan kepemudaan, pembangunan wisma altet dan asrama serta fasilitas kesehatan Hambalang senilai ratusan miliar rupiah justru dijadikan bancakan oleh koruptor.
Di bidang kesehatan, pengadaan alat kesehatan senilai hampir Rp 1 triliun juga tidak lepas dari jarahan tangan koruptor. Bahkan, untuk urusan sumberdaya alam negeri ini yang sangat melimpah juga tidak lepas dari target koruptor. Hutan, gas, batu bara serta minyak kita habis dijual ke negara asing melalui pejabat korup yang sudah hilang rasa nasionalismenya: menjual bangsa sendiri ke penjajah kapitalistik.
Lebih jauh, parahnya, penegak hukum juga korup. Ratusan jenderal polisi memiliki rekening gendut dipergoki PPATK. Jaksa, hakim juga tidak sepenuhnya bersih. Beberapa aparat penegak hukum juga tertangkap KPK. Dari sektor pendapatan negara yaitu pajak, Gayus Tambunan menjadi contoh kelam di mana hulu pendapatan negara dari pajak juga dikorupsi oleh koruptor kelas kakap.
Korupsi di negeri ini menjadi sistemik karena kekuasaan yang korup absolut yang kawin dengan penegakan hukum yang sangat lemah. Saya mencatat dari website Mahkamah Agung, dari tahun 2000 tercatat hampir 1.500 kasus koruptor yang diadili, kerugian negara mencapai 2 kali lipat APBN kita, hampir Rp 2.500 triliun. Faktanya, hingga kini, koruptor tak pernah jera. Tertangkap satu, koruptor seperti tumbuh seribu.
Yang menyebabkan sistemik sebenarnya dimulai dari korupsi politik, dimana proses demokrasi untuk meraih jabatan dijalani dengan nafsu kekuasaan dan diraih dengan segala cara. Meraih kursi jabatan dengan korupsi, terbaru adalah kemenangan gubernur petahana Sumatra Selatan Alex Noerdin dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena terbukti menggunakan Rp 1,3 triliun APBD Sumsel untuk kampanye.
Lebih jauh, partai politik juga menjadi sumber ternak koruptor. Biaya politik yang mahal selalu berhulu dari korupsi. Singkatnya begini lingkaran setan korupsi yang sistemik: mengumpulkan dana politik hitam, bertarung dengan politik uang dalam demokrasi, membeli suara melalui penyelenggara Pemilu yang korup, setelah terpilih dan menjabat berusaha mengembalikan modal politik dengan menggerogoti APBN-APBD, anggaran dan proyek publik dibagi kepada tim sukses, sumber daya alam dijual kepada asing dengan suap, suap dibagi-bagi kepada birokrasi, jika tertangkap aparat penegak hukum kasus dan vonis bisa dibeli karena penegak hukum masih korup.
Rakyatlah yang menjadi korban. Pelayanan publik macet, anak putus sekolah meningkat, hukum tumpul ke atas tajam ke bawah, pengangguran meningkat, ekonomi dikuasai asing dan berbagai kerugian lainya.
Lalu, ikhtiar apa yang bisa dilakukan sebagai bentuk perjuangan gerilya merebut kemerdekaan dari koruptor?
Riset ICW dapat sedikit menjawabnya, ke depan KPK perlu lebih sering mengawasi dan menangkap koruptor dari Kejaksaan, Kepolisian dan Kehakiman dalam menangani kasus korupsi, dan memberi efek jera: memiskinkan koruptor. Di Hong Kong, ICAC (KPK Hong Kong) menfokuskan pembersihan penegak hukum dulu sehingga di sana cukup bersih dari korupsi.
Kedua, dicari pemimpin politik yang bersih, bukan hanya antikorupsi saja. Tapi benar-benar pejuang antikorupsi. Sehingga mampu memimpin negeri, melawan penjajahan korupsi yang sangat sistemik. Pemimpin yang berani memecat jenderal korup, hakim agung korup, kepala daerah korup, serta membersihkan partai politik dari sepeserpun dana politik haram.
Untuk ikhtiar kedua ini, rakyat Indonesialah yang tahun 2014 nanti saat Pemilu harus berani bersikap. Jangan lagi memilih Presiden yang berjuang melawan korupsi hanya melalui bibir dan kata-kata tanpa langkah nyata. Pilihlah calon presiden yang jujur, walau papa dan sederhana dan tidak korupsi. Daripada calon Presiden yang sering menampakkan kosmetiknya di spanduk dan televisi-televisi dengan pencitraan yang maksimal.
Barangkali, untuk memperingati Dirgahayu 68 Republik Indonesia, gelora perjuangan mermerdekakan negeri dari korupsi sistemik perlu terus dan tanpa lelah dilakukan, melalui saluran pendidikan, keagamaan, budaya, birokrasi hingga sistem politik. Rakyat Indonesia perlu bersatu kembali, satu tekad dan jihad: Indonesia harus merdeka dari korupsi sebelum negeri ini memperingati satu abad kemerdekaannya nanti. Karena memang perjuangan melawan korupsi masih panjang...
Akhirnya, Dirgahayu ke-68 bangsaku, lekaslah sembuh dan merdeka dari korupsi sistemik. Merdeka!
*) Apung Widadi, analis politik independen, alumni Universitas Diponegoro bisa dihubungi via twitter: @apungwidadi
(nwk/nwk)