Setiap pekerja memiliki hak untuk mendapat perlindungan, begitu pula halnya dengan pekerja informal. Sebagaimana amanah UU No 32/1992 tentang Jamsostek. Dalam pasal 3 ayat 2 UU tersebut, disebutkan setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja. Para pekerja sektor informal pun memiliki potensi yang sama terkait dengan risiko kerja. Pekerja informal juga memiliki hak yang sama untuk dilindungi melalui program Jamsostek. Mereka berhak dilindungi dari risiko kerja, seperti kematian, kecelakaan, sakit dan santunan dalam memasuki masa tua.
Banyak pihak yang menyebut sektor informal sebagai penyelamat perekonomian nasional karena mereka mempunyai daya tahan yang cukup kuat di tengah krisis ekonomi yang melanda. Pekerja sektor informal pada umumnya berusaha pada usaha-usaha ekonomi informal dengan ciri-ciri antara lain: berskala mikro dengan modal kecil, menggunakan teknologi sederhana, menghasilkan barang dan atau jasa dengan kualitas relatif rendah, tempat usaha tidak tetap, mobilitas tenaga kerja sangat tinggi, kelangsungan usaha tidak terjamin, jam kerja tidak teratur, tingkat produktivitas dan penghasilan relatif rendah dan tidak tetap. Contoh spesifiknya seperti: tukang becak, sopir angkot, petani, nelayan, pengamen jalanan, pedagang kaki lima, dan sebagainya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertemuan berbagai konfederasi serikat pekerja dari berbagai negara di kawasan Asia Pasifik di Jakarta pada kurun waktu lalu, berupaya merumuskan social security system (sistem jaminan sosial) yang lebih baik untuk pekerja informal. Kondisi di setiap negara jelas tidak sama. Tetapi secara umum, hal yang paling penting sekarang ini adalah penerapan sistem jaminan sosial. Beberapa negara, terutama di Indonesia belum menerapkan jaminan sosial kepada para pekerja informal secara fokus dan berkelanjutan.
Berdasarkan studi terbaru dari ILO (International Labour Organization), para pekerja informal di Indonesia tidak keberatan membayar iuran sebesar Rp 20.000 per bulan. Angka tersebut sama dengan 5 s/d 7,5 persen dari total pendapatan/bulan. Upah minimum provinsi bisa dijadikan acuan dalam menentukan besaran iuran. Sebagai contoh, upah minimum di DKI Jakarta Rp 1.290.000, besaran iuran untuk untuk program Jaminan Keselamatan Kerja (JKK) sebesar Rp 13.500 per bulan. Iuran Jaminan Kematian (JK) sebesar Rp 4.100 per bulan dan iuran Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar Rp 27.000 per bulan. Jadi, iuran untuk tenaga kerja sektor informal tersebut, setiap bulannya menjadi Rp 44.600 per bulan untuk jenis perlindungan JKK, JK dan JHT.
UMR (Upah Minimum Regional) yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia jika dibandingkan dengan Jepang maupun Korea Selatan maka kondisi upah pekerja informal Indonesia di bawah rata-rata. Di kedua negara tersebut, sebagian besar pekerja informalnya mendapat fasilitas jaminan sosial seperti Jamsostek di Indonesia. Sementara di Indonesia, Jamsostek untuk pekerja informal baru dimulai tahun 2006. Tetapi hasilnya juga masih sangat minim, karena banyak kesulitan di lapangan. Di antaranya, pekerja informal tidak memiliki bos seperti pekerja formal di kantor perusahaan. Mereka adalah majikan atau bosnya sendiri. Keikutsertaan mereka dalam jamsostek, pekerja informal tetap harus bayar iuran seperti pekerja formal.
Untuk pekerja formal, biasanya pembayaran iuran Jamsostek diatur oleh perusahaan di mana mereka bekerja. Iuran dibayar dengan potongan gaji karyawan yang ikut Jamsostek. Tetapi kalau pekerja informal, masih sulit diterapkan jika bos/majikannya memotong gaji tenaga kerjanya setiap bulan untuk bayar iuran Jamsostek.
Potensi pekerja informal sangat besar, sedikitnya 73,20 juta orang pekerja (65,77%) dari angkatan kerja, sementara kepesertaan mereka secara nasional masih sangat kecil, yakni sekitar 600.000 pekerja informal. PT Jamsostek sebagai BUMN yang menyelenggarakan program jaminan sosial tersebut menargetkan penambahan kepesertaan di sektor informal sebanyak 176.000 pekerja pada 2009, namun ternyata belum tercapai.
Hal ini disebabkan perangkat hukum pendukung masih minim. Pekerja Informal dikategorikan sebagai tenaga kerja luar hubungan kerja (TK-LHK). Oleh karenanya, mereka menjadi peserta secara sukarela dengan batas usia maksimal 55 tahun. Sementara ini, dasar hukum program TK LHK mengacu pada Peraturan Menteri No 24/MEN/IV/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jamsostek Bagi Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja.
Pemerintah dari pusat hingga daerah berkewajiban menekankan keberpihakan terhadap pengembangan kelompok usaha ini dengan menekankan urgensi atas jaminan sosial tenaga kerja terhadap pekerja informal. Langkah tersebut perlu dilakukan melalui cara memberikan perlindungan jaminan sosial bagi tenaga kerja di luar hubungan kerja pada saat tenaga kerja tersebut kehilangan sebagian atau seluruh penghasilannya sebagai akibat terjadinya risiko-risiko antara lain kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia. Singkatnya, para pekerja sektor informal pun musti memperoleh cakupan kepesertaan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
*) Hery Susanto, MSi adalah Direktur Eksekutif Komunal.
(vit/vit)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini