henti selama tiga minggu menyisakan kerusakan dan kehilangan aset-aset penghidupan masyarakat dalam skala luas dan masif. Belum diketahui berapa nilai ekonomi dan
non ekonomi akibat erupsi Merapi. Namun dipastikan, proses pemulihan sosial, ekonomi, fisik, pendidikan, kesehatan, dan psikologis masyarakat, akan membutuhkan waktu yang lama sehingga diperlukan sinergitas sumber daya pemerintah dan non pemerintah, baik dalam negeri maupun melalui kerjasama internasional.
Tercatat ratusan ribu masyarakat terkena dampak secara langsung karena harus mengungsi, kehilangan pekerjaan, dan roda ekonomi lumpuh. Selain itu, anak-anak juga belum bisa bersekolah secara normal, jasa wisata lumpuh, koperasi terancam kesulitan likuiditas, dan pelayanan publik seperti penerbangan pesawat, terganggu. Menurut data BNPB (21/11), sebanyak 304 warga tewas, ratusan harus dirawat di rumah sakit, dan ribuan ternak mati. Sementara ribuan hektar lahan pertanian hancur, hutan lindung dan hutan masyarakat dalam skala ribuan hektar juga telah hangus oleh awan panas.
Selain itu, ribuan rumah yang dihuni oleh sekitar 2.400-an keluarga luluh lantak dan rusak, puluhan dusun hancur, dan ekosistem lereng selatan Merapi mengalami perubahan bentuk yang sangat radikal akibat daya jangkau awan panas yang mencapai sekitar 15 kilometer dari puncak. Dusun-dusun yang berada di antara Kali Kuning dan Kali Gendol kini tinggal menyisakan kenangan, pun sebagian dusun yang berada di timur Kali Gendol telah hilang dari peta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jalan Menuju Pemulihan yang Partisipatif
Pemulihan yang paling tidak mudah adalah bagi masyarakat berjumlah sekitar 2.400-an
keluarga dari Kecamatan Cangkringan Sleman dan Kecamatan Kemalang Klaten yang harus direlokasi dari permukiman dan dusunnya semula. Mereka harus memulai penghidupannya dari awal, karena aset-aset penghidupannya sudah luluh lantak oleh erupsi Merapi, baik itu rumah, tanah, lahan pertanian, ternak, kehidupan sosial, budaya, dan lainnya. Untuk itu, proses pemulihan ke depan seharusnya lebih banyak dikonsentrasikan dan difokuskan pada kelompok ini, walaupun masyarakat terdampak lain jangan pula dilupakan dan harus terus di-support proses pemulihannya.
Sampai saat ini belum diketahui secara persis kerugian yang diderita oleh para korban maupun fasilitas publik secara umum karena proses untuk melakukan penghitungan belum diketahui bagaimana posisinya. Meskipun menurut Tim Percepatan Pemulihan Ekonomi Pasca Bencana Erupsi Merapi Universitas Gadjah Mada, dampak ekonomi telah mencapai Rp 5 triliun (Tempo Interaktif, 18/11). Mengingat begitu penting dan strategisnya penghitungan dampak kerusakan dan kehilangan, dalam prosesnya harus mendahulukan dan mengutamakan partisipasi masyarakat yang terdampak dengan para pendampingnya.
Metode penilaian dampak akibat bencana yang populer di kalangan pemerintahan dan lembaga-lembaga internasional adalah DaLA (Damage and Loss Assessment). Metode yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 oleh Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Amerika Latin dan Karibian ini, yang dipromosikan lebih lanjut oleh Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa sampai saat ini, bertujuan untuk menilai kerusakan dan kehilangan akibat dari bencana, baik berupa aset-aset fisik misalnya infrastruktur publik dan perumahan, kehilangan potensi ekonomi akibat terhentinya proses produksi dan konsumsi, dan dampaknya secara luas terhadap ekonomi makro, contohnya pertumbuhan ekonomi.
Proses DaLA yang mensyaratkan adanya partisipasi dan koordinasi antar pihak ini haruslah partisipatif, dan informasi harus disampaikan secara terbuka. Dengan demikian, outputnya bisa dipastikan akan mendekati fakta yang sebenarnya atau tidak bias. TerlebihΒ hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi adalah hak prosedural sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh negara agar masyarakatnya bisa terlibat secara mendalam dalam proses-proses pembangunan dan memberikan kontribusinya secara partisipatif.
Metode selanjutnya setelah DaLA dilakukan adalah PDNA (Post Disaster Need Assesment) atau Penilaian Kebutuhan Pasca-bencana, dengan tujuan untuk mengetahui dampak sosial ekonomi dan respon yang dibutuhkan; mengidentifikasi biaya kerusakan dan kehilangan fasilitas publik dan aset fisik; mengidentifikasi pemulihan sumber daya manusia per sektor dalam jangka pendek, menengah, dan panjang; menginformasikan strategi pemulihan dan uaya untuk mengurangi resiko dari bencana; serta menyusun kerangka kerja pemulihan untuk memobilisasi sumber daya bagi proses pemulihan.Β
Sementara ini penulis menilai bahwa proses rekonstruksi dan rehabilitasi dilakukan secara kurang berhati-hati, terburu-buru, dan kurang partisipatif. Mungkin maksudnya dari pemerintah baik itu BNPB maupun pemerintah daerah tidak salah, yaitu agar masyarakat segera bisa memulai kehidupannya, misalnya dimulai dengan penyediaan shelter sementara bagi masyarakat yang kehilangan rumahnya.
Namun apabila partisipasi diabaikan dengan alasan kecepatan, maka dampak ikutannya akan sangat serius. Hal ini karena baseline data yang dihasilkan akan bias dan pada gilirannya akan memengaruhi ketepatan dan efektifitas intervensi yang akan dilakukan, baik oleh pemerintah maupun non pemerintah, seperti LSM, lembaga kemanusiaan, dan sebagainya.
Jalan bagi pemulihan bagi warga terdampak erupsi Merapi masih panjang. Masih ada waktu untuk menyempurnakan proses awal program pemulihan kehidupan pascaerupsi Merapi secara lebih partisipatif dan berpihak pada kepentingan jangka panjang warga terdampak. Partisipasi sangat penting walaupun kadangkala akan membutuhkan waktu dan sumber daya yang lebih besar, namun sangat mendasar karena meletakkan pondasi bagi keberlanjutan program dan kemandirian warga terdampak arau rasa memiliki (sense of ownership).
Apalagi sifat dan model intervensi dari aktor-aktor di luar masyarakat sasaran, yaitu pemerintah, terlebih aktor non-pemerintah, sangat singkat, sekadar memfasilitasi, dan tidak bisa terus menerus. Dalam konteks ini, pendekatan hak asasi manusia dalam proses pemulihan pascabencana sangat relevan, yaitu membuka partisipasi dari masyarakat terdampak, memenuhi hak atas informasi secara berkualitas, menyediakan prosedur untuk menanggapi keluhan dan mekanisme untuk mengatasinya, dan memastikan bahwa semua korban mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi (non-discrimination).
*) Mimin Dwi Hartono adalah pengurus Yayasan Wana Mandhir.
(vit/vit)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini