Nunun Sang Majenun?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Djoko Suud

Nunun Sang Majenun?

Rabu, 14 Des 2011 06:13 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Nunun Nurbaetie berhasil ditangkap KPK. Dia tidak majenun seperti yang dikira. Bisa bicara lumrah dan menjawab. Juga bilang selamat pagi serta apa kabar. Kini dia dipindahkan ke RS Polri setelah stres ditaruh di rutan Pondok Bambu. Betulkah jika tetap lupa ingatan memasukkannya dalam kesulitan yang lebih besar?

Petualangan Nunun berakhir sudah. Dia ditangkap di Thailand. Penangkapan ini sempat membingungkan. Polisi mendapat kabar telat. Juga perwakilan Indonesia di negeri yang habis kebanjiran itu. Maklum informasi penggerebekan acap bocor. Tersangka itu kabur duluan sebelum dicokok.

Penangkapan ini patut diapresiasi. Kinerja KPK profesional. Mampu mensiasati pola 'berita kepada teman' yang sudah mentradisi. Juga sebagai jawaban, kalau serius tidak ada yang tidak mungkin. Apalagi hanya sekadar menemukan orang berduit yang tentunya bertabur fasilitas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah tertangkap, Nunun ditaksir akan banyak bicara. Itu bagian penting upaya meringankan perkaranya. Awal banyak bicara itu telah dimulai sang suami. Adang Daradjatun menggelar jumpa pers. Mantan Wakapolri itu menceritakan perkara yang menyeret istrinya itu, sambil menyebut nama lain yang kini masih leha-leha.

Nunun harus berganti peran. Majenun (lupa ingatan akut) tidak menguntungkan. Itu sama dengan melindungi pendonor dan menyembunyikan tokoh intelektual kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dimenangi Miranda Gultom. Perkara tahun 2004 ini yang menempatkan Nunun berstatus tersangka.

Nunun rasanya lebih strategis menjadi bola liar. Menceracau kemana-mana. Mengungkap realitas yang ada tanpa digelayuti minimnya alat bukti dan saksi. Keliaran itu sangat penting. Ini akan mendorong pihak-pihak yang tersembunyi muncul ke permukaan. Tanpa itu, segala risiko yang tersisa akan 'diborongnya'. Dan ini pasti tidak diharapkan. Apalagi 'berkat dia', puluhan wakil rakyat masuk penjara. Sisi lain yang menangguk untung bebas merdeka, belum tersentuh.

Untuk itu kini Nunun dipaksa tidak majenun biasa tetapi 'majenun plus-plus'. Sebab kemajenunan menguntungkan orang yang menyeretnya dalam kesulitan. Nunun wajib terbuka. Blak-blakan. Menguak siapa pemberi dana. Dan motif apa di balik suap itu. Jika ini dilakukan, aib yang terlanjur melekat saat buron ditolerir. Orang dipaksa paham karena alasan yang masuk akal.

Kalau Nunun mengambil peran itu, maka akhir kisah ini bakal menyerupai balada cinta Qois penggila Laila. Bedanya, tiupan seruling Qois menggugah denyar cinta penghuni kabilah. Tapi pengakuan yang meluncur dari mulut Nunun menghipnotis yang mendengar dan calon tersangka baru, yang kini masih leluasa di alam bebas. Beranikah Nunun mengambil peran itu?

Memang peran baru ini bukan tanpa risiko. Selain menyeret yang terlibat dalam perkara suap, juga akan memunculkan tersangka lain di luar kasus itu sendiri. Dokter pribadi Nunun, misalnya. Juga pihak-pihak yang terlibat dalam kesaksian palsu.

Namun jika Nunun tidak melakukan itu, hampir pasti sosialita ini bakal menjadi majenun beneran. Dia jadi bulan-bulanan penyidik KPK. Jadi cercaan masyarakat. Itu di balik tawa ngakak pihak yang menceburkannya dalam perkara yang nista ini.

Peran manakah yang akan dipilih Nunun? Nunun Majenun memang bak buah simalakama. Dua-duanya sarat tragedi.

*) Djoko Suud, pemerhati sosial budaya

(asy/asy)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads