Memang harapan macam itu yang kini bergelayut di benak segelintir elit Golkar. Pendeknya waktu menjelang contrengan dan kekurangsiapan partai ini dalam pemilu kali ini telah melahirkan keraguan massal. Ragu berhasil menang dalam pemilu, dan ragu partai ini bisa dipakai alat bargaining. Itu alasan kenapa partai ini disebut sedang memasuki ambang senja.
Partai yang pernah gemilang itu kini tidak kinclong lagi. Pangkal soalnya, selain elit partainya berhamburan membentuk partai baru, dan sebagian lagi sibuk mendandani diri sendiri, juga karena ‘salah kelola’ yang dipraktikkan ketua umumnya. Adakah dengan begitu elit yang tersisa itu loyalis Pohon Beringin? Martir yang siap ‘dikambing-hitamkan’ sebagai politisi gagal?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Partai yang terus memperoleh nilai jeblok di lembaga survei itu akhirnya harus siap menunggu nasib. Nasib yang membawanya ke jurang kejatuhan yang tidak terbayangkan. Rasa cemas dan was-was melanda seluruh jajaran partai ini. Para elit dibenturkan pada pilihan sulit. Terus berjuang dengan hasil ‘cebol merindukan bulan’. Atau kabur sebelum beringin ‘tumbang’.
Di tengah situasi itu segelintir elit tetap bertahan. Mereka menikmati buah simalakama. Mencernanya dengan perasaan berdebar-debar. Dan berharap ada kemenangan lain kendati Golkar kalah. ‘Golkar tulen’ itu yang sekarang mengadu peruntungan di tengah amukan badai yang merontokkan keperkasaan beringin. Mereka pun menggagas Munaslub agar dalam tempo singkat Partai Golkar bisa berdenyut kembali. Benarkah ini bentuk pengabdian terhadap partai?
Loyalitas memang penting. Tapi loyalitas dalam partai perlu dipertanyakan. Perpolitikan kita sudah lama kehilangan etika. Cash and carry dipraktekkan sehari-hari. Dan janji uang, upeti serta jabatan jadi tak terkendali. Adakah para elit ini tetap bertahan dan tidak hengkang dari Golkar karena janji-janji?
Coba saja masuk ke kubu Agung Laksono. Ketua DPR-RI ini secara matematis, harusnya berkibar di Golkar. Dia punya kapasitas untuk meluruskan jalan beringin yang berkelok-kelok. Tapi itu tidak terjadi. Ini artinya, JK tidak mempercayai Agung yang ‘kebetulan’ punya record ‘suka menyalib di tikungan’.
Tokoh kedua yang punya kans untuk ‘membangun’ kembali beringin adalah Surya Paloh. Orator ini dinamis dan ‘suka slonong boy’, serta lincah dalam memainkan peran yang menyentak siapa saja. Jika laki-laki ini diberi peran di detik-detik terakhir ini, mungkin nama Golkar yang mulai ‘terlupakan’ bisa sedikit didongkrak.
Figur ketiga yang diberi ‘permen rasa asam’ adalah Aburizal Bakrie. Dia tidak perlu ditanyakan dedikasi dan kemampuannya terhadap beringin. Namun mengingat penampilannya yang lembayung, rasa-rasanya Ical bukan sosok yang pas di tengah situasi yang mementingkan heroisme dan agitasi.
Tapi benarkah JK bakal meniru Harmoko yang menyerahkan jabatan Ketua Umum Golkar secara legowo? Skenarionya memang begitu. Jabatan itu dilepas bukan karena ditekan-tekan, tapi karena kebesaran jiwa sang ketua umum yang dilambari hasrat mulia agar Golkar eksis dan berjaya.
Politik bagi-bagi permen ternyata gampang mengikat kader Golkar bertahan. Tentu sambil menanti kapan jabatan ketua umum dilepaskan ‘pemiliknya’. (iy/iy)