Pasca terus meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM) dunia, menjadikan banyak pihak mencari sumber energi primer lain yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Gas merupakan salah satu bentuk energi primer yang saat ini banyak diminati oleh sektor industri dan infrastruktur tidak saja di Indonesia tetapi di seluruh penjuru dunia, khususnya pasca krisis global 2008. Jadi jangan heran jika harganya pun merangkak naik dan pasokan mulai langka.
Entah karena memenuhi eforia pasar gas dunia atau hanya ingin memenuhi kebutuhan menyumpal defisit APBN, Pemerintah melalui Badan Pengatur Migas (BP Migas) gencar mengekspor gas Indonesia ke pasar dunia tanpa memperdulikan kebutuhan pasar domestik yang terus membesar. Sehingga dengan adanya mis-manajemen pasokan gas saat ini krisis dan berdampak sangat luas di masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perkembangan Terkini
Beberapa wilayah Indonesia mengalami penurunan pasokan gas. Sehingga banyak kontrak penyediaan yang tidak bisa dipenuhi, misalnya kontrak pasokan untuk listrik dan industri di Jawa Barat yang mengalami penurunan pasokan pada periode Januari – Maret 2010 sekitar 130 BBTUD. Turun naiknya pasokan gas berdampak pada kerusakan fasilitas produksi, seperti gas engine untuk pembangkit listrik milik PT PLN. Dalam situasi seperti ini maka Negara berpotensi kehilangan penerimaan dari pajak dan deviden sekitar Rp 420 miliar per tahun dari beberapa BUMN, seperti PT PLN dan PT PGN.
Saat ini kebutuhan gas melebihi ketersediaan pasokan gas. Kontrak penyediaan gas ke PT PLN dan IPP (Independent Power Plant) sebesar 560 MMSCFD hanya dapat dipenuhi sekitar 215 – 385 MMSCFD ini sebagai dampak dari tidak stabilnya pasokan gas di hulu (sumber gas).
Sedangkan di sektor industri telah terjadi peningkatan permintaan tambahan pasokan gas sekitar 350 MMSCFD. Sedangkan pasokan gas yang harus dipenuhi sesuai dengan kontrak saat ini sekitar 220 MMSCFD saja belum sepenuhnya terpenuhi. Peningkatan permintaan pasokan gas ini terjadi seiring dengan pulihnya ekonomi global saat ini.
Dari segi jumlah, industri yang membutuhkan pasokan gas sesuai data di atas ada sekitar 650. Kondisi tersebut berdampak pada hilangnya produk domestik bruto (PDB) sekitar Rp. 73 triliun per tahun atau setara dengan hilangnya kesempatan kerja untuk sekitar 650.000 tenaga kerja. Potensi hilangnya PDB ini tentunya menurunkan daya saing industri Indonesia karena meningkatnya biaya produksi.
Di sektor ekonomi kekurangan pasokan gas untuk PT PLN berpotensi menghilangkan penghematan subsidi APBN untuk listrik sekitar Rp 7 - Rp 14 triliun per tahun. Dampak ini akan semakin buruk ketika Pemerintah tidak menganggarkan biaya bahan bakar minyak untuk listrik dalam APBN 2010. Akibatnya ada potensi pemborosan untuk pembelian BBM sekitar Rp 42,6 triliun per tahun.
Secara teknis, ketidakstabilan pasokan gas berpotensi merusak peralatan industri yang menggunakan gas sebagai energi primernya, seperti burner, boiler, gas turbine, gas engine dll. Kondisi ini menyebabkan hasil produksi kurang optimal. Sebagai contoh kasus pasokan gas dari Conoco Phillips (Cophi) sejak Oktober 2009, di mana pasokan maksimum mencapai 411 MMSCFD dan minimum sebesar 280 MMSCFD sangat mengganggu industri dan PT PLN. Ditambah lagi permintaan dari Singapura juga meningkat. Fluktuasi sebesar 130 MMSCFD ini akan merusak peralatan industri.
Secara sosial ekonomi dampak kekurangan atau ketidakstabilan pasokan gas dapat menghilangkan daya saing industri nasional di pasar domestik maupun ekspor. Ironisnya saat diterapkannya pasar bebas CAFTA dan pulihnya kondisi ekonomi dunia, produksi industri domestik tidak optimal akibat kekurangan pasokan gas. Kondisi kurangnya pasokan gas untuk industri dan listrik juga membuat hilangnya kepercayaan investor asing yang telah menanamkan modalnya dalam bentuk pabrik yang memerlukan pasokan gas namun tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah.
Lalu Apa Yang Dapat Kita Perbuat ?
Melihat dampak negatif yang ditimbulkannya, membuat Pemerintah harus benar-benar menugaskan pejabat yang kompeten untuk duduk di Kementerian ESDM dan BP MIGAS agar bisa mengatur dan menjaga 36% sumber pendapatan Negara dari sektor migas ini. Para pejabat tertinggi kedua lembaga publik ini harus “piawai” dan berani bernegosiasi dengan siapa pun. Jangan jadi jago kandang yang patut diduga justru menjerumuskan bangsa ini.
Dengan telah berlakunya UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada tanggal 1 April 2010 ini, Kementerian ESDM dan BP MIGAS sebagai lembaga publik WAJIB membuka semua informasi tentang lingkup tugasnya ke publik, sesuai Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Pangkas pasokan gas ke luar negeri sampai batas minimum saja. Jika perlu renegosiasi kontrak, mari kita lakukan dengan kepala tegak demi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Sisakan sumber daya alam Indonesia untuk generasi mendatang, jangan dihabiskan sekarang.
Tugas saya sebagai pemerhati kebijakan publik dan konsumen hanya sebatas mengingatkan para pengelola Negara, khususnya Menteri Koordinator Perekonomian (Menko Perekonomian) serta Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) agar mengawasi dengan ketat Kementerian ESDM dan BP MIGAS . Jika mereka tidak mampu, saya mohon Bapak Presiden bisa turun tangan menyelamatkan bangsa ini dengan keputusan yang tegas, lugas dan cepat.
AGUS PAMBAGIO (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen).
(nrl/nrl)