Bulan Juni depan, rencananya, Stefani Joanne Angelina Germanotta yang dikenal dengan Lady Gaga itu akan datang ke Indonesia. Menghibur penggemarnya di negeri ini, sebelum meneruskan rangkaian turnya ke Amerika Latin.
Lady Gaga dikenal sebagai penyanyi yang sangat terbuka. Terbuka auratnya, ide gagasannya, gerak tarinya, sampai hubungan intim sesama jenis dan keyakinan soal agama dan Tuhannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lady Gaga adalah produk zaman ini. Sebuah zaman yang tidak lagi mengenal tirai, yang bisa ditutup dan dibuang. Sebab dari anak kecil, muda, dan kakek-nenek tua renta ke mana-mana membawa 'aurat' jaman. Mereka bisa mengakses ceramah agama atau gambar telanjang di mana dan kapan saja. Juga untuk melihat ayat suci dan ayat setan untuk dihujat atau diteladani.
Jika Lady Gaga merupakan produk zaman, apa benar dia perusak moral? Sebelum menjawab ya atau tidak, rasanya kita perlu mengembara secara fisik memutari Nusantara. Dari Minahasa ada Toar dan Lumimuut. Toar itu anak Lumimuut yang akhirnya dijadikan suami. Dari Jawa Barat ada Dayang Sumbi mengawini Anjing Sagopi melahirkan Sangkuriang yang juga berniat mengawini ibunya.
Dari Sawai (Seram) penduduk setempat meyakini keturunan kelelawar, dari Pulau Komodo penduduk mengakui sebagai keturunannya, dari Papua mereka meyakini berasal dari patung Fumeripits, dari Kewar (Belu-Timor) tradisi Likurai bagian dari pengayauan, persembahan darah untuk roh nenek-moyang di punden berundak, di Candi Cetho dan Sukuh (Solo), darah perawan digunakan untuk itu, dengan patung lingga (kemaluan laki-laki) dan yoni (kemaluan perempuan) raksasa.
Setumpuk situs dan cerita rakyat itu hampir pasti tidak layak untuk diceritakan, apalagi diteladani.
Kendati 'ketabuan' itu agar tidak tabu disertakan dewa yang menjelma, tetapi toh tetap saja nalar jernih menolak. Tapi bagaimana penolakan itu bisa dilakukan jika itu bagian dari diri kita sendiri? Dan kenapa pula kita selama ini juga tidak melakukan penolakan?
Dalam buku saya, Filsafat Lingga Yoni: Sakralitas Vagina, terjawab, tabu menjadi tidak tabu jika terdapat kemasan sakral. Sakralitas itu yang membuat tabu tidak lagi ditabukan. Begawan Abiyasa menjadi sah menggauli Dewi Sukesi dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwat Diyu, juga Toar dan Lumimuut, serta Dayang Sumbi dengan Ki Sagopi (anjing).
Menikmati tontonan Lady Gaga rasanya juga akan sama. Itu jika melihat penyanyi ini bukan dari kancut (celana dalam) yang dipakai, beha yang dikenakan, lirik kritis tentang trans-gender dan keyakinan, tetapi dari suaranya yang menghentak dan indah. Toh untuk umbar tubuh, Madonna dan Britney Spears sudah melakukan. Sedang lirik pengundang setan, Last Kechup dengan Asereje mengumandangkan puluhan tahun lalu.
Bagi masyarakat baru (generasi muda), Lady Gaga adalah punden. Dia tokoh yang mewakili gerak zaman. Sebuah zaman yang perlu pentahbisan, yang Lady Gaga-lah pentahbisnya itu. Perempuan ini tak beda dengan punden berundak sebagai sarana pemujaan roh nenek moyang. Dia berada di ketinggian. Dan bukan yoninya yang disakralkan, tetapi suara dan penampilannya, karena di situlah rohnya.
Zaman vulgar ini akan terus berjalan mengikuti waktu. Zaman ini menurut Fritjof Capra, merupakan zaman semakin hilangnya misteri jagad. Tabu dan pantangan ditaklukkan. Ilmu diaplikasikan jauh dari kewenangannya. Dan itu yang membuat saringan untuk menemukan baik-buruk yang semula komunal menjadi individual. Hanya hati sendiri dan akal sendiri yang bisa melihat baik dan buruk itu adalah baik dan buruk. Versi Albert Camus, manusia semakin kehilangan kemanusiaannya.
Benarkah Lady Gaga perusak moral? Bagi saya, Lady Gaga adalah pejuang yang sukses memperjuangkan hidupnya untuk tidak tetap miskin, dilecehkan, dan jadi olok-olok atas ketidak-mampuan finansialnya. Sebab, Lady Gaga tidak lebih jahat dari handphone yang siapa saja punya dan dibawa ke mana-mana.
*) Djoko Suud adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.
(vit/vit)