Mau naik kendaraan umum tidak ada yang aman, nyaman dan terjadwal. Di sisi lain Pemda DKI Jakarta terkesan bingung. Bisa karena fulus minim atau tidak tahu lagi harus bagaimana mengurus kekusutan transportasi di wilayah DKI Jakarta. Padahal Gubernur DKI Jakarta seorang ahli transportasi.
Berdasarkan data dari Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya DKI Jakarta bulan Maret 2009, penduduk DKI Jakarta berjumlah sekitar 8,5 juta dan mendekati 12 juta saat jam kerja karena ada tambahan penduduk dari Bodetabek. Dengan total panjang jalan di wilayah DKI Jakarta sekitar 7.650 Km dan luas jalan 43 juta meter persegi, ternyata setiap harinya telah dipadati oleh lebih dari 5,5 juta motor ditambah dengan 3,5 juta mobil. Dengan tingkat pertumbuhan ruas jalan yang hanya 1% dibandingkan dengan pertumbuhan kendaraan bermotor sebesar 11%, jelas kondisi ini tidak seimbang.
Kepadatan penduduk dan kendaraan pribadi yang terus berebut ruang terbuka hijau dan jalan raya, harus segera diatasi. Pemda perlu mencari jalan keluar yang cerdas dan berani. Pilihannya membangun jalan tol dalam kota atau membangun angkutan umum modern yang aman, nyaman dan terjadwal. Kedua pendekatan tersebut dilakukan dengan anggaran yang kurang lebih sama, yaitu Rp 24 triliun. Kalau saya, lebih baik membangun angkutan umum yang modern bukan membangun jalan tol dalam kota. Mengapa? Mari kita bahas secara singkat dan padat persoalan ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Angkutan massal modern yang bisa diterapkan di Jakarta adalah Bus Rapid Transit (BRT) dan Mass Rapid Transit (MRT). MRT saat ini sedang dalam fase pengerjaan studi dasar oleh konsultan (Nippon Koei) sampai Februari 2011. Setelah itu akan dimulai dengan fase-fase selanjutnya, seperti studi konstruksi dan konstruksinya sendiri. MRT diharapkan akan siap uji coba operasi pada tahun 2016.
MRT pada tahap awal (Lebak Bulus-Dukuh Atas) diharapkan dapat mengangkut 23.000 penumpang/jam untuk satu arah atau sekitar 400.000 penumpang/hari. Jadi dipastikan akan dapat mengurangi kepadatan ruas Fatmawati - Bundaran HI karena para pekerja sekitar Sudirman akan memilih MRT yang lebih cepat dan nyaman. Dengan mempunyai MRT (meski masih 1 arah pendek) dipastikan DKI Jakarta sudah masuk menjadi salah satu kota modern dan beradab di dunia. Jadi tunggu apa lagi? Ayo cepat dibangun dan dioperasikan.
Di sisi lain Pemda DKI melalui Surat Gubernur DKI No. 453/-1.792.1 tertanggal 29 Agustus 2005 meminta dukungan Pemerintah Pusat supaya pembangunan 6 ruas jalan tol dalam kota di wilayah DKI Jakarta dilakukan dengan penunjukan langsung. Sementara di beberapa kota kelas dunia lain, seperti Boston di Amerika dan Seoul di Korea Selatan, jalan tol dalam kota dihancurkan karena ternyata menjadi penyebab kemacetan baru sehingga jalan tol dalam kota tak ubahnya tempat parkir raksasa di tengah kota. Lha kok Pemda DKI malahan mau membangun sekaligus 6 ruas jalan tol. Opo tumon ya?
Patut diduga niat pembangunan 6 jalan tol dalam kota DKI Jakarta ada udang di balik sepatu. Gubernur kala itu, Soetiyoso, ingin pembangunan 6 ruas jalan tol dalam kota dilaksanakan tanpa tender dan dikerjakan oleh PT Jakarta Tollroad Development (JTD), yang notabene katanya Pemda DKI Jakarta juga menjadi pemegang saham mayoritas di PT JTD tersebut. Patut diduga saham Pemda DKI Jakarta sangat kecil. Ini perlu diteliti secara lebih rinci siapa sebenarnya PT JTD tersebut. Untuk itu, mari kita teliti surat menyurat para pengambil keputusan di Republik ini tentang pembangunan 6 ruas jalan tol tersebut.
Terkait dengan permohonan Pemda DKI tersebut, Menteri Pekerjaan Umum (PU) pada tanggal 31 Oktober 2007 mengeluarkan Surat Dinas No. PR.01.02-Mn/575 kepada Menteri Koordinator Perekonomian selaku Ketua KKPPI. Isi surat tersebut intinya pertama menyatakan bahwa 6 ruas Jalan Tol Dalam Kota DKI Jakarta harus terkoneksi dengan Jaringan Jalan Lingkar Dalam, Jalan Tol Lingkar Luar I (JORR I) dan II (JORR II) dengan penambahan Jalan Radial Barat-Timur.
Dengan demikian sistem jaringan jalan tol di Jabodetabek membentuk Jalan Lingkar Terdalam, Lingkar Dalam, Lingkar Luar I, Lingkar Luar II yang dilengkapi dengan jalan-jalan radial.
Kedua, adanya opsi agar tender pembangunan 6 ruas jalan tol tersebut dilakukan secara terbuka di mana Pemda DKI Jakarta melalui PT JTD memiliki penyertaan sebesar 67% dalam bentuk kompensasi prakarsa, pengadaan tanah dan setoran tunai berdasarkan hasil audit. Untuk pelaksanaannya Menteri PU telah meminta dukungan Menteri Koordinator Perekonomian untuk penerbitan Peraturan Presiden karena aturan yang ada tidak mengizinkan proses penunjukan langsung.
Pada tanggal 3 Desember 2007, Menteri PU mengeluarkan Surat No. PR.01.02-Mn/645 yang ditujukan kepada Gubernur DKI Jakarta, perihal Persetujuan Prakarsa dan Pengusahaan 6 Ruas Jalan Tol Dalam Kota di Wilayah DKI Jakarta oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui PT JTD. Salah satu poin terpenting dalam surat tersebut (poin 3) adalah: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui PT JTD harus memenuhi syarat prakualifikasi, yaitu berupa PT JTD menyampaikan kemampuan untuk melakukan penyertaan ekuitas yang diperlukan dan didukung dengan laporan keuangan atau pernyataan pemegang saham PT JTD yang mencerminkan kemampuan dimaksud.
Menjawab Surat Menteri PU, Menko Perekonomian melalui Surat No. S-33/M. EKON/03/2008 tanggal 10 Maret 2008 dalam poin 5.2 menyatakan bahwa sebelum pelaksanaan pembangunan 6 ruas jalan tol dimulai harus dilakukan terlebih dahulu kajian teknis terhadap lokasi dan efektivitas on/off ramp, kajian manajemen lalu lintas untuk mengantisipasi kelancaran arus lalu lintas selama pelaksanaan proyek dan kajian AMDAL terutama menyangkut aspek penghematan penggunaan energi dan polusi udara yang ditimbulakan oleh emisi kendaraan.
Jadi Apa Yang Harus Dilakukan Pemerintah Pusat, Pemda dan Publik?
Dengan munculnya beberapa korespondensi para petinggi Negara dan wilayah tersebut, patut diduga pembangunan 6 ruas jalan tol dalam kota DKI Jakarta berbau tidak sedap dan menurut saya kegiatan ini harus dihentikan. Jangan terbitkan Peraturan Presiden tentang penunjukan langsung karena patut diduga akan merugikan Negara. Selain itu pembangunan jalan tol pada prinsipnya melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) publik, khususnya bagi publik yang tidak memiliki mobil pribadi.
Pembangunan jalan tol akan merusak tata ruang Kota Jakarta karena pertumbuhan kota akan mengikuti pertumbuhan jalan, akibatnya akan banyak pelanggaran tata ruang, sementara Pemda sangat lemah dalam menanganinya.
Saran saya sebaiknya Pemda DKI berkonsentrasi saja pada penyelesaian JORR I ruas Ulujami - Kapuk dan Bandara Soekarno-Hatta (W1 dan W2) serta akses Tanjung Priok (12,08 km) yang sampai saat ini masih terbengkalai. Jangan bermimpi 6 ruas tol dalam kota dulu. Segera bereskan persoalan BRT (Bus Rapid Transit) yang sekarang jalan di tempat dan pembangunan MRT. Juga jangan coba-coba Pemda menyodorkan BUMD yang ternyata pemegang saham mayoritasnya bukan Pemda DKI.
Akhir kata mohon Direktur Pencegahan KPK sudah mulai masuk untuk mengawal proyek jalan tol ini, termasuk memeriksa komposisi pemegang saham di PT JTD. Langkah ini perlu diambil karena patut diduga uang rakyat akan kembali disedot oleh pencari rente yang tidak bertanggungjawab tetapi mengatasnamakan Pemda DKI.
Agus Pambagio (Pemerhati Kebijakan Publik dan Pelindungan Konsumen).
(nrl/nrl)











































