Β
Orang awam melihat kelemahan ini bersumber pada sistem demokrasi. Akibatnya, jika tidak segera dapat diperbaiki, keluhan dan ketidak puasan itu akan berkembang menjadi kecenderungan untuk kembali masuk dalam 'jurang kediktatoran' atau 'bencana otoriter'.
Ada yang melihat masalah itu bersumber pada kelemahan sistem pemilihan anggota dan pimpinan dari semua lembaga negara: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah. Terutama mereka yang dipilih langsung oleh rakyat dan berfungsi membawa dan mengamalkan amanah rakyat.
Biasanya yang pertama-tamat dijadikan alasan sebagai sebab dari kelemahan ini adalah ketidak mampuan atau ketidak matangan rakyat dalam memilih. Alasan ini secara sederhana tentu saja benar. Dimana saja rakyat di negara-negara berkembang selalu dapat diklasifikasikan sebagai belum matang. Bukan saja dalam memilih pemimpin, bahkan juga dalam memilih hidupnya sendiri. Tetapi yang menjadi persoalan, bagaimana rakyat yang 'belum matang' itu dapat memperoleh pemimpin yang baik?
Β
Ada dua alternatif yang mungkin dapat dipertimbangkan. Pertama, rakyat harus tetap mempunyai hak untuk memilih. Tanpa adanya hak rakyat untuk memilih, tidak ada sistem demokrasi. Tanpa adanya hak rakyat untuk memilih, sulit dijamin adanya akuntabilitas dari pejabat publik. Pertimbangan ini mendorong kita untuk melihat kemungkinan perlunya sistem pemilihan anggota DPR dengan menggunakan sistem distrik. Setiap calon bertarung di depan rakyat dari daerah yang diwakilinya. Namun kelemahan dari sistem ini terletak pada kematangan rakyat dalam memilih. Akibatnya memungkinkan banyaknya muncul tokoh-tokoh tingkat desa yang belum memahami sama sekali persoalan bangsa di tingkat nasional.
Β
Kedua, pencalonannya boleh saja dilakukan oleh partai-partai politik. Tetapi calon-calon yang akan dipilih oleh rakyat itu harus terdiri dari mereka yang sudah tersaring (selected persons) berdasarkan kriteria moral. Antara lain misalnya, jujur, taat pada agamanya (religiusitas), tidak ada indikasi korupsi, tidak pernah melakukan kebohongan publik, mampu dan dekat dengan rakyat. Bukan berdasarkan ketampanan atau kekayaan. Dengan demikian, siapapun yang dipilih rakyat, sekurang-kurangnya sudah terjamin sebagai orang baik. Tinggal lagi mana yang diinginkan rakyat. Dengan kata lain rakyat tidak boleh sampai tertipu dalam memilih calon-calon yang tidak benar. Makin sadar, bahw rakyat kita tidak mempunyai kemampuan dalam memilih, seharusnya makin besar tanggung jawab partai politik untuk mengajukan calon yang baik kepada rakyat, bukan makin menyalahkan rakyat.
Penyaringannya tidak dapat diserahkan kepada partai-partai politik sendiri, jika ingin mendapatkan calon yang baik. Penyaringan perlu dilakukan oleh sebuah lembaga atau komisi independen secara terbuka. Lembaga atau komisi penyaring itu, ditetapkan secara nasional untuk semua calon pimpinan eksekutif, calon anggota legislatif dan calon pimpinan yudikatif. Anggota lembaga atau komisi ini terdiri dari guru-guru bangsa yang sudah dikenal rakyat, para ilmuan dari universitas terkemuka, anggota atau yang mewakili MUI dan majelis agama lain. Lembaga atau komisi tersebut bersifat independen, disaring oleh sebuah panitia seleksi seperti KPK dan diangkat oleh presiden. Untuk menjamin independensi, masa jabatannya melampaui dua kali masa jabatan presiden, misalnya 11 (sebelas) tahun, berlaku hanya untuk satu periode.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyaringan yang demikian tidak boleh dipandang sebagai pembatasan hak politik bagi seseorang. Di negara-negara demokrasi maju pun penyaringan terhadap para calon dilakukan, meskipun secara tidak langsung. Contohnya dapat dilihat pada adanya kesepakatan umum di Amerika Serikat yang menetapkan kriteria moral yang tinggi terhadap calon pemimpinnya. Mereka menuntut kualifikasi moral yang berbeda antara dirinya dengan calon pemimpinnya. Banyak tokoh-tokoh politik yang tergeser dalam pencalonan presiden, senat dan gubernur karena kelemahan dalam bidang moral, meskipun di kalangan rakyat hal yang demikian dianggap biasa. Kualifikasi moral yang demikian perlu diperhatikan untuk menjadi referensi dalam mencari calon pemimpin yang baik dan benar di masa yang akan datang.
*) Said Zainal Abidin adalah ahli manajemen pembangunan daerah (regional development management) dan kebijakan publik, guru besar STIA LAN. Sekarang sebagai penasihat KPK.
(vit/vit)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini