Pengelolaan SDA dan Biaya Politik di Daerah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Pengelolaan SDA dan Biaya Politik di Daerah

Selasa, 16 Des 2008 10:47 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Saat orde baru berkuasa, kita hanya bisa mengurut dada ketika  para cukong dan pengikut cukong yang nota bene penguasa orde baru memperoleh Hak Penguasaan Hutan (HPH) maupun Kontrak Karya (KK) Pertambangan. Kekayaan hutan kita yang  berada diatas permukaan tanah dibabat habis. Secara ekonomis, negara hampir tidak mendapatkan penerimaan yang berarti. Rakyat sekitar hutan maupun penduduk provinsi di mana hutan tersebut ditumpas tetap miskin dan daerahnya tetap kumuh, namun pejabat dan aparatnya makmur. Booming hasil hutan 'spanyol' (separo nyolong) membuat golongan tertentu gemah ripah loh jinawi. Siapa yang melawan pasti  urusannya putus karir atau putus nyawa.

Pasca orde baru, saat uforia reformasi muncul, penggelap HPH dihukum ala kadarnya dan kekuasaan pemberi izin pemanfaatan hutan dan