Pidato SBY di Lembah Tidar
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Pidato SBY di Lembah Tidar

Senin, 18 Jul 2011 13:58 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Ketika memberi pembekalan kepada Kolonel dan PATI TNI di Lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah, 13/7/2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengajak Tentara Nasional Indonesia (TNI) terus menyesuaikan diri dengan perkembangan sistem pola pertahanan sehingga selalu siap menghadapi ancaman terhadap kedaulatan RI. Untuk itu, SBY mengharap doktrin TNI dan pelaksanaan di jajaran angkatan laut, angkatan udara, dan angkatan darat, mesti terus dikembangkan dan dimutakhirkan agar bisa mengikuti perkembangan zaman, sehingga TNI siap menjawab dan menghadapi ancaman.

Apa yang dikatakan SBY di Lembah Tidar itu dikuatkan saat dirinya melantik 635 calon perwira muda TNI di Lapangan Dirgantara Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta, 14/7/2011. Kepada para calon perwira yang dilantik, Presiden mengingatkan tugas TNI makin menantang di masa depan, termasuk antisipasi akan bahaya terorisme. Menurut SBY, tak cuma ancaman dari negara luar yang akan dihadapi, namun ancaman dari orang perorangan di dalam negeri juga kian meningkat. Ancaman teroris dan kelompok bersenjata lainnya sewaktu-waktu bisa saja terjadi.

Presiden mengatakan, ketidakstabilan kawasan regional juga merupakan sesuatu yang harus diantisipasi oleh TNI. Terlebih, belanja militer negara-negara kawasan juga makin meningkat, di samping juga armada laut negara lain yang makin kuat. Kedaulatan negara harus tetap dipertahankan dengan cara apapun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ancaman terhadap kedaulatan bangsa yang semakin berkembang juga pernah dikatakan oleh SBY saat dirinya memberi pengarahan pada Rapat Pimpinan (Rapim) TNI Tahun 2010 di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta. Ia mengatakan sumber konflik dunia sekarang ini tidak lagi hanya seputar soal ideologi, tetapi juga soal persaingan di antara negara-negara dalam mendapatkan akses terhadap pangan, energi, dan air. Menurut SBY hal tersebut menjadi sumber dan jenis ancaman global. Namun dari semua harapan SBY untuk mendorong TNI ideal dan siap menghadapi berbagai ancaman yang ada sepertinya masih jauh panggang dari api.

Hal demikian diakui oleh SBY sendiri, saat di Lembah Tidar, dengan mengatakan, apa yang saya lihat, rasakan, ketahui, hampir tujuh tahun menjalankan program pemerintahan, pembangunan kekuatan dan modernisasi alutsista yang kita lakukan sering tidak terkoordinasi dengan baik dan kurang mengalir dari strategi pertahanan dan doktrin yang dianut. Ini yang diharap oleh SBY untuk diperbaiki bersama.

Dalam The Military Balance, 2008 (London, UK : The IISS, 2008) diungkapkan bahwa anggaran pertahanan Indonesia berada pada posisi 10 dari 11 negara. Dalam buku itu, Indonesia pada tahun 2006 di tinjau dari prosentase anggaran terhadap GDP, prosentasenya hanya 1,0%. Jauh di bawah Myanmar yang mencapai 18,7%. Sementara Amerika Serikat mencapai 4,0%, Israel 7,9%, Malaysia 2,1%, Vietnam 6,0%, Singapura 4,8%, dan Australia 2,4%. Indonesia hanya di atas Filipina yang anggarannya 0,8%.

Dengan perbandingan tersebut, menunjukan militer Indonesia pada posisi yang sulit ketika hendak mengembangkan diri sebagai sebuah militer yang profesional. Minimnya anggaran yang demikian tentu akan membahayakan posisi Indonesia bila ancaman terhadap pertahanan Indonesia menjadi masalah yang benar-benar serius. Terbukti ketika Malaysia berulangkali melakukan pelanggaran, kita tidak bisa berbuat banyak. Kita tidak bisa berbuat banyak selain karena terbentur pada alutsista dan biaya operasional militer juga dihadapkan pada kebijakan yang lebih mendahulukan diplomasi. Lihat pidato Presiden SBY di Mabes TNI saat mengungkapkan sikapnya kepada Malaysia, tahun lalu.Β 

Meski negara-negara di kawasan Asia Tenggara lebih sepakat mendahulukan jalur diplomasi, namun secara diam-diam masing-masing negara memperkuat alutsistanya. Di majalah Time, edisi 4 Oktober 2010, mengupas bahwa negara-negara Asean telah mempersenjati dirinya seperti Malaysia membeli beberapa kapal selam, Vietnam melakukan kerjasama militer dengan Amerika Serikat, Myanmar bekerja sama dengan militer China, Indonesia membeli pesawat Sukhoi, Thailand bekerjasama dengan Ukraina, demikian pula Singapura.

Alasannya masing-masing negara Asean memperlengkapi persenjataan, karena dituntut adanya kewaspadaan terjadinya konflik perbatasan sehingga bisa menyulut terjadi peperangan. Peristiwa yang terakhir adalah ketegangan di Laut China Selatan antara China di satu pihak dengan Vietnam dan Filiphina di pihak lain. Kemudian konflik perbatasan Thailand dan Kamboja juga sempat menimbulkan konflik di kedua negara itu. Dari konflik yang ada di kawasan, bila pecahn perang di Laut China Selatan bisa menyulut Perang Korea, dan bisa melebar menjadi Perang Asia.
Β 
Mengapa SBY mengakui sendiri bahwa selama pemerintahannya, hampir tujuh tahun ini, program pemerintahan dalam membangun kekuatan dan modernisasi alutsista tidak terkoordinasi dengan baik dan kurang mengalir dari strategi pertahanan dan doktrin TNI. Hal demikian karena sikap SBY sendiri yang tidak memihak kepada TNI. Indikasinya itu adalah: Pertama, tidak adanya etikat dan semangat untuk memperkuat sistem pertahanan Indonesia. Tidak adanya etikat dan semangat pemimpin bisa jadi disebabkan karena mempertahankan negara bukan prioritas utama, masih ada prioritas lain yang lebih dikedepankan.Β 

Dalam seminar nasional Seskoad di Bandung, Jawa Barat, 19/9/2009, Presiden SBY menimbang-nimbang apakah memilih berperang atau lebih memprioritaskan masalah kesejahteraan rakyat, pendidikan, kesehatan, dan sektor lainnya. SBY tidak memilih perang sebab dengan mengutip pendapat Joseph E Stiglitz dalam bukunya The Three Trililion Dollar Bill, memaparkan bahwa biaya dan seluruh kegiatan yang mendukung perang yang dilakukan Amerika Serikat di Irak mencapai 3 trilliun US$. Nilai itu menurut SBY kalau dirupiahkan mencapai 27 kali APBN Indonesia. Jangankan berperang dengan negara tetangga, untuk biaya operasi militer saat konflik di Aceh, Maluku, Maluku Utara, Poso, dikatakan oleh SBY memakan anggaran yang cukup besar.

Mungkin SBY tidak memaknai NKRI adalah harga mati. Bila NKRI harga mati maka faktor-faktor lain bukan sebagai penghambat. Dulu semasa Presiden Soekarno meski kondisi keuangan negara dalam keadaan krisis, namun Bung Karno tetap membeli ratusan kapal tempur. Tercatat ada 150 kapal perang, 14 di antaranya kapal selam, ada juga yang menyebut 24 buah kapal selam yang dibeli Indonesia dari Rusia. Total harga semua kapal itu mencapai US$ 800 miliar.Β 

Kita tidak berkeinginan hidup dalam sebuah kawasan yang tak putus dirundung konflik, kita ingin hidup dalam kawasan yang damai. Untuk menciptakan kawasan damai tidak hanya dilakukan dengan kesepakatan damai atau selalu mengedepankan diplomasi namun harus siap berperang, Si vis pacem, para bellum. Ungkapan dari seorang ahli militer Romawi, Publius Flavius Vegetius Renatus, 390 Masehi, itu mempunyai arti, jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang. Ungkapan lain yang juga diucapkan Renatus adalah Qui desiderat pacem, bellum praeparat, yang artinya siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang. Dalam menjaga keutuhan wilayah NKRI, kita tidak bisa selalu mengedepankan cara bepikir bahwa perang merupakan jalan yang terakhir. Bila kita mengedepankan hal yang demikian, maka satu per satu wilayah Indonesia akan tergerogoti oleh negara lain. Lemahnya diplomasi Indonesia akan semakin memperpuruk sistem pertahanan Indonesia.

