Catatan Buruk Keamanan dan Kenyamanan GBK
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Catatan Buruk Keamanan dan Kenyamanan GBK

Selasa, 22 Nov 2011 15:14 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Dari waktu ke waktu, sepertinya keamanan dan kenyamanan Stadion Gelora Bung Karno (GBK) semakin menunjukan tempat yang tidak ramah bagi penonton. Diberitakan dalam final cabang sepakbola SEA Games XXVI, antara Indonesia melawan Malaysia, dua orang meninggal dunia. Kedua suporter Indonesia itu meninggal dunia karena terinjak-injak saat antre masuk ke stadion Gelora Bung Karno di sektor 15.

Kelemahan, kelengahan, dan ketidakprofesionalan aparat keamanan dan panitia pertandingan dalam mengelola pertandingan, ini bukan yang pertama kalinya. Ketika pertandingan penyisihan piala dunia antara Indonesia melawan Bahrain, wasit Asal Korea Selatan, Lee Min Hu, menghentikan pertandingan, pada menit 77. Alasannya suporter Indonesia menyalakan petasan dengan akibat mengganggu jalannya pertandingan. Bila saat Presiden SBY datang ke Stadion GBK saja aparat kecolongan, dengan disulutnya petasan oleh para suporter, apalagi saat presiden tidak ada di stadion.

Atas apa yang terjadinya insinden seperti di atas, bila diadukan ke AFC dan FIFA, Stadion GBK bisa dihukum dengan tidak boleh menjadi tempat pertandingan atas alasan tidak bisa memberi rasa aman dan nyaman dalam menyelenggarakan pertandingan sepakbola, baik kepada pemain maupun penonton.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meninggalnya dua suporter Indonesia bisa terjadi dikarenakan banyak faktor, bisa saja karena antusiasnya masyarakat, lebih dari 100.000 orang datang ke GBK, untuk mendukung Tim Nasional U-23 Indonesia sehingga segala daya upaya dilakukan agar bisa masuk ke dalam stadion, meski di dalam mereka rela tidak mendapat tempat duduk dan berdiri.

Namun ada beberapa hal yang membuat suasana kenyamanan dan ketidakamanan di GBK tidak tercipta. Suasana itu adalah, pertama, ada pihak-pihak tertentu yang hanya memburu keuntungan. Memburu keuntungan seperti: 'beralihnya' penjualan tiket dari agen resmi ke tangan calo sehingga secara tiba-tiba tiket habis padahal loket baru dibuka, oknum aparat yang memasukan penonton tanpa tiket, dan pengedar tiket palsu. Dari hal itu semua maka kapasitas stadion yang hanya menampung 100.000 penonton menjadi lebih.

Dari kelebihan penonton itu maka terlihat selain penonton banyak yang berdiri, juga nampak berdesakan dan berhimpitan antara satu dengan yang lainnya. Di sinilah munculnya kepanikan dan keresahan baik saat memasuki stadion, di dalam stadion, maupun saat keluar stadion. Pintu-pintu sektor yang tidak semuanya dibuka tentu akan menyebabkan arus penonton yang keluar masuk menjadi padat pada titik-titik tertentu.

Kelebihan penonton ini juga membahayakan bangunan GBK. Coba anda rasakan bila terjadi gol yang dibikin pemain Tim Nasional U-23 Indonesia, dan seluruh penonton bersorak sorai sambil melompat-lompat, beton-beton tempat duduk itu terasa bergerak. Bila ribuan massa terus melompat-lompat maka bisa menyebabkan bangunan runtuh. Hal-hal itulah yang menjadi pemicu tragedi.

Kalau kita mengingat Tragedi Heysel, 29 Mei 1985, ketika final Champion Cup antara Liverpool dan Juventus, korban meninggal 39 yang paling banyak suporter Juventus dan penonton lainnya, disebabkan bukan karena vandalisme suporter Liverpool saja namun juga karena robohnya dinding pembatas di sektor kerusuhan karena tidak kuasa menahan beban sehingga mengakibatkan ratusan orang tertimpa dinding yang berjatuhan. Akibatnya tidak membuat 39 orang meninggal, tetapi 600 lainnya mengalami luka-luka.

Memburu keuntungan yang lain dalam pertandingan final cabang sepakbola Sea Games XXVI adalah, aparat merazia penonton yang membawa minuman dalam gelas atau botol plastik, namun begitu di dalam stadion banyak penjual air di dalam gelas atau botol plastik. Jelas di sini ada unsur bagi untung antara aparat dan penjual. Bila razia itu konsekuen tentu penjual minuman dalam gelas dan botol plastik di dalam stadion juga dilarang.

Kedua, adanya unsur 'diskriminatif' kategori atau kelas penonton, bila di kelas VIP dan VVIP begitu nyaman, sejuk, lapang, dan pengamanan yang tinggi, maka beda dengan kelas-kelas dari Kategori I sampai Tribun, di mana di dalam kelas-kelas itu selain padat juga gerah. Memang benar bila ada yang mengatakan, ada uang ada pelayanan yang lebih, namun harus disadari bahwa kenyamanan dan keamanan harus wajib diberikan kepada semua penonton.

Tragedi yang terjadi di GBK sebenarnya bukan karena ulah vandalisme dari penonton namun dari tidak siapnya aparat keamanan dan panitia pertandingan. Kalau kita cermati tidak ada tindakan anarkisme dari penonton meski Tim Nasional U-23 Indonesia kalah.

Meninggalnya dua suporter Indonesia itu seharusnya menjadi catatan bagi PSSI untuk mengaudit dan mengawasi pengelola GBK. Bila hal ini tidak diambil hikmahnya, kejadian seperti dalam final cabang sepakbola SEA Games XXVI bisa terjadi lagi dalam pertandingan-pertandingan selanjutnya sehingga catatan buruk GBK akan semakin panjang.

*) Ardi Winangun adalah wartawan dan penggemar sepakbola Indonesia. Nomor kontak: 08159052503. Email: Ardi_winangun@yahoo.com. Penulis tinggal di Matraman, Salemba, Jakarta.

(vit/vit)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads