Sopo Siro Sopo Ingsun
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Djoko Suud

Sopo Siro Sopo Ingsun

Selasa, 08 Mei 2012 13:41 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Arogansi terjadi di mana-mana. Di daerah amuk massa dan merusak kantor polisi atau kantor pemerintahan marak. Sedang di perkotaan, sikap adidang adigung dipamer-pamerkan.

Sikap sopo siro sopo ingsun (lu jual gue beli) itu ngetren. Menakut-nakuti pakai senjata api (senpi) menurut Serat Nitisastro terbilang 'konstruktif'. Sebab masih ada yang lebih destruktif, merampok dan membunuh pakai senpi. Ini buah jaman Kaliyoga, jaman penyembahan harta, di mana pemimpin, politisi, intelektual, juga ulama bertekuk lutut. Benarkah zaman gelap ini berlangsung tak lama?

Keberingasan memang semakin meninggi. Itu tanda bahwa filosofi materi telah tampil dalam wujutnya yang asli, hedonisasi. Filosofi budi yang menekankan moralitas sebagai ugeman telah berakhir. Sekarang sosok idaman berganti. Hero itu bukan lagi yang santun, jujur, polos dan lugu bersenjatakan berbaik sangka, tetapi yang kaya, sombong, suka pamer kekuasaan dan kekayaan, sambil pegang senjata.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keberingasan itu setidaknya distimulasi dua hal. Pertama, keroposnya nilai luhur yang melekat dalam bangsa ini. Kedua, hukum dimain-mainkan dengan sanksi ringan penyemai kian berjibunnya koruptor. Ditambah keterbukaan informasi, maka bajingan-bajingan yang menggerogoti uang negara itu satu sisi tampil sebagai sosok yang menjijikkan, tetapi sisi lain dia justru 'diteladani'. Jadi guru maling yang akan ditiru para maling atau calon maling.

Keteladanan buruk itu memang bertabrakan dengan keteladanan konservatif. Manusia baik itu sederhana, jujur, tidak sombong, nrimo ing pandum, banyak amal dan rajin ibadah. Tapi dengan banyaknya elite politik bergembira ria masuk penjara, maka 'guru maling' itu pun makin banyak punya jamaah. Sebab konklusi akhir, koruptor itu enak. Hanya dibui tiga bulan, habis itu kaya-raya seketurunan.

'Keteladanan baru ' itu tampil dalam bentuknya yang kelam. Manusia teladan itu kini bukan yang baik seperti dogma agama. Bukan pula yang moralitasnya terpuji, menerapkan ilmu padi, menunduk karena berisi, dan syukur terhadap segala yang Tuhan beri. Ketauladanan seperti itu sekarang dianggap usang. Aus dan hilang peminat.

Ketauladanan itu berganti pada sosok yang tipu-tipu dan suka berbohong. Yang obral janji dan ingkar janji, termasuk korupsi. Orang-orang yang 'berikhtiar' agar diberi rezeki melebihi takaran itulah kini yang banyak menjadi panutan. Mereka yang melakukan protes pada Tuhan jika hanya sekadar diberi hidup cukup dan sepadan itu sekarang yang menginspirasi rakyat. Juga yang mengucap syukur jadi bajingan demi tujuan memperkaya diri dengan jalan haram yang dihalal-halalkan.

Akibat itu korupsi bukan lagi aib. Penjara dianggap taman wisata. Itu pula sebabnya saban sidang korupsi, para koruptor bersilat lidah bak rabi. Merasa perkasa, hebat, dan suci. Apalagi jika menjadi pesakitan juga belum tentu tidur dalam sel penjara.

Hidup penuh ambisi dan sikap pantang menyerah terhadap 'takdir' itu meracuni hati. Sikap santun dan terpuji terkikis, berganti mimpi-mimpi buaian setan. Ingin lebih kaya dari yang kaya, ingin berkuasa dari yang berkuasa. Polusi pikiran itu merambah perasaan serta terekspresikan dalam penampilan. Jangan heran jika kini semakin banyak saja orang yang sombong, angkuh, dan arogan.

Penangkal 'keteladanan buruk' ini sebenarnya ada. 'Hukum besi. Hukum yang menakutkan dan berefek jera. Tapi lemahnya penegakan hukum, masih dimain-mainkan, dan sanksi yang ringan menyebabkan korupsi kian merajalela. Mereka yang punya kekuasaan dirangsang untuk korupsi. Sebab memang itu roh filosofi materi, tujuan akhir hidup adalah kaya. Kapan bisa kaya jika tidak korupsi? Sikap koruptif itulah keteladanan yang kini tergambar di mana-mana.

Rakyat melihat itu. Sebagian rakyat 'ingin' mengikuti langkah menjadi koruptor. Sayang, kesempatan tidak ada. Yang terjadi akhirnya sikap antipati terhadap penguasa. Kantor polisi simbol itu. Dan kantor pemerintahan dianggap bagian lain dari pusat berkembangnya virus penggerogot uang negara.

Amuk dan anarkisme adalah reaksi itu. Tak bakalan reda jika para pemimpin tetap korup dan hukum 'berpihak' pada bajingan. Ringannya sanksi hukum jadi sego jangan (makanan sehari-hari) bagi koruptor, dan jadi rabuk bagi yang tidak jahat agar menjadi jahat.

Koruptor yang belum tertangkap dan calon koruptor masih dalam antrean panjang. Juga amuk massa dan anarkisme di berbagai daerah. Tinggal menunggu kesempatan semua itu akan berbuat jahat, kelak semakin banyak pula yang akan menjadi penjahat. Mengkorup uang rakyat, atau merusak simbol-simbol 'sarang penjahat'.

Dalam khazanah lama, zaman seperti ini disebut jaman Kaliyoga. Jaman di mana kekayaan mengalahkan segalanya. Pejabat tinggi, ulama, intelektual, rakyat, semuanya menyembah harta, diikuti alam yang terus bergolak menunjukkan keperkasaannya.

Kendati itu tak lama, seperti tersirat dalam Serat Nitisastro, tetapi 'jaman sopo siro sopo ingsun' itu banyak membawa korban. Tak sedikit yang dipermalukan. Juga menjemput ajal dalam keaiban. Itu tuah dari sikap adigang adigung !

*Djoko Suud, budayawan, tinggal di Jakarta

(nrl/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads