Hantu Blau di Pelabuhan Merak
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Hantu Blau di Pelabuhan Merak

Senin, 07 Mar 2011 08:20 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Kepadatan Pelabuhan Merak di Propinsi Banten, membuktikan sekali lagi bahwa Negara ini dikelola ala warung tegal (warteg). Hari ini tempe goreng tepung dan telur dadar habis, pemilik warteg langsung menggorengnya.

Saat pelabuhan Merak dipadati antrean truk puluhan kilometer, pemerintah hanya membereskan melalui penambahan kapal sementara, bukan membereskan penyebabnya.
Ibarat sakit osteoporosis hanya diberi 'koyok cap Cabe' supaya sakitnya berkurang, bukan mencari penyebab osteoporosis dan mengobati serta mencegah supaya tidak bertambah parah.

Dalam kasus Merak, ini merupakan kegagalan Kementerian Perhubungan sebagai regulator sektor transportasi dan tentunya, Pemda Provinsi Banten. Yang dilakukan oleh Kementrian Perhubungan dari tahun ke tahun hanya sidak pejabat dan mencari kambing hitam. Biasanya menyalahkan cuaca, banyaknya kapal yang rusak  dan kinerja PT ASDP Indonesia Ferry yang buruk.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kalau selalu tiga hal itu yang dijadikan kambing hitam mungkin cukup si Bajuri, sopir bajaj, untuk jadi Menteri Perhubungan tanpa perlu ada fit and proper test oleh presiden. Persoalan penyeberangan di pelabuhan Merak-Bakaheuni seharusnya merupakan persoalan yang sangat mudah untuk diselesaikan, jika ada niat dan keberanian pemerintah untuk memutuskan.

Berani memutuskan di Indonesia saat ini merupakan barang langka, sama seperti mencari buah kesemek, sudah langka. Bagaimana pengusaha kapal atau investor maupun PT ASDP mau membeli atau meremajakan kapal penyeberangan miliknya kalau kebijakan publik Pemerintah terkait dengan moda transportasi dan angkutan, khususnya di lintas Merak-Bakaheuni tidak pernah jelas. Layaknya ada hantu blau di Pelabuhan Merak.

Persoalan Merak di Mata Publik

Berbagai persoalan lama yang selalu muncul adalah antrean panjang truk pengangkut komoditi di Pelabuhan Merak dengan kambing hitamnya selalu cuaca buruk dan kurangnya kapal penyeberangan. Apa betul? Mari kita lihat secara seksama.

Pertama, cuaca memang dapat menjadi salah satu penyebab sulitnya kapal bersandar dan menyeberang ketika ombak tinggi. Namun persoalan tersebut sangat mudah diatasi, yaitu melalui pembangunan dinding penahan dan pemecah ombak serta kondisi kapal yang baik. Siapa yang bertanggung jawab? Tentunya Kementerian Perhubungan. Sudah dilakukan? Patut diduga belum!

Kedua, kapal penyeberangan yang ada saat ini memang rata-rata sudah berusia 30 tahun, sehingga harus segera diremajakan. Kondisi kapal seperti ini sulit diandalkan kemampuan angkutnya, apalagi dalam cuaca buruk. Keselamatan penumpang dan barang pasti diabaikan. Peremajaan kapal memerlukan investasi yang besar, termasuk berbagai biaya perizinan yang resmi dan tidak resmi. Sementara itu tidak ada kepastian penerapan tarif angkut berdasarkan Harga Pokok Penjualan (HPP).

Sektor ini domain Kementerian Perhubungan sebagai regulator. Disisi lain Kementerian Keuangan juga harus memberikan insentif kepada investor kapal melalui berbagai fasilitas keuangan, seperti bea masuk kapal atau komponen kapal atau perpajakan dan sebagainya. Sudah dilakukan? Patut diduga belum! Lalu apa yang sudah dilakukan Pemerintah selain mengeluh,  sidak  dan memindahkan kapal bantuan ke Pelabuhan Merak? Tidak ada!

Sekadar untuk diketahui, peremajaan kapal membutuhkan biaya yang cukup besar. Harga sebuah kapal baru sekitar Rp 40.000.000/GT (gross ton). Sedangkan harga sebuah kapal bekas 60%-nya saja atau Rp 24.000.000/GT.

Misalnya untuk kapal ukuran 3.500 GT (seperti milik PT ASDP), harga kapal bekasnya dengan kondisi 80%, adalah: 3.500 x Rp 40.000.000 x 60% = Rp 84 M. Diperkirakan investasi tersebut baru akan kembali dalam waktu sekitar 5 tahun. Tentunya jika  tarif perizinan sesuai dengan aturan (tidak ada 'pungli') dan tarif penyeberangan yang sesuai dengan HPP. Kalau tarif penyeberangan di bawah HPP dan ada 'pungli' pada perizinan, tentunya akan lebih lama lagi pengembalian modalnya, kecuali ada subsidi dari pemerintah.

Selain itu, faktor ketiga adalah rencana pemerintah akan membangun Jembatan Selat Sunda (JSS) yang patut diduga akan menelan investasi sekitar Rp 170 T. Sampai hari ini pemerintah masih malu-malu untuk mengumumkan siapa yang akan dapat proyek ini. Bagi investor kapal, tentunya kearifan, keberanian dan keterbukaan soal pembangunan JSS sangat diperlukan oleh investor, supaya strategi bisnisnya masuk.

Langkah yang Harus Dilakukan Pemerintah


Berdasarkan pemantauan Januari lalu, rute Merak-Bakaheuni umumnya dilayani oleh 22 kapal. Jika setiap kapal dapat menjalani 4 trip/hari, maka Merak-Bakaheuni dapat dilayani dengan 88 trip/hari. Kalau dikhususkan hanya untuk mengangkut truk, maka setiap kapal hanya mampu mengangkut sekitar 42 truk dan penumpang atau rata-rata 6.000 kendaraan/hari, termasuk motor dan mobil.

Ada pun waktu bongkar muat di pelabuhan adalah 6 jam/kapal. Besarnya tarif penyeberangan manusia dan kendaraan yang ditetapkan oleh pemerintah pada akhir tahun lalu berkisar antara yang terendah Rp 11.500/orang dan Rp 1.180.000/kendaraan golongan VIII yang tertinggi untuk satu kali menyeberang. Penggolongan tarif yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan ternyata tidak berdasarkan HPP tetapi berdasarkan kebijakan politis.

Jadi tarif itu ternyata hanya sekitar 65% dari tarif HPP. Ini satu lagi contoh ketidakseriusan pemerintah mengelola negara. Tingginya biaya 'pungli' di jalur neraka Merak-Bakaheuni yang selama ini ditanggung awak truk patut diduga sebesar 35% dari HPP. Angka HPP untuk penyeberangan Selat Sunda sekitar Rp 1.815.000/kendaraan/trip. Jadi jumlah 'pungli' yang harus ditanggung awak truk minimal sekitar Rp 635.250/trip. Bukan main mahalnya.

Jadi supaya lalu lintas penyeberangan Merak-Bakaheuni ini berjalan baik tanpa ada antrean panjang, pertama kapal harus cukup tersedia. Untuk itu pemerintah harus segera putuskan kapan JSS akan beroperasi (kalau jadi dibangun), kedua buat kebijakan fiskal untuk investor kapal penyeberangan dan ketiga naikan tarif penyeberangan sesuai HPP dengan catatan 'pungli' di semua lini dihapuskan. Kalau tidak berani berantas 'pungli', pemerintah harus memberikan subsidi.

Keempat, berdayakan angkutan barang kereta api untuk mengurangi pungli dan biaya ekspedisi di angkutan truk. Kelima benahi atau harmonisasikan struktur tarif angkutan kapal kontainer antar pulau dengan tarif penyeberangan selat. Sebagai contoh, tarif pengiriman barang via kontainer dari Tanjung Priok ke  Belawan sekitar Rp 6 juta dan via penyeberangan Merak hanya sekitar Rp 2,5 juta. Perbedaan ini menjadi salah satu penyebab kepadatan di penyeberangan Merak.

Keenam, berdayakan PT ASDP Indonesia Ferry layaknya korporasi bukan Unit Pengelola Teknis (UPT) pemerintah.  Akhir kata, beranikah Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN menjalankan itu semua? Mumpung masih dalam suasana  reshuffle, ada baiknya Presiden SBY mempertimbangkan saran ini jika tidak mau dikatakan bahwa Presiden SBY tidak tegas. Semoga. Salam.

*) Agus Pambagio adalah pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen.

(vit/vit)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads