Mari Kita Jual Negeri Ini
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Mari Kita Jual Negeri Ini

Rabu, 27 Jan 2010 16:25 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Halaman Istana Merdeka ditaksir gempita. Puluhan ribu mahasiswa akan melakukan unjukrasa. Mereka memprotes kinerja Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua yang dinilai gagal. Amburadul menangani Bank Century, dan ‘no reken’ menguak aktivis yang hilang diculik. Ini ‘demo masa lalu’ di tengah ancaman masa depan yang tidak terbayangkan.

Unjukrasa telah menjadi gaya hidup negeri ini. Itu sebagai cerminan negara demokrasi. Tujuannya agar vox populi vox dei mendarah daging, kakek-nenek berkesadaran, dan cucu-cicit terlahir sebagai demokrat tulen.

Sebagai ‘penguasa’ rakyat harus cerdas dan matang. Itu syarat paripurnanya demokrasi. Tanpa itu negara akan chaos gara-gara ‘rakyat nyinyir’. Stabilitas terganggu, kesejahteraan terabaikan, dan demokrasi yang diidamkan beralih rupa menjadi anarkhisme. Maklum, demos kratos dan anarkhi memang sekeping mata uang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Otot-ototan, bentak-bentakan dan makian wakil rakyat adalah bagian dari itu. Ini sebagai bentuk ‘ketidakcerdasan’ dan ‘ketidakmatangan’. Mereka belum punya etika sebagai pembawa amanat rakyat. Dan belum dewasa sebagai etalase ‘suara Tuhan’.

Wakil rakyat menjadikan demokrasi sebagai ‘hantu’ yang ditakuti. Itu yang ditiru calon politisi dan calon wakil rakyat. Bukan diplomasi cerdas sebagai alat ungkap menggolkan ‘keinginan rakyat’, tetapi agitasi dan tindakan yang mendekati barbarik. Jangan kaget jika demo mahasiswa pun tidak jauh buah dari pohon tumbuh.

Aksi demonstrasi dan perdebatan yang terjadi semuanya mengatasnamakan rakyat. Memperjuangkan nasib rakyat. Rakyat yang mana? Rakyat hanya alat menutupi kepentingan pseudo segelintir elit politik. Bagi saya, demo yang berhati nurani hanya yang digelar kaum buruh memperjuangkan nasibnya.

Melihat apa yang terjadi, rasa-rasanya Indonesia ke depan bakal jadi koloni. ‘Penjajah’ telah diundang masuk sambil dikalungi bunga. Dimanja fasilitas dan kemudahan. Berkat itu kita bangga berkendara dan berbusana asing. Lahap menyantap makanan asing, belanja di toserba asing, serta kongkow di hotel asing. Sampai-sampai ‘jajan pasar’ buatan mbok-mbok pun tersingkir oleh jajan sama yang berpita imut-imut bak boneka barbie.

Tahun 2010 ini buruh pabrik dan home industry menjerit. Kesabaran mereka runtuh. Barang ilegal China menggusur produknya dari Pasar Tanah Abang dan terpaksa dijual sebagai barang afkir di Tegal Gubuk, Indramayu ternyata kini juga tertumbuk produk sama. Perdagangan bebas Asia berlaku efektif, hingga ‘pasar kaget’ itu juga tidak memberi ruang bagi garmen dalam negeri.

Kain made in China dan mainan anak memenuhi pasar. Hampir pasti tidak lama lagi seluruh pabrik lokal rontok, berguguran satu-satu, disusul PHK, amuk kaum buruh kehilangan mata pencaharian dan gelap mata akibat tangis anak dan istri yang tidak bisa makan.

Rakyat kecil dan kaum papa telah kalah segalanya. Mereka mau mengadu ke siapa? Wakil rakyat ribut untuk rebut jabatan bukan untuk mengembalikan uang rakyat (negara). Demo tidak punya dana. Mahasiswa yang perkasa tidak tertarik dengan ‘soal kecil’ urusan perut wong cilik.

Jika kue lokal kalah bersaing dengan kue asing, toko pracangan (toko kelontong) dikalahkan super market asing, garmen serta mainan anak lokal tidak laku, serta wakil rakyat dan mahasiswa hanya memperjuangkan ‘rakyat elit’, maka rakyat bawah yang mayoritas penghuni negeri ini nasibnya ibarat layang-layang putus tali. Untung masih ada Gusti Allah. Rakyat pasrah diri. Hanya Dia tempat berkeluh kesah.

Tapi adakah hanya wong cilik yang menderita akibat globalisasi? Ingat dua tahun lagi perdagangan bebas dunia berlaku di negeri ini. Pak Harto sudah menandatangani itu saat Bill Clinton datang ke Indonesia. Jika masa itu tiba, tidak hanya China menggusur pekerjaan ‘masyarakat bawah’, tapi kalangan menengah juga akan terjaring gelombang PHK.

Saat itulah seluruh perusahaan milik asing dikendalikan asing dan pribumi ribut sendiri. Berdemo memprotes kemana-mana. Bertindak anarkhis karena terlambat berkesadaran. Kasus SARA bagian tidak terpisahkan. Dan kita bakal meniru tingkah bonek yang cuma bermodal ‘nasionalisme’ doang.

Mari berjuang untuk rakyat yang sebenar-benar rakyat jika kita masih sayang terhadap negeri ini. Tapi jika egoisme dan pamrih sesaat yang menjadi tujuan, mari kita jual saja negeri ini.


*Djoko Suud Sukahar: pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.
(iy/iy)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads