Idul Fitri Sang Mbaurekso
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Djoko Suud

Idul Fitri Sang Mbaurekso

Rabu, 31 Jul 2013 10:36 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Pekan-pekan ini kota akan berubah. Warga yang tinggal ramai-ramai balik ke desa. Mudik. Puluhan juta manusia memenuhi terminal, bandara, dan stasiun kereta, mirip semut yang pindah sarang. Tua muda menyusuri jalanan, sak abang cindile (segalanya) dibawa serta. Ini tradisi tahunan yang nikmat sekaligus nikmat sekali.

Ya, pekan-pekan ini merupakan pekan katarsis. Kerinduan terhadap kampung halaman mendekati pemuasan. Warga kota yang terbanyak kaum urban mulai balik arah. Memanfaatkan berbagai fasilitas, ramai-ramai, menghambur untuk balik ke desa. Eksodus itu menyebabkan jalanan penuh lalu lalang kendaraan, dan manusia bak gabah diinteri, poyang-payingan untuk merengkuh tujuan itu.

Sejak kapan tradisi mudik kolosal itu berlangsung memang sulit menentukan. Dulu Idul Fitri tidak segempita sekarang. Itu karena 'wajib mudik' bagi masyarakat Jawa bukan hanya saat hari raya Idul Fitri, tetapi juga ketika 'sedekah bumi', nyadran atau bersih desa, yang hari dan bulannya berbeda-beda. Idul Fitri bukan satu-satunya hari yang harus dipulangi, juga hari raya kupatan, Idul Adha, yang bagi warga Madura 'wajib' pulang, 'toron'.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Itu karena terbanyak saat nyadran berbagai generasi yang sudah semburat itu berkumpul. Mereka menyatu, jagongan di warung, rumah, serta melekan sehari sebelum 'hari H'. Berikutnya diteruskan nonton wayang, tayuban, atau terlibat tadarusan semalaman. Sambil menyantap makanan khas desa, nostalgia dan kisah gagal berhasilnya pengelanaan menjadi bumbu pembicaraan berhari-hari di desa.

Nyadran kala itu memang perekat. Ini tidak lepas dari generasi yang dinaungi tradisi semi animisme, mengkultuskan sosok pendiri dari sebuah desa. Pendiri itu tinggal berwujud nisan dari manusia yang diasumsikan mbubak alas (membuka desa), bisa pula benda apa saja yang menjadi ikon desa. Tanda dari eksistensi itu biasa disebut sebagai Sang Mbaurekso.

Nyadran yang bersifat ritus itu lambat laun luntur. Pemahaman terhadap agama Islam yang semakin kental salah satu penyebabnya. Kecenderungan mengarah mempersekutukan Tuhan (musyrik) dalam pelaksanaannya membuat tradisi ini teralienasi. Ditambah kebiasaan mengaji sejak usia dini serta 'di-pariwisata-kan'nya kultur ini sebagai wisata budaya, maka nyadran kehilangan sakralitasnya.

Akibat itu, 'bersih desa' tidak lagi meriah. Watak nyadran sebagai perekat dari berbagai generasi yang ingin bernostalgia terdegradasi. Pelan-pelan tradisi ini terpinggirkan, menghapus 'wajib pulang' dari batin warganya di perantauan. Tak heran jika sekarang tidak sedikit desa yang sudah tidak lagi menyelenggarakan tradisi itu, kebiasaan melakukan nyadran atau bersih desa.

Generasi baru melahirkan tradisi baru dan 'ritus' baru. Idul Fitri sebagai hari pembebasan, kembali suci, menyemai dalam tiap individu. Maaf-memaafkan menjadi kewajiban umat Islam, dan mudik pun akhirnya 'wajib' untuk dilakukan. Dalam merayakan hari raya Idul Fitri itu tidak sekadar untuk silaturahmi pada warga, sahabat, sanak-saudara, tetapi juga untuk bernostalgia, menalar kehidupan masa lalu yang penuh onak atau rindu. Segala kebutuhan batin urbanis itu kini tersentralisasi di hari raya Idul Fitri.

Memang masa lalu tidak seluruhnya indah. Tetapi semua itu menjadi indah ketika tinggal kenangan. Itu karena masa lalu adalah embrio dari watak-wantu yang membentuk manusia. Dengan mudik seseorang dihadapkan pada cermin dirinya. Kesuksesan atau kegagalan meretrospeksi diri, dan dari sana terstimulasi kebangkitan dari keberhasilan atau keterpurukan.

Mudik memang pulang kampung untuk melihat masa lalu dan instrospeksi diri. Kendati desa sudah berubah fisik dan kebiasaannya, tetapi itu tidak membuat para pemudik kehilangan minat untuk pulang kampung. Ritus mudik belum kehilangan sakralitasnya. Sambang desa itu tetap punya magnet tinggi untuk terus dan terus dijalani. Itu karena desa, seburuk apa, seterpuruk apa tetaplah surga bagi yang terlahir di sana.

Di hari yang fitri ini, saya yang sudah 'buka lapak' di kolom ini sejak 12 tahun lalu mohon maaf sebesar-besarnya pada pembaca atas segala kesalahan. Sebagai orang desa, saya juga mudik seperti saudara-saudaraku yang lain. Di riuh-rendahnya sukacita berlebaran, saya mengucap minal adin wal faizin, maaf lahir batin. Taqabbalallahu minna wa minkum, semoga Gusti Allah menerima amal saya dan Anda sekalian. Amin. Selamat mudik, Saudaraku.

*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads