Dalam dunia percaturan perencanaan transportasi, macet adalah gejala masalah kota. Ia ibarat badan panas. Jika panas, dokter akan menentukan penyebab panas terlebih dahulu sebelum diobati. Bisa sakit ringan (seperti tumbuh gigi) atau malah penyakit berbahaya (seperti tumor). Begitu juga dengan macet, 'dokter' perencana kota bisa menentukan apakah ini penyakit ringan (seperti bottle neck di pintu tol) atau penyakit ganas (seperti tata ruang kota amburadul). Jadi, macet itu bukan hanya disebabkan oleh si Komo (kendaraan) yang jalannya lambat tapi, khusus DKI Jakarta, si Komo telah berevolusi menjadi dosomuko (satu wujud bermuka banyak).
Salahnya perencanaan kota adalah satu kemungkinan inti penyebab macet. Sayang sekali, sampai saat ini, inti masalah tersebut belum banyak dikupas oleh para calon. Wahai warga! terbuai janji manis atau palsu akan menyebabkan menangisnya kantong anda setiap hari. Kerugian finansial kemacetan ini sudah besar dan semakin membesar. Dari berbagai sumber, biaya kemacetan pertahun diperkirakan sekitar Rp 12,5 triliun (tahun 2005), Rp 43 triliun (tahun 2007) dan lebih dari Rp 45 triliun (tahun 2010). Oleh karenanya, ujilah janji itu dengan beberapa penyebab berikut, jika tidak ingin kantong abang dan none menangis.
Si Komo Itu adalah Bangunan Penarik Pergerakan
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah menempatkan satu bangunan regional saja akan menyebabkan antrian panjang karena belum tentu kendaraan yang lewat itu bertujuan pada bangunan tersebut. Campur aduk kendaraan pada satu ruas jalan inilah yang menjadi awal kemacetan. Oleh karenanya, tolaklah pengguntingan pita peresmian bangunan penarik pergerakan regional jika ada di lingkungan permukiman, di sisi jalan bukan arteri atau tempat lain yang tidak pantas. Undang-undang penataan ruang sudah jauh hari menitipkan amanat penolakan ini pada warga.
Si Komo Itu adalah Tidak Terjaganya Hierarki Kota
Jika banyak warga harus bergerak dari pojok selatan ke pojok utara kota setiap hari atau penduduk barat tapi bekerja di timur. Dijamin lambat laun kota akan macet minimal pada saat jam-jam puncak (sekitar pukul 7 pagi atau pukul 6 sore). Solusi jaringan jalan masif dan public transport yang melimpah 'mungkin' mengurangi macet.
Tapi yang pasti, fasilitas itu tidak termanfaatkan secara maksimal di jam non puncak. Artinya, PAD Jakarta yang berasal dari kantong warga digunakan secara boros. Mau, pemimpinnya foya-foya dengan alibi untuk tidak macet? Untuk menghindari pemborosan ini, pengaturan hierarki kota adalah solusi yang berkelanjutan. Menjaga hierarki kota berarti menyediakan kebutuhan warga pada lingkungan terdekatnya.
Jika hanya ingin membeli gula dan kopi (sebagai contoh rutinitas harian), warga tidak perlu pergi ke supermal di bagian kota lainnya. Cukup ke warung di sekitar rumahnya atau swalayan di sekitar RT-nya. Itulah prinsip menjaga hierarki kota yang berguna dalam mengurangi potensi pergerakan penduduk.
Jika melegalkan satu bangunan pembangkit pergerakan seperti industri, perkantoran atau komersial, maka sudah menjadi wajib hukumnya bagi sang pemimpin untuk menyediakan fasilitas permukiman dan fasilitas pendukung lain disekitarnya. Jika lahan itu mahal, bangunlah bangunan bertingkat dari mewah (kondominium) sampai sederhana (rumah susun). Tagihlah komitmen ini pada calon yang akan dipilih.
Si Komo Itu adalah Bangunan yang Berjauhan
Jarak bangunan yang berjauhan di pusat-pusat kota akan menyebabkan warga memerlukan kendaraan untuk berpindah dari satu bangunan ke bangunan lainnya. Jarak bangunan tidak ramah pejalan itu disebabkan oleh pembangunan pusat kota yang horizontal dan tidak ada harmoni antar bangunan. Walhasil, warga akan lebih senang memakai kendaraan pribadinya.
Kalau sempat ke Melbourne, amati pusat kotanya. Untuk bergerak dari shopping centre ke stasiun, dari satu toko ke toko berikutnya, cukup dengan jalan kaki. Jalan kaki pun nyaman dengan didukung oleh pedestrian yang masif, jauh dari sekadar asesoris kota. Jika ingin pergi lebih jauh, pejalan kaki dimanjakan oleh fasilitas trams gratis (circle trams) ataupun menyewa sepeda (bike share) yang bertebaran di setiap pojok pusat kota.
Pengondisian ini seharusnya menjadi pengetahuan dasar para calon. Kalau calon tersebut tidak mengerti pentingnya hal ini, janganlah dipilih karenanya janjinya hanya isapan jempol belaka.
Si Komo Itu adalah Tidak Ada Ruang Servis
Jika pun akan ada MRT (mass rapid transit), monorel, double tracks untuk kereta api dan segudang lain jenis public transport yang dijanjikan oleh para calon, ketiadaan ruang servis akan mengurangi efektivitas solusi tersebut. Perlu diperhatikan bahwa segudang solusi itu berarti pengeluaran besar PAD Jakarta, pengeluaran besar uang dari kantong Jakmania. Terlalu sayang jika efektivitasnya rendah. Ruang servis adalah ruang-ruang kota yang mendukung aktivitas pemakai kendaraan seperti ruang parkir komuter.
Ruang servis ini penghubung pemakai kendaraan pribadi dengan kendaraan umum. Setiap pusat pengumpul (berupa stasiun, terminal dan bandara) sudah selayaknya dilengkapi oleh parkir komuter yang luas dan gratis. Jika tidak ada lahan, bangunan bertingkat pun harus disediakan untuk para pengendara yang beritikad baik menggunakan public transports. Manjakanlah warga yang ingin mengurangi kemacetan dengan ruang parkir komuter disetiap pusat pengumpul itu. Jika tidak, berarti janji si calon akan tetap membuat abang dan none sengsara.
Empat tipe Si Komo di atas tentunya bukan semua penyebab terjadi macet di Jakarta. Walaupun demikian, penaklukan empat jenis Si Komo itu akan memastikan pola penanganan transportasi kota berada pada jalur yang tepat. Jika sang calon tidak mengupas ini, tentu solusi yang ditawarkan adalah solusi instan. Layaknya makan mi instan, cepat menyelesaikan masalah lapar tapi jika dikonsumsi terus menerus, masalah besar (seperti kekurangan gizi) akan lambat tapi pasti menjadi nyata.
Solusi instan bisa saja mengatasi macet dalam 1 sampai 3 tahun, tapi itu berarti juga menumpuk masalah di kemudian hari. Ingat solusi yang ditawarkan Melisa untuk lewat jalan tol dibait akhir lagunya. Jika kita sudah paham dari dulu, tentu kita akan menertawakan solusi instan yang digandrungi oleh penguasa orde baru saat itu. Mau tertipu pada lubang yang samakah, Jakmania?
*) Adjie Pamungkas adalah dosen perencanaan wilayah dan kota dari ITS dan kandidat doktor dari RMIT, Australia. Kontak penulis: adjieku@gmail.com
(vit/vta)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini