Kisruh Argumen Subsidi BBM Angkutan KA
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kisruh Argumen Subsidi BBM Angkutan KA

Senin, 28 Mar 2011 10:16 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Kisruh argumen antara Kemenkeu dan Kemenhub tentang perlu tidaknya kebijakan
subsidi BBM bagi angkutan barang KA sangat mengkhawatirkan konsistensi kebijakan
transportasi. Mudah-mudahan yang terjadi, hanya sekadar alasan klasik salkom alias
salah komunikasi. Mudah-mudahan saya tidak salah.

Baru-baru ini Kementerian Keuangan melalui Badan Kebijakan Fiskal menilai bahwa
industri angkutan barang menggunakan kereta api belum layak mendapatkan subsidi harga solar, seperti yang selama ini dinikmati angkutan truk. Selanjutnya, disarankan efisiensi bisnis PT Kereta Api sebaiknya dilakukan dengan memperbaiki
pengelolaan bisnisnya terlebih dulu, yakni effisiensi internal, yang merupakan domain korporasi.

Dari sisi lain, Kemenhub melihat kepentingan insentif subsidi BBM KA dari sisi effisiensi eksternal dalam upaya pengalihan moda, yang notabene merupakan tugas pemerintah. Sebetulnya distribusi jatah subsidi BBM merupakan tugas Kementerian ESDM, Kemenkeu hanya menetapkan total nominalnya saja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan meroketnya harga minyak mentah hingga 113 dolar per barrel minggu lalu dan
sudah terlampuinya jatah BBM bersubsidi, bila skenario tanpa menaikkan harga BBM
yang dipiilih maka cadangan APBN perlu diamankan hingga Rp 7 triliun tahun ini. Hingga saat ini pemerintah masih buying time soal pembatasan penggunaan BBM, sambil
menunggu stabilnya perkembangan harga minyak dunia. Menaikkan harga BBM bukan
pilihan populis, untuk menambal resiko pemerintah pasti mendahulukan pemanfaatan
cadangan resiko fiskal dan menunggu perkembangan penghematan belanja.

Politik Enegi Transportasi Masa Depan


Dengan kisruh biasa berlanjut para pihak menegangkan urat leher. Dalam urusan yang
satu ini pasti akan berulang mengingat tantangan keamanan energi nasional sudah sangat rawan, 33% dari kebutuhan total 60juta Kilo-liter BBM kita import setiap tahun. Subsidi BBM selama ini tidak tepat sasaran dan pemborosan terus berlangsung khususnya dalam sektor transportasi. Subsidi BBM dinikmati 89% oleh angkutan darat. Khusus premium 53% subsisdi dinikmati mobil pribadi, Jawa-Bali 59%, Jabodetabek sendiri 30%.

Sekitar seperlima dari energi dunia digunakan untuk transportasi. Mobil dan truk
menyumbang kira-kira seperempat dari emisi CO2 global, dan jumlahnya diperkirakan
menjadi lebih dari dua kali lipat, sebesar dua miliar ton pada pertengahan abad nanti. Tanpa sistem transportasi yg efisien dan terintegrasi akan berdampak ekonomi, sosial dan lingkungan yang sangat serius.

Roadmap energi transportasi masa depan tidak ada pilihan lain kecuali mulai beralih ke sumber gas dan ethanol. Keberhasilan Brazil dalam agenda energi transportasi patut menjadi contoh politik energi transportasi di Indonesia. Apalagi mengingat potensi nyata pasokan gas nasional, prioritas gas untuk konsumsi domestik tidak perlu ditawar-tawar lagi.

Akibat kebijakan pengembangan moda jalan (tol) dan kemandegan revitalisasi
perkeretaapian, angkutan darat (truk) masih akan tetap mendominasi 95% angkutan
logistik nasional, kereta api tak lebih dari 1%, selebihnya moda laut dan udara. Upaya untuk mendongkrak pangsa logistik agar significan beralih ke kereta api bukan saja membutuhkan investasi yang luar biasa besar, tetapi beragam insentif kebijakan seperti keringanan pajak, kemudahan memproses dokumen multimoda/ beacukai merupakan keharusan. Dan semua ini menjadi domain peran pemerintah juga.

Dalam jangka pendek efisiensi internal truk maupun KA, perlu disiasati dengan pemanfaataan teknologi pembakaran dan sumber energi yang ramah lingkungan dan
efisien, apalagi memang sudah tersedia seperti gas. Tetapi ini pun, mengapa susah
banget ya? Mudah-mudahan pemerintah tidak terus ragu-ragu dalam menetapkan
kebijakan.

Dalam jangka panjang, untuk mengurangi peran "ikan paus" moda jalan (tol) yang selama ini meraup sangat dominan, perlu disiapkan instrument kebijakan agar pangsa by-design terbagi ke angkutan lain, khususnya potensi coastal transport jarak sedang (short sea shipping), kereta api dan angkutan sungai.

*) Harun al-Rasyid Lubis, Associate Professor, Transportation Research Group ITB.

(vit/vit)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads