SBY Berbohong, Warning dari Tokoh Lintas Agama
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

SBY Berbohong, Warning dari Tokoh Lintas Agama

Rabu, 19 Jan 2011 08:26 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Masa kerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai kepala pemerintahan Republik Indonesia tak henti-hentinya menuai kecaman. Terhitung setahun lebih pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II berkuasa, masalah demi masalah selalu menerpa tampuk kekuasaanya.

Century gate adalah pembuka 100 hari kerja pemerintahan SBY, masalah yang sampai saat ini tak mampu dituntaskan oleh SBY dan lembaga hukumnya. Diikuti konspirasi penahan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah oleh Polri, yang di istilahkan oleh Komjen Susno Duaji sebagai konflik Cicak-Buaya atau KPK-Polri. Dan kasus Pengemplangan Pajak Rp. 25 Miliar oleh Pegawai Golongan tiga Ditjen Pajak, Gayus HP.Tambunan.

Tiga masalah besar pemerintahan SBY dan berbagi masalah penegakan hukum lainnya pada dua periode kekuasaanya menghasilkan nilai minus kepercayaan publik terhadap keseriusan SBY memimpin penuntasan korupsi di Negeri ini. Popularitas SBY dalam bidang penegakan hukum semakin menurun. Data hasil Survei Indo Barometer periode 8-18 Januari 2010, mengambarkan tingkat kepuasan masyarakat atas kinerja SBY turun menjadi 75%ย  bila dibandingkan dengan Survei pada Agustus 2009 yang mencapai 90%. Berarti 15% masyarakat benar-benar jenuh dengan kinerja 100 hari pemerintahan SBY.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masalah Century atau Century gate seharusnya mampu dijadikan pelajaran. Sebab tekanan politik dan pressure public kepada pemerintah begitu besar, bahkan nyaris ada impeachment atau pemakzulan kekuasaan di tengah jalan oleh DPR-RI dengan lolosnya hak angket, jika tak ada transaksi politik oleh partai politik dengan membentuk Setgab.

Begitu pun dengan masalah KPK Vs Polri yang dimulai dengan penahaan dua pimpinan KPK Bibit-chandra, menjadi lembaran hitam berikutnya. Kasus yang disebut sebagai bentuk kriminalisasi KPK, adalah pelajaran buruk terhadap sinergitas kerja lembaga penegakaan hukum. Lembaga super body seperti KPK di embargo oleh kekuasaan kepolisian hanya dengan tuduhan pemerasan kepada Bos PT Massaro, Anggoro Widjojo.

Alhasil, berbagai gerakan people power, hingga 1 juta facebooker mengecam dan menuntut agar Bibit-Chandra dibebaskan dari penahanan tersebut. Presiden pun meminta agar masalah ini tidak diteruskan sampai ke pengadilan dengan cara meng-SP3-kannya. Walau arahan SP3 ini menjadi masalah yang dipolemikan oleh Kejaksaan Agung.

Belum lagi selesai masalah kriminalisasi KPK, muncul kasus besar yang menghebohkn hingga saat ini. Kasus mafia perpajakan yang terbongkar oleh testimoni mantan Kabareskrim Polri Susno Duaji, yang dilakukan oleh gayus Halomoan Pertahanan Tambunan, pegawai golongan III Ditjen Pajak. Gayus Tambunan menjadi berita seksi yang terus-menerus diberitakan, bukan karena jumlah uang pajak yang telah dia gelapkan, tetapi karena berbagi aksinya, mampu membuka tabir baru tentang boroknya sistem rutan di Indonesia. Ikrar Nusa Bhakti, dalam opini Kompas (06/1) menyebutnya man of the year 2010.

Sebagai tahanan korupsi Gayus Tambunan mampu keluar dengan begitu bebasnya sebanyak 68 kali pada bulan juni dan November 2010. Dengan cara menyogok kepala Rutan Brimob, Komisaris Irwan Susanto yang diduga sebesar Rp 368 juta dan para bawahannya masing-masing sebesar Rp 5-10 juta. Dia pun dapat melakukan pelesiran ke Makau dan Kuala Lumpur pada September dan November 2010 dengan membuat paspor palsu di Kantor Imigrasi Jakarta Timur, atas nama Sony Laksono. Setelah itu pergi ke Bali, menonton tenis international.

Berbagai masalah penegakan hukum tersebut mengindikasikan kegagalan sistemik, pada hampir semua lembaga hukum di bawah pemerintahan SBY. Itulah sebabnya masyarakat menjadi skeptis terhadap kebijakan apa pun yang dilakukan pemerintah, terutama menyangkut hukum dan keadilan.

Janji SBY akan menjadikan hukum sebagai panglima dan memimpin langsung pemberantasan korupsi di Negara ini, seperti pepesan kosong kampanye yang mustahil akan dilaksanakan. Tak ada kemajuan sedikit pun dalam kemajuan hukum. Jika pun ada para aktor yang terlibat korupsi ditangkap, maka aktor tersebut hanyalah aktor kacangan atau pun lawan politik Partai Demokrat, yang tak punya dampak apa-apa untuk mengungkap jaringan korupsi besar di lingkaran kekuasaan.

Tak heran, para tokoh lintas agama, yaitu; Bikkhu Pannyavaro Mahathera, Pendeta Andreas A Yewangoe, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, KH Shalahuddin Wahid dan Romo Magnis Suseno, seperti yang terlansir dalam berbagai media, mencanangkan tahun perlawanan terhadap kebohongan. Mereka merasa resah dan menyatakan SBY telah melakukan 18 kebohongan selama masa kepemimpinannya. 18 Kebohongan yang mereka maksudkan dibagi dalam 9 kebohongan lama dan 9 lainnya kebohongan baru.

18 Kebohongan tersebut yaitu, kebohongan lama mulai dari laporan penurunan angka kemiskinan, swasembada pangan, ketahanan pangan dan energi, penegakan hukum, hingga penyelesaian kasus Lapindo. Kebohongan baru adalah soal perlindungan terhadap TKI dan kebebasan pers.

Hemat penulis, semua pernyataan yang dikeluarkan oleh tokoh lintas agama tersebut adalah bentuk warning dan kritik terhadap kinerja pemerintahan SBY. Sebab, Selama ini, walaupun konstalasi politik dan hukum serta berbagai kondisi buruk terjadi di Negara ini, jarang sekali kita melihat para tokoh agama tersebut berkumpul dan mengeluarkan statemen yang menekan seperti itu. Kalau pun mereka berkumpul, hanyalah membahas hal-hal yang bersifat toleran dan keagamaan, bukan pressure pemerintahan.

Dalam perspektif yang lain, bisa saja kita artikan sebagai tahapan mosi ketidakpercayaan publik yang di wakilkan oleh para tokoh agama. Apalagi dalam masa pemerintahan SBY kali ini, banyak sekali gerakan people power yang melakukan hal yang sama, mengkritik dan mengeluarkan statemen ketidakpercayaannya kepada pemerintah SBY.

Bukan saja masyarakat yang melakukannya, sebagian anggota DPR-RI yang resah terhadap pemerintahan SBY, seperti Bambang Soesatyo, Akbar Faisal dan Lily Wahid pun melakukan hal yang sama. Mereka berhasil melakukan permohonan uji materi pasal 184 ayat 4 UU 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD kepada MK, sehinggaย  ketentuan persyaratan 3/4 kuorum dalam rapat paripurna persetujuan usul hak menyatakan pendapat berkurang menjadi hanya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Permohonan uji materi pasal 184 ayat 4 UU 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD oleh MK, memang bukanlah serta merta akan mempermudah jalan pemakzulan DPR RI terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Karena terbentur proses konstitusional yang panjang, seperti mengusulkan kepada MPR, MK, baru ke DPR. Namun paling tidak hak menyatakan pendapat tersebut adalah pertanda buruk bagi pemerintahan SBY, sebab jika ada masalah penegakan hukum seperti skandal Century tidak mampu di selesaikan oleh pemerintah SBY, maka kapan pun hak menyatakan pandapat tersebut akan dilakukan oleh anggota DPR RI, sehingga akan berujung pada proses delegitimasi atau mosi tidak percaya terhadap kekuasaan presiden.

*) Arista Junaidi adalah fungsionaris PB HMI Bidang Partisipasi Pembangunan Negara (PPN), tinggal di Rawasari, Jakarta Pusat.

(vit/vit)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads