Secara regulasi, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 8 menetapkan hal-hal yang menjadi dasar pengaturan penguasaan dan pengusahaan Gas Bumi di Indonesia. Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa: Pemerintah memberikan prioritas terhadap pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri dan bertugas menyediakan cadangan strategis Minyak Bumi guna mendukung penyediaan Bahan Bakar Minyak dalam negeri yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Persoalannya, apakah Pemerintah melaksanakan perintah UU ini tidak? Isi Pasal 8 tersebut merupakan pedoman yang penting dalam penyelenggaraan penguasaan dan pengusahaan Gas Bumi. Namun demikian peraturan selanjutnya, sebagaimana ditetapkan di dalam Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2004 serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) turunannya, tidak sepenuhnya sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2001 tersebut. Sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi dalam pelaksanaannya yang merugikan publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Munculnya prioritasisasi gas, seperti untuk peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi Nasional , industri pupuk, penyediaan tenaga listrik, dan untuk industri lainnya sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 ayat (3), Peraturan Menteri ESDM No 3 Tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri memunculkan sebuah pertanyaan di publik. Sebetulnya apa dasar pengaturan tersebut? Lalu dimana peran perusahaan pemilik infrastruktur pipa gas, seperti PT PGN ditempatkan ?
Itu sebabnya sampai hari ini kebijakan Pemerintah tentang gas selalu tidak jelas. Sehingga hak publik untuk mendapatkan manfaat dari ketersediaan gas, di Indonesia menjadi semakin suram. Belum lagi kebijakan Pemerintah yang masih memanfaatkan gas sebagai komoditi ekspor penambal APBN bukan sebagai bahan baku industri dan transportasi dalam negeri. Mari kita bahas ketidakjelasan kebijakan Pemerintah ini.
Kebijakan Suram Masa Depan Buram
Beberapa persoalan regulasi gas harus segera diperbaiki dan dilengkapi supaya mekanisme gas di hulu dan hilir jelas. Yang paling urgent saat ini adalah segera merevisi Permen ESDM No. 3 tahun 2010 supaya pemanfatan gas di hilir jelas dan siapa saja yang diprioritaskan supaya gas dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong tumbuhnya sektor industri dan transportasi secara optimal.
Kasus gagalnya gas sebagai bahan bakar transportasi, nyaris gagalnya revitalisasi industri pupuk di Jawa Timur, mangkraknya beberapa jaringan interkoneksi pipa gas (seperti jaringan pipa Kalimantan-Jawa, Jawa Timur Jawa Tengah, dan Jawa Tengah-Jawa Barat), batalnya Floating Storage and Regasification Unit (FRSU) milik PT PGN di Belawan, dan sebagainya menambah buramnya Permen ESDM No. 3/2010 tersebut.
Kebingungan dan kegalauan Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan menaikan harga BBM bersubsidi pada bulan Juni 2013 lalu seharusnya tidak perlu terjadi jika kebijakan penggunaan gas seperti yang di amanatkan dalam UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas dilaksanakan dengan baik. Gas tersedia dan siap digunakan namun perlu kebijakan yang benar bukan seperti yang diatur dalam Permen ESDM No. 3 tahun 2010 tersebut.
Cara paling mudah mengurangi ketergantungan pada BBM sebenarnya dengan cara mengoptimalkan penggunaan gas. Persoalannya, selain masalah regulasi sektor migas yang amburadul, kebijakan pemanfaatan gas untuk industri dan transportasi juga tidak jelas. Contohnya kebijakan pembangunan SPBG sampai sekarang jalan di tempat. Kebijakan pembagian peran antara 2 BUMN, PGN dengan Pertamina, dalam hal penyediaan gas bagi industri dan transportasi juga buram.
Siapa sebenarnya yang bertanggungjawab membangun SPBG? Pertamina atau PGN, terkait dengan infrastruktur gas? Kemudian bagaimana dengan Pemerintah Daerah terkait dengan lokasi SPBG-nya? Kekusutan ini tak kunjung bisa diatasi sehingga janji SBY membangun 30 lebih SPBG di tahun 2012 dan belasan SPBG di tahun ini hanya berembus bak angin surga. Anehnya Pemerintah juga tidak membuat terobosan apapun.
Langkah PGN membuat MRU (Mobile Refueling Unit) untuk membantu bis Trans Jakarta (TJ) dan kendaraan dinas seluruh Kementerian mengisi gas rupanya juga di tanggapi dingin oleh para pengambil keputusan di Negara ini. Alasannya kendaraan mereka pakai converter untuk gas LPG bukan CNG. Sedangkan MRU berisi CNG. Jadi tidak cocok dan pengadan MRU belum bisa optimal.
Kesiapan Pertamina untuk membangun 7 SPBG dan PGN membangun 16 SPBG tahun ini demgan anggaran sendiri dikhawatirkan juga tidak banyak manfaatnya dalam memasarkan gas sebagai energi alternatif pengganti BBM bersubsidi jika tidak ada revolusi regulasi sektor gas, antara lain seperti segera menetapkan jenis gas yang akan digunakan kendaraan bermotor di seluruh Indonesia. CNG atau LPG. Masing-masing jenis mempunyai kelebihan dan kekurangannya.
Langkah Bijak Ke Depan
Langkah bijak pertama adalah segera revisi Permen ESDM No. 3 tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri. Langkah bijak kedua segera putusan tugas dan kewajiban kedua BUMN yang mengurus gas, Pertamina dan PGN. Harus ada kebijakan yang tegas supaya kewenangannya tidak tumpang tindih dan merugikan publik. Pisahkan siapa yang urus hulu dan siapa yang urus hilir beserta infrastrukturnya.
Ketiga segera terbitkan kebijakan yang menyatakan gas bukan komoditi tetapi bahan baku industri dan transportasi supaya pemanfaatannya untuk kebutuhan dalam negeri jelas. Pemerintah jangan bangga mengekspor gas sebanyak-banyaknya demi APBN tetapi industri dan transportasi domestik merana. Berbanggalah ketika gas sukses sebagai pengganti BBM dan dapat menumbuhkan sektor ekonomi Indonesia.
*) Agus Pambagio, Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
(nwk/nwk)