Mungkin kita menganggap daerah Timur Tengah dan Semenanjung Korea adalah wilayah konflik. Anggapan itu benar, namun lebih benar kalau kita menganggap wilayah itu adalah wilayah yang hendak berdamai. Wilayah yang hendak berdamai biasanya negaranya memiliki militer yang kuat. Di negara-negara yang hendak berdamai itulah anggaran pertahanan dan militernya juga tinggi.

Kedua, minimnya anggaran dan akibat kebijakan SBY yang lebih mengedepankan diplomasi secara laten menurunkan profesionalisme tentara. Akibat dari minimnya anggaran bukan hanya membuat TNI semakin tidak profesional namun juga membuat mereka bekerja bukan pada tempatnya. Misalnya saat KASAD masih dipegang Jenderal George Toisutta, dirinya mencalonkan diri menjadi Ketua Umum PSSI. Kemudian, TNI terlibat dalam operasi mengembalikan anggota Ahmadiyah sesuai dengan ajaran Islam.

Minimnya anggaran dan lebih mengedepankan diplomasi juga mengakibatkan semakin tertinggalnya peran TNI dalam fungsinya. Berbagai masalah dengan Malaysia ketika diselesaikan secara diplomasi maka TNI menjadi tak berbuat apa-apa. Misalnya, TNI AL pernah mencatat, di tahun 2009 Malaysia melakukan 13 kali pelanggaran, tahun 2008 terjadi 23 kali pelanggaran, dan tahun 2007 terjadi 76 kali pelanggaran, namun TNI AL belum pernah melakukan tindakan tegas, misalnya melakukan tembakan.

Ataupun kalau TNI mempertahankan haknya, hak yang digunakan adalah mempertahankan asset yang dimiliki. Seperti bentrok dengan masyarakat dan petani di berbagai tempat seperti di Setrojenar, Jalan Perintis Kemerdekaan Jakarta Utara, Alas Tlogo, Cisompet, Kasus PLTA Sulewana, Tanak Awu, Rumpin Desa Sukamulya, dan berbagai daerah lainnya di Indonesia.

Ketiga, benar dikatakan oleh SBY bahwa ancaman yang dihadapi oleh TNI juga adanya terorisme, namun untuk memberantas terorisme, TNI terbentur dengan UU TNI dan UU Polisi sehingga selama ini TNI kesulitan mencari payung hukum ketika hendak ikut melakukan pemberantasan terorisme.

Namun ketika ada musuh nyata, terorisme, TNI 'terlambat' melakukan operasi militer. Dalam penyanderaan kapal Sinar Kudus, sebenarnya menjadi peluang untuk membuktikan ketangguhan-ketangguhan detasemen khusus di Indonesia yang selama ini giat melakukan latihan.

Namun sayangnya, disebut ketika operasi digelar, Kapal Sinar Kudus sudah tidak berada di tengah laut namun sudah ditarik ke sarang perompak, sehingga ada kekhawatiran timbul korban ketika operasi militer tetap digelar. Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono mengatakan perompak telah melabuhkan kapal MV Sinar Kudus ke pantai yang dikuasai gerombolan perompak. Sehingga posisi yang demikian menurut Agus Suhartono lebih sulit daripada di tengah laut.

Namun mantan KSAL Laksamana (Purn) Bernard Ken Sondakh mengatakan penangkapan perompak di lautan sangat sulit dilakukan. Untuk itu yang diperlukan mengamati gerak-gerik perompak tersebut sampai mengetahui di mana sarangnya. Jadi tidak kejar di laut, tapi sergap di darat.

Sangat disayangkan ketika TNI diharapkan oleh SBY untuk siap menghadapi tantangan, namun anggaran yang ada jauh dari ideal. Sehingga di sini diperlukan seorang pemimpin yang tegas dan keseriusan untuk memberi TNI anggaran yang ideal guna mampu menjawab apa-apa saja yang dipidatokan oleh SBY tadi. Sayangnya SBY dalam soal anggaran TNI hanya dikeluhkesahkan dalam pidato, tidak mengkonkretkan dalam APBN.

*) Ardi Winangun adalah siswa Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa-Megawati Institute dan Pernah Bekerja di Civil-Military Relations Studies (Vilters). Penulis tinggal di Matraman, Jakarta Timur. No kontak: 08159052503. Email: ardi_winangun@yahoo.com

(vit/vit)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads