Life of Joy, Joy of Life
Catatan:
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Bagi banyak sekali sahabat, lagu anak-anak mungkin hanya untuk konsumsi anak-anak saja. Tidak ada makna yang bisa ditarik dari sana. Cuman, bagi pencinta-pencinta kejernihan yang berjalan dengan membawa telinga-telinga kepekaan, tidak sedikit makna dan pelajaran yang tertanam. Sebutlah lagu anak-anak dengan bait pertama, "Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang" ia tidak saja menghadirkan tepukan tangan, goyangan pinggul, senyuman bibir yang lebar, tetapi juga menghadirkan getaran-getaran dari dalam yang mengagumkan. Bagaimana tidak bergetar, masa lalu memang sudah lewat, masa depan belum datang, dan di hari ini yang ceria ini kita diajak mensyukuri apa saja yang dialami. Tanpa tahu ke mana, berakhir di mana, semuanya dibungkus dalam sebuah kalimat: "Di sini senang, di sana senang." Bukankah hidup kemudian jadi bergetar? Getaran-getaran terakhir, dalam bahasa fisika disebut energi. Tidak saja manusia yang menyimpan dan mengelola energi, semua yang ada di semesta ini hanyalah kumpulan energi. Dari batu, pohon, binatang, air semuanya hanyalah kumpulan energi. Dalam pandangan-pandangan mikrokospik, semua tadi bergerak, bergetar dan bervibrasi. Ada sahabat yang mengandaikan seperti bola lampu dan listrik. Ketika bola lampunya tidak menyala, bukan berarti listriknya tidak ada. Tatkala lampunya menyala, bukan berarti listriknya hanya sekuat nyala lampu. Ada bagian-bagian dari energi yang terlihat, ada bagian-bagiannya yang tidak terlihat. Hal yang sama juga terjadi dalam interaksi antarmanusia. Ada bagian-bagian terlihat, ada yang tidak terlihat. Dan energi, ia tersembunyi ke dalam bagian yang tidak terlihat, namun menentukan. Sebutlah orang yang cocok, akur, bersalaman dan berpelukan, pertukaran energinya halus mulus. Sebaliknya mereka yang bertengkar, pertukaran energinya ditandai oleh hawa panas dan pengap. Perhatikan kumpulan manusia yang terkumpul dalam team yang mengagumkan, atau organisasi dengan kinerja jempolan, hampir semua ditandai oleh pertukaran-pertukaran energi yang cantik, indah dan mengagumkan. Sesekali ada hawa panas, cuman kebanyakan waktu diisi oleh pelukan-pelukan kesejukan energi. Di tingkatan negara juga serupa, negara dengan kinerja hidup yang mengagumkan, dihadiri oleh hawa-hawa permusuhan dalam derajat yang terbatas. Pertanyaan yang muncul dari sini, adakah cara yang tersedia agar energi ini terkelola secara memadai ? Seorang peneliti energi bernama Valerie Hunt dalam Infinite Mind menyebutkan, energi manusia terbatas. Sedangkan energi-energi ilahi selalu tidak terbatas. Hipotesa yang diajukan Hunt sederhana, siapa saja yang melakukan apa saja dengan energi-energi ilahi, ia memasuki wilayah-wilayah tidak terhingga. Albert Einstein pernah menulis, hanya ada dua hal yang tidak berhingga: semesta dan kebodohan manusia. Spekulasi yang kemudian muncul dari sini, mungkinkah manusia jadi memasuki wilayah tidak berhingga dengan sedikit lebih "bodoh"? Meminjam argumen seorang sahabat fisikawan, hampir semua model matematika yang berkembang di awal abad ke-21 dibangun di atas persamaan 1 : 0 = tidak berhingga. Yang satu (dalam bahasa spiritualitas) jelas siapanya, sedangkan siapa saja manusia yang bisa mendekati angka nol, ia mulai memasuki wilayah-wilayah tidak berhingga. Lebih-lebih kalau semua ini ditambahkan dengan keyakinan Stephen Hawking yang menyebut kalau akal sehat hanya bisa dipakai untuk menerangkan hal-hal dengan kecepatan terbatas. Sedangkan cahaya, ia terlalu cepat untuk bisa dimengerti oleh akal sehat. Dalam bentangan sinar pemahaman seperti ini, sepertinya limpahan energi (lebih-lebih yang tidak berhingga) lebih mungkin dicapai oleh orang "bodoh" (baca: not knowing mind). Secara lebih khusus, karena melalui kebodohan manusia tidak dipagari secara berlebihan oleh pikiran. Seperti pernah ditulis seorang sahabat di dunia kejernihan, ketika manusia tidak mengerti, pohon adalah pohon. Ketika manusia mengerti, pohon tetap juga pohon. Seperti mau bertutur, pengertian maupun ketidakmengertian manusia tidak merubah apa-apa. Energi tetap energi. Kembali ke cerita awal tentang lagu anak-anak dengan lirik lagu "di sini senang di sana senang", kualitas getarannya di dalam lebih baik pada kehidupan anak-anak karena mereka masih terlalu "bodoh". Seperti sedang bertutur, siapa saja yang mau memasuki wilayah-wilayah energi (baca:joy) sebaiknya belajar untuk sedikit lebih "bodoh". Ketika manusia sudah cukup "bodoh", yang ada hanya suka cita. Persis seperti kehidupan kanak-kanak. Masa lalu sudah lewat, masa depan belum datang. Dan hari ini, satu-satunya waktu di mana kebebasan tersedia secara melimpah. "Kebodohan" akan masa lalu dan masa depan ini, kemudian membuat sejumlah manusia dewasa ikut bergetar dengan nyanyian "di sini senang di sana senang". Mirip dengan nasehat yang pernah diberikan salah seorang guru Miyamoto Musashi, yang hanya menggambar lingkaran ketika ditanya habis-habisan oleh muridnya, demikian juga kehidupan. Mulai dengan kehidupan kanak-kanak yang bergetar, berakhir dengan kehidupan kanak-kanak yang juga bergetar. Bedanya, kanak-kanak di awal bersifat murni, kanak-kanak di akhir telah melalui proses stabilisasi dan pemurnian yang melelahkan. Terutama setelah lama diperkotor oleh pengetahuan, pengalaman yang memperkuda pikiran. Ini yang oleh seorang sahabat disebut Life of Joy, Joy of Life.
(Gede Prama/)