Di Balik JJS di Shinjuku
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan M Aji Surya (7)

Di Balik JJS di Shinjuku

Senin, 22 Apr 2013 10:23 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Banyak tempat di dunia ini yang enak untuk jalan-jalan sore (JJS). JJS di Shinjuku, Tokyo terasa lain. Di sini bersambut gayung alam tradisional dan modernitas, ciri khas masyarakat Jepang.

Salah satu tempat nongkrong teramai di ibukota negeri matahari terbit terletak di Shinjuku. Semua yang dibutuhkan pelancong ada disini. Hotel berbintang sampai kelas melati. Mall super besar hingga toko eceran. Rumah makan mahal hingga junk foods ala Amerika Serikat. Bahkan, panti pijat berderet-deret menjajakan kenikmatan sesaat.

Jalan besar enam jalur itu memang menjadi urat nadi dan meeting points anak muda. Sepanjang mata memandang, ribuan anak muda berjalan dan berkerumun setiap sore. Yang laki-laki pakai jaket berwarna gelap dengan celana jeans. Sementara gadis-gadisnya memakai rok mini dengan baju memanjang yang menutupi rok. Kesan sesaat, wanita itu tidak memakai rok dan membiarkan kaki putihnya menjulur untuk dinikmati siapa saja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jangan kuatir, semua bisa terjangkau. Kalau kantong lagi kempis, bisa nangkring makan malam di "warteg" nya Jepang. Nasi satu mangkok plus seiris salmon, setengah mangkok daging sapi rebus plus sup, oseng-mentimun ditambah secangkir ocha, cukup dengan 450 yen atau kisaran Rp 50 ribu. Sedangkan, makan di restoran beneran, sekali makan bisa habis Rp 600 ribu.

Untuk hotel, pelancong bisa merogoh kantong di kisaran Rp 1,3 juta untuk satu kamar yang representatif. Sedangkan untuk belanja, ada juga toko yang menjual semua barangnya dengan harga miring, 100 yen atau Rp 10 ribu per biji. Tapi jangan lupa juga bahwa yang bekantong tebal bisa menikmati shopping barang-barang merek terbatas yang harganya menyentuh langit ketujuh.

Uniknya, banyak sekali anak-anak muda yang datang dengan pakaian yang sedang ngetrend tersebut menggunakan sepeda. Mereka sepertinya tidak terganggu status sosialnya yang tinggi dengan mengayuh sepeda menuju tempat nongkrong kelas atas di kota sangat modern dengan gedung-gedung menjulang. Sementara mobil mewah berseliweran, sepeda pun tidak kalah banyak jumlahnya. Justru motor roda dua yang jarang terlihat.

Tidak heran juga, di pinggir Yasukoni Dori (jalan protokol Yasukoni) bergengsi itu terlihat ratusan sepeda yang berderet-deret. Semua tertata dengan rapinya. Ban belakang dan depannya seolah satu garis dengan jarak antara satu dan lainnya begitu terukur. Di setiap ujung parkir sepeda dijaga seorang satpam yang mengawasi mereka yang memarkir atau mengambil sepeda. Tidak ada bayar membayar karcis.

Uniknya lagi, di beberapa tempat ada tempat dimana para pemilik sepeda bisa menaruh barang bawaannya. Mereka meletakkan barang demikian simpel dan tidak khawatir diambil oleh orang yang tidak berhak. Seolah, tempat ini steril dari kejahatan.

Kalau di Indonesia di pinggir jalan protokol kadang terlihat tempat ibadah, masjid atau gereja, di Shinjuku demikian juga. Ada tempat di mana pemeluk agama Shinto dapat bersembahyang. Dari pinggir jalan terlihat jelas, mereka menarik-narik tali yang ujungnya dipasangi lonceng kecil. Kabarnya, suara lonceng dapat mengundang Tuhan untuk datang memenuhi panggilan hambaNya.

Uniknya lagi, di sepanjang trotoar tempat JJS anak muda tersebut, dipasangi beberapa lempengan kuningan yang bertuliskan bahasa kanji dan Inggris yang bunyinya: dilarang merokok di sepanjang jalan. Smoking on the street is prohibited. Rupanya, kesadaran untuk tidak membakar nikotin tidak hanya diterapkan di pesawat dan gedung-gedung mewah. Bahkan di tempat terbuka dan keramaian pun, seseorang dengan tegas dilarang merokok. Hebatnya lagi, di sepanjang Shinjuku, tidak terlihat orang merokok.

Sebagaimana banyak kota Jepang lainnya, di mana-mana terlihat begitu bersih. Hampir tidak terlihat satu sampah pun di jalanan atau trotoar. Jalan raya terlihat begitu menghitam seperti sepatu yang baru saja disemir, sedangkan trotoarnya bagaikan rumah kita yang baru saja dipel. Bahkan, beberapa stasiun keterta bawah tanah yang ada disana juga sangat menjaga kebersihan.

Yang mungkin membedakan antara Tokyo dengan banyak kota besar di Barat, adalah keramahan penduduknya. Bagi orang Indonesia, ini sangat menyenangkan. Ke mana pun kita pergi, selalu saja melihat anak muda dan orang tua yang menyunggingkan bibir mereka. Entah sedang bercengkerama dengan teman ataupun menyapa kita. Sebuah ciri dunia Timur yang tidak tidak lekang karena modernitas.

Ohayo gozaimas (selamat pagi, mas)?

* M Aji Surya adalah diplomat Kemlu


(nrl/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads