Teori SLAPP ini pernah pula dilakukan oleh raja bisnis waralaba, McDonald's Corporation yang menuntut masyarakat Inggris karena mengkritik bisnis waralaba tersebut. Kasus ini menjadi kasus pencemaran nama baik terpanjang sepanjang sejarah hukum di Inggris untuk kasus yang sama karena memakan waktu selama 2 dasawarsa.
Kasus ini bermula ketika aktivis London Greenpeace (bukan LSM internasional) menyebarkan pamflet bahaya mengonsumsi McD pada tahun 1986 silam. Dalam pamflet tersebut disebutkan bahwa McD menjadi sumber kelaparan di Dunia Ketiga, McD bentuk imperialisme ekonomi, McD merusak hutan, McD tidak sehat, iklan McD mengeksploitasi anak-anak, daging McD terkontaminasi dan sebagainya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam perjalanan kasus, Graven, Andrew Clarke dan Jonathan O'Farrell memilih meminta maaf kepada McD. Alhasil tinggallah Steel dan Morris yang harus berjuang bersama melawan perusahaan waralaba terbesar di dunia ini.
Di pengadilan tingkat pertama 180 saksi hadir di persidangan. Dalam putusannya, hakim Rodger Bell menyatakan produk McDonald membahayakan kesehatan pekerja dan masyarakat dengan "iklan yang menyesatkan", McD juga "mengeksploitasi anak-anak", dan McD membayar para pekerja upah rendah.
Namun Bell tetap menghukum biaya perkara sebesar ÂŖ 60 ribu atau sekitar Rp 1 miliar. Atas vonis biaya perkara ini, Steel dan Moris yang cuma Tukang Pos dan Tukang Kebun langsung banding karena tidak memiliki uang untuk membayar biaya perkara.
Lantas, di tingkat banding, lagi-lagi McD dinyatakan bersalah. Hakim menyatakan bahwa dengan memakan satu kali produk McD dalam satu hari, maka merusak program diet dan membahayakan terhadap kesehatan jantung dan liver. Untuk biaya perkara, hakim menurunkan biaya perkara menjadi ÂŖ 20 ribu atau sekitar Rp 250 juta.
Atas putusan ini, Steel dan Moris mengajukan keberatan ke The Law Lords dan meminta dibatalkannya putusan pengadilan tersebut. Namun alasan ini ditolak oleh The Law Lords.
Lantas, Steel dan Moris mengajukan kasus tersebut ke European Court of Human Rights (ECHR/ Pengadilan HAM Eropa). Dalam putusan, ECHR menghukum dan menyatakan Pemerintah Inggris bersalah. Sebab Pemerintah Inggris membiarkan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh sebuah perusahaan raksasa terhadap rakyatnya.
ECHR juga menghukum pemerintah Inggris membayar ganti rugi sebanyak ÂŖ 57 ribu atau sekitar Rp 600 juta atas perkara ini. Putusan yang dibuat pada 15 Februari 2005 ini menutup kasus yang telah berlangsung selama 20 tahun lamanya.
Dalam analisa SLAPP, McD menginginkan konsumen merasa takut, terintimidasi dan lelah dalam mengikuti proses hukum. Bahkan jika perlu, akibat efek SLAPP, konsumen meninggal selama proses hukum.
Hal ini pula yang sempat dirasakan oleh Steel dan Morris. Sebagai Tukang Pos dan Tukang Kebun, dia tidak bisa membayar pengacara untuk membela dirinya. Berbeda dengan McD yang menggunakan pengacara dengan tarif ÂŖ 2 ribu per jam-nya. Belum lagi proses sidang yang berlarut- larut membuat Steel dan Morris harus sakit-sakitan.
Lantas bagaiamana dengan kasus pencurian pulsa di Indonesia? Dalam kacamata hukum, kedua kasus ini sama-sama bernuansa kasus produsen vs konsumen. Ketika konsumen meminta hak-hanya, produsen langsung melancarkan serangan membabi buta.
Kesamaan kedua, Pemerintah Inggris dan Pemerintah Indonesia menganggap kasus ini merupakan kasus privat/ perdata semata. Sehingga pemerintah diam dan menyerahkan kepada sistem pasar. Sikap ini juga yang diambil Kementrian Informasi dan Telekomunikasi (Kominfo) ketika mendiamkan kasus tersebut dalam rapat di Kantor Kominfo, Jalan Medan Merdeka Barat kemarin. Kominfo diam dan tidak membela masyarakat.
Anehnya lagi, Kominfo malah memilih menyerahkan kasus itu kepada sistem pasar yaitu membiarkan pertarungan antara masyarakat melawan operator seluler dan provider seluler. Masyarakat yang dalam posisi lemah harus melawan koorporasi besar, besar dalam arti secara keuangan maupun kemampuan lobi- lobi berbagai pihak. Sebuah pertarungan yang tidak imbang.
Apakah Pemerintah Indonesia harus menunggu melakukan pelanggaran HAM dari pengadilan internasional layaknya Pemerintah Inggris? Saatnya Pemerintah Indonesia membela rakyatnya dari gurita korporasi besar.
*) Andi Saputra adalah reporter detikcom. Tulisan ini tidak mewakili kebijakan redaksi.
(asp/vit)