Peristiwa tersebut tentu akan membuat citra yang semakin jelek dari perilaku anggota DPR, dan semakin mengesankan bahwa studi banding yang selama ini dilakukan lebih didominasi jalan-jalannya daripada studinya. Tertangkap kamera dari penyimpangan studi banding ini sebelumnya juga pernah terjadi, di mana beberapa anggota DPR yang melakukan studi banding di Spanyol tengah mengunjungi Stadion Santiago Bernabeu, stadion milik Real Madrid FC.
Tak hanya itu, setelah mereka terkesima dengan megah dan auranya Stadion Santiago Bernabeu, mereka malah berkeinginan untuk bertemu dengan pengelola stadion dan manajemen Real Madrid FC. Jelas saja keinginan mereka tidak bisa terpenuhi, sebab saat itu Real Madrid akan melakukan el clasicco dengan Barcelona FC.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan sikap yang memaklumi dan menerima penjelasan dari anggota DPR yang melakukan penyimpangan studi banding, maka studi banding meski sempat diprotes tetap saja tiap tahun diselenggarakan, dan dalam kesempatan itu pula, pastinya pelaku studi banding masih akan menggunakan kesempatan yang ada bahkan lebih dominan untuk jalan-jalan.
Studi banding itu sah-sah saja dan memang diperlukan untuk menambah referensi untuk menyusun undang-undang. Referensi itu dicari ketika di dalam negeri tidak ada, meski sebetulnya ada. Namun selama ini tempat studi banding yang dipilih adalah negara yang dirasa memiliki panorama atau objek wisata yang indah dan menjadi tujuan turis dari berbagai dunia. Tak heran bila kebanyakan tempat studi banding adalah ke negara-negara Eropa atau negara di Benua Afrika, Asia, dan Amerika namun negara itu memiliki panorama yang menakjubkan seperti Afrika Selatan, China, Korea Selatan, Jepang, Mesir, dan Brasil.
Studi banding tidak mungkin ke Ethiopia, Somalia, Uganda, Zimbabwe, Kongo, Burundi, Liberia, Eritria, Timor Leste, dan negara-negara miskin di Afrika dan Asia lainnya. Alasannya bukan karena di negara-negara itu miskin itu tidak ada yang bisa dipelajari namun selain dalih ancaman terhadap keamanan mereka, di negara-negara miskin itu panorama disebut gersang dan panas, kalah jauh dengan indah dan sejuknya Gunung Alpen, mempesonanya canal-canal di Belanda dan Italia, serta wanginya suasana Paris, Prancis. Anggota DPR enggan melakukan studi banding ke Ethiopia, Somalia, Uganda, Zimbabwe, Kongo, Burundi, Liberia, Eritria, dan Timor Leste, bisa juga dilandasi alasan tidak ada fasilitas hotel bintang 5 dan spa dengan cewek-cewek berambut pirang dan mata biru.
Studi banding selama ini selain dianggap hanya sebagai sarana memfasilitasi anggota DPR jalan-jalan, apalagi terkadang tempat studi banding kurang cocok dan bahkan bisa menegasi dari harapan terhadap undang-undang yang hendak disusun. Misalnya saja pernah Anggota Komisi X melakukan studi banding ke Afrika Selatan untuk mempelajari tidak berkembangnya kegiatan Pramuka di negeri itu. Lha?! Kalau belajar soal tidak berkembang dan kegagalan Pramuka, mengapa kegiatan Pramuka yang di Indonesia sendiri yang dirasa belum maju tidak dievaluasi dan diteliti sendiri saja?
Salah sasaran studi banding, biasanya negara-negara yang sukses dalam bidang tertentu enggan dipelajari atau pelit untuk menularkan ilmunya. Penolakan dari negara-negara yang sukses itu, bukan lantas membuat studi banding batal, namun tetap dilakukan tetapi beralih ke negara lain yang mau menerima kunjungan. Itu dilakukan bukan untuk tetap mempelajari kesuksesan suatu hal namun agar anggaran yang sudah tersedia tidak hangus. Studi banding soal Pramuka sebenarnya direncanakan ke Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada, namun karena negara itu enggan dijadikan tempat belajar Indonesia, maka dialihkan ke Afrika Selatan, akhirnya bukan belajar soal kesuksesan namun belajar soal kegagalan, ha ha ha.
Demikian pula studi banding ke Brasil bagi anggota Pansus RUU Desa, awalnya direncanakan ke Venezuela, namun negara di bawah pimpinan Hugo Chaves itu menolak. Sama seperti alasan di atas, agar anggaran tidak menguap maka tempat studi dialihkan ke Brasil. Cocok mana belajar soal desa di Brasil dan Venezuela? Sesuai dengan karakter desa di Indonesia yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai sosialisme dan kebersamaan serta gotong royong, maka studi banding ke Venezuela lebih tepat, sebab Hugo Chaves dengan disiplin yang tinggi menerapkan nilai-nilai sosialisme dan prinsip-prinsip ekonomi seperti yang diajarkan oleh Bung Hatta.
Brasil memang bisa-bisa saja buat studi banding, di mana di bawah Presiden Lula da Silva, Negeri Samba itu mampu menjadi kekuatan ekonomi dunia. Namun masyarakat desa kita dengan sumber daya manusia yang belum cukup, belum siap untuk mengkapitalkan potensi yang ada. Kalau dipaksakan bisa seperti yang kita lihat seperti saat ini, yakni adanya konflik tanah dan penolakan terhadap investasi-investasi di bidang tambang.
Dengan paparan di atas bisa disimpulkan, pertama, studi banding bila sesuai rencana, target, dan kebutuhan itu saah-sah saja dilakukan. Namun realitanya studi banding lebih dominan digunakan untuk jalan-jalan dan secara fakta itu sudah terbukti. Di sinilah studi banding menjadi tidak efektif, sebab laporan yang masuk atau bahan-bahan yang dibutuhkan minim atau bahkan nihil.
Kedua, selama ini studi banding sering salah tempat, akibatnya bahan yang didapat malah bisa menegasi, seperti studi banding kok soal tidak berkembangnya Pramuka. Kemudian di Brasil kita hendak meniru kebehasilan di desa di sana namun desa di Brasil karakternya berbeda dengan desa di Indonesia.
Ketiga, studi banding yang dari dahulu hingga sekarang terus dikritik namun tetap berjalan dikarenakan di antara anggota DPR, secara keseluruhan, memang mengamini dan tetap mendukung adanya alokasi anggaran. Nah dengan dalih anggaran yang sudah tersedia dan bila tidak digunakan akan hangus, maka anggaran itu akan tetap dipaksakan untuk direalisasikan sehingga ada ungkapan yang penting studi banding, benar atau salah itu urusan nanti.
*) Ardi Winangun adalah pengamat politik. Penulis tinggal di Matraman, Jakarta.Nomor kontak: 08159052503
(vit/vit)