Berita buruk tentang geng motor pertama kali tersebar bukan saat terjadinya insiden di Jakarta saat-saat ini, namun sudah sering terjadi, khususnya di Kota Bandung dan sekitarnya, beberapa waktu yang lalu. Namun entah mengapa kejadian yang sudah-sudah itu tidak ditangani secara tuntas, sehingga oknum dari kelompok itu sampai sekarang terus berulah.
Menangani masalah geng motor, sebenarnya sama rumusnya dengan menangani masalah kenakalan anak muda, sebab anggota geng motor yang marak saat ini anggotanya mayoritas adalah anak muda. Sebagai anak muda, yang mungkin sedang mencari identitas atau menjadi korban metropolitan seperti Ali, membuat mereka terkadang membuat tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan mengambil hak orang lain, seperti menguasai jalan dan tidak mau memberi pengguna jalan lain untuk mendahului.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anak-anak muda sekarang mudah membentuk geng motor juga diakibatkan mudahnya membeli motor. Pihak marketing sepeda motor dengan memberikan iming-iming bonus dan kemudahan prosedur pembelian, menawarkan kepada masyarakat untuk memiliki sepeda motor. Hanya dengan uang Rp 300.000, sekarang seseorang bisa memiliki sepeda motor. Karena dirasa menggunakan sepeda motor lebih praktis, efisien, dan lebih cepat sampai tujuan maka masyarakat memilih motor sebagai sarana alat transportasi. Mudahnya memiliki sepeda motor inilah yang menyebabkan jumlah sepeda motor di Indonesia membengkak. Pada tahun 2011, sepeda motor di Indonesia jumlahnya mencapai 80 juta.
Kemudahan masyarakat (baca: orangtua) membelikan sepeda motor buat anaknya untuk ke sekolah atau kuliah inilah yang terkadang digunakan mereka untuk membuat geng motor. Membentuk komunitas sebenarnya tidak ada masalah selama komunitas itu untuk melakukan kegiatan yang positif, namun terkadang komunitas yang ada disalahgunakan untuk pamer kekuatan.
Dalam sebuah kesempatan, Wakapolri Komjen Pol Nanan Sukarna mengatakan dirinya menantang geng motor menjadi pembalap. Lebih lanjut dikatakan bila perlu ia akan menyekolahkan anggota geng motor ke luar negeri.
Apa yang dikatakan Nanan Sukarna itu merupakan sebuah upaya yang positif. Maraknya geng motor juga bisa diakibatkan mereka ingin menjadi pembalap, namun mereka tidak memiliki tempat untuk menyalurkan bakatnya, sehingga membuat mereka melakukan balapan di jalan-jalan umum. Kegiatan itu pasti membahayakan pengguna jalan lainnya.
Misalnya di daerah Manggarai, setia Minggu sore, banyak anak muda duduk di atas sepeda motor di Jl. Minangkabau, menyaksikan balapan liar. Bila melintas jalan tersebut saat balapan liar, terasa ngeri dan menakutkan, sebab mungkin kita bisa secara mendadak ditabrak peserta balapan liar. Di wilayah Jabodetabek saja tercatat ada 20 titik yang dijadikan tempat balapan liar.
Dalam hal ini tugas pemerintah daerah untuk menyediakan sarana balapan resmi. Ini menjadi tantangan bagi calon Gubenur Jakarta, sebab saat kampanye di Tebet, Hidayat Nurwahid mengkritik penyelesaian tindakan kriminal geng motor. Sarana balapan resmi ini dibangun guna pertama, untuk menyalurkan bakat para anak muda yang ingin menjadi pembalap profesional. Bisa juga digunakan untuk menyalurkan jiwa anak muda, bahkan juga bisa digunakan untuk menyalurkan psikis anak muda yang depresi dan stress akibat kondisi orangtua atau sekolahnya yang kurang memperhatikan mereka.
Kedua, dengan adanya sarana balapan resmi maka akan mengurangi bahkan menihilkan korban. Menurut data Indonesia Police Watch (IPW) sejak 2009 hingga kini sudah terdapat 195 orang tewas di arena balap liar. Ketiga, memininalisasi sikap negatif geng motor. Dengan adanya sarana balapan liar, geng motor akan lebih bertindak sportif.
Kriminalitas Menggunakan Sepeda Motor
Disebut-sebut bahwa pelaku tindakan anarkhis di sebuah tempot nongkrong di Salemba atau Jl Pramuka, Jakarta, itu bukang geng motor biasa. Artinya mereka bukan yang selama ini pemilik sepeda motor yang membentuk komunitas geng motor, namun hanya menggunakan sepeda motor sebagai sarana untuk mempercepat tindakan anarkhis.
Sebagai alat transportasi yang cepat dan lincah bergerak, sepeda motor cocok digunakan untuk mendukung ‘operasinya.’ Mereka beranggapan bila jalan kaki, pasti akan memakan energi serta waktu. Dan bila melakukan penyelamatan diri, bila terdesak, cara lari dirasa kurang memberi perlindungan kepada mereka, sehingga sepeda motor dianggap sarana yang paling tepat untuk bergerak, maju atau mundur.
Maraknya tawuran antar perguruan silat di beberapa daerah Jawa Timur, mereka juga sering menggunakan sepeda motor untuk menyerang lawan. Namun selama ini mereka tidak pernah disebut sebagai geng motor. Bisa disimpulkan bahwa kriminalitas di jalan pelakunya belum tentu geng motor, namun bisa jadi kelompok lain yang menggunakan sepeda motor.
*) Penulis adalah Siswa Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa, tinggal di Matraman, Jakarta Timur.
(nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini