Waduh pakai LA? Apa ya pesawatnya? Mudah-mudahan Boeing 737 900 ER, jangan MD 82/83/90 karena MD 90 JT 972 dua minggu yang lalu baru saja crash landing tanpa roda depan di Bandara Hang Nadim (BTH), Batam.
Doa sudah mulai saya panjatkan sejak meninggalkan kantor menuju Bandara Soekarno-Hatta (CGK). Benar saja ketika check in, ternyata pesawat yang akan saya tumpangi adalah jenis MD 90. Kekhawatiran saya terbukti, keberangkatan ditunda sampai 4 jam karena kerusakan teknis pesawat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bicara soal pesawat jenis MD (baik MD 82, MD 83 maupun MD 90) yang saat ini hanya dioperasikan oleh maskapai penerbangan LA, saya meragukan proses pemberian sertifikasi laik terbang oleh Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara (DSKU), Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (DJU). Keraguan saya muncul karena begitu banyaknya pesawat jenis ini yang mengalami gangguan dan bahkan celaka, baik saat lepas landas, mendarat ataupun saat melakukan manuver di taxi way.
Saat ini tinggal 4 pesawat jenis MD 90 yang masih dioperasikan oleh LA. Sedangkan beberapa pesawat (kurang lebih 15) tipe MD 82 dan MD 83 yang relatif tua dan tidak berteknologi canggih masih dioperasikan oleh maskapai penerbangan Wings Air (anak perusahaan LA). Sejak 31 Oktober 2003 sampai hari ini sudah ada 12 MD (MD 82/83/84) yang mengalami insiden yang tidak memakan korban (gagal lepas landas, pecah ban, tergelincir dll), hanya 1 pesawat MD 82 yang celaka dan menewaskan 26 penumpang di Bandara Adi Soemarmo pada tanggal 30 November 2004.
Di tengah-tengah usaha Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (DJU) melakukan pembenahan demi ditariknya larangan terbang maskapai Indonesia oleh Uni Eropa (UE), insiden demi insiden pesawat jenis MD terus berlangsung dan ini dikhawatirkan akan menambah catatan UE untuk tidak segera membebaskan Indonesia dari Community List atau larangan terbang.
Apa yang salah dengan pesawat MD ini, baik MD seri 80 maupun seri 90? Apakah Direktorat Angkutan Udara (Dirangud) dan DSKU di DJU tidak menelitinya dengan benar saat akan memberikan izin rute terbang dan CoA (Certificate of Airworthiness) atau sertifikat kelaikan udara? Mari kita bahas secara singkat.
Sedikit tentang MD 90 LA
MD 90 merupakan pesawat canggih generasi baru sekelas Boeing 737 400 atau Airbus 320. Namun dengan dimensi panjang MD 90 yang 46,5 m dengan bentang sayap 32,87 m membuat pesawat ini lebih panjang jika dibandingkan dengan dua pesaingnya. Panjang Boeing seri 400 hanya sekitar 36,5 m dengan bentang sayap sekitar 28,9 m. Sedangkan panjang Airbus 320 sekitar 37,57 m dan bentang sayap sekitar 34,10 m. Dengan demikian ground manuver untuk MD 90 harus lebih lebar. Pertanyaannya apakah semua bandara di Indonesia bisa didarati oleh MD 90?
Dua kasus MD 90 LA yang tergelincir ke rerumputan saat berputar haluan di Bandara Gorontalo beberapa waktu lalu, merupakan contoh kecil bahwa MD 90 memang perlu landasan yang lebih lebar. Pertanyaan berikutnya, mengapa MD 90 diberi izin untuk terbang ke Gorontalo kalau lebar landasannya tidak sesuai ? Patut diduga pejabat DJU yang berwenang mengeluarkan izin terbang ke bandara Gorontalo, dalam hal ini Dirangud, melakukan pat gulipat atau selingkuh hukum yang berlaku.
Penyebab tergelincirnya MD 90 di Gorontalo selain masalah lebar bandara, kemungkinan kualitas pilot juga perlu dipertanyakan. Menurut saya pilot MD 90 tersebut tidak terbiasa dengan spesifikasi pesawat MD 90 yang dikemudikannya karena minimnya pelatihan, khususnya di simulator. Bagaimana kondisi pilot pesawat MD 90 akan saya ulas pada tulisan saya berikutnya.
Terkait dengan lebar landasan dan ukuran pesawat, setiap bandara di seluruh dunia memiliki ukuran kekuatan dalam menerima beban yang disebut dengan PCN (Pavement Classification Number) yang diuji dan diklasifikasi oleh DJU sebagai otoritas penerbangan RI. Sedangkan untuk pesawat, setiap pesawat yang diproduksi selalu memiliki ACN (Aircraft Specification Number), yaitu suatu angka yang menunjukkan kekuatan pesawat untuk menjejakkan landing gearnya di suatu landasan.
PCN dan ACN sangat erat kaitannya. International Civil Aviation Organization (ICAO) akan merekomendasikan suatu pesawat dinyatakan legal mendarat di suatu landasan bila ACN lebih rendah atau sama nilainya dengan PCN-nya. Bila ACN lebih besar maka diibaratkan landasan tidak mampu secara hitungan teknis mendukung beban pesawat. Lalu akibatnya bagaimana bila dipaksakan? Landasan tahap demi tahap akan tergerus dan material landasan dapat terkelupas serta masuk kedalam mesin pesawat sebagaimana dikenal dan ditakuti oleh para aviator sebagai FOD (Foreign Object Debris).
Dapat kita bayangkan bila MD 90 ini landing lalu take off pada landasan yang PCN nya lebih kecil dari ACN MD 90, maka akan mengakibatkan benda-benda asing yang tidak tampak mata di atas landasan bertaburan. Lalu, misalnya tak lama kemudian ada pesawat lain yang PCN dan ACN-nya sesuai mendarat atau lepas landas pada landasan yang sama.
Apa yang terjadi? Si korban adalah si pesawat lain tersebut, bukan MD 90! Ancaman kerugian bukan hanya kepada mesin pesawat namun penumpang! Dampak FOD yg terburuk dapat terjadi tidak saja pada saat pesawat yang sedang lepas landas atau landing saja tetapi setelah lift off pun FOD ini berpotensial mengancam (ingat kejadian CONCORDE tahun 2000 di Paris setelah lepas landas?).
Patut diduga kasus FOD beberapa kali terjadi karena pilot pesawat MD 90 merusak runway dengan cara berputar ditempat (one wheel lock) agar pesawat terhindar terperosok masuk ke rumput sebagai akibat sempitnya ruang putar landasan. Pemaksaan ini akan mengakibatkan aspal terkelupas dan dapat mencelakakan pesawat lain. Masalah FOD ini jarang dikemukakan ke publik oleh otoritas penerbangan atau KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) saat ada korban pesawat kena FOD. Yang diketahui penumpang atau konsumen saat pesawat bermasalah hanya karena masalah teknis. Itu saja!
Langkah Regulator
Kondisi di atas sangat dipahami dan diketahui oleh DJU, tetapi mengapa bisa terus terjadi? Patut diduga, saat maskapai penerbangan memasukan permohonan untuk membuka rute baru ke Dirangud, seharusnya Dirangud tidak begitu saja menyetujui permohonan itu karena Dirangud mempunyai seluruh data teknis bandara di seluruh Indonesia. Kalau PCN dan ACN tidak cocok harusnya permohonan tersebut ditolak. Misalnya MD 90 tidak cocok untuk mendarat di bandara Gorontalo atau Ambon, ya jangan diberikan izin. Gitu aja kok repot.
Namun jika masalah PCN dan ACN sudah sesuai tetapi masih juga terjadi kecelakaan pada MD 90, maka Dirangud harus mengkaji ulang berat pesawat tersebut saat take off atau landing. Apakah sudah sesuai dengan yang diizinkan oleh Dirangud? Misalnya Dirangud memberikan izin MD 90 boleh take off dan landing di Bandara Gorontalo hanya dengan berat total 50% dari berat maksimum, tetapi ternyata aturan tersebut dilanggar.
Artinya pesawat terisi penuh 100%, baik penumpang maupun cargo (full pax dan full cargo)? Apakah Dirangud mengetahui dan kemudian melarang pesawat tersebut tinggal landas dan memberikan sanksi maskapainya? Tidak! Maklum patut diduga telah terjadi pembiaran hukum oleh regulator penerbangan (DJU). Artinya patut diduga keselamatan penumpang diabaikan demi keuntungan ekonomi maskapai penerbangan dan oknum regulator.
Untuk memberikan pemahaman kepada publik, saya mengajak Dirjen Perhubungan Udara yang baru, kebetulan juga sahabat saya, untuk segera melakukan pembenahan praktek-praktek pat gulipat seperti itu. Jangan sampai publik melakukan tuntutan hukum karena DJU melakukan pembiaran hukum yang dapat berakibat pada keselamatan penerbangan di Indonesia.
Saya tunggu kiprah DJU dan saya minta publik mengawasi dengan seksama. Jangan larang terbang (grounded) semua jenis MD, karena itu keputusan tidak cerdas, tetapi segera kaji ulang semua prosedur termasuk persoalan PCN dan ACN MD 90 sudah benar atau belum? Apakah SDM khususnya pilot sudah melalui pendidikan yang tepat untuk mengoperasikan MD 90? Jangan menunggu sampai jatuh korban lagi.
Agus Pambagio (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen).
(nrl/nrl)











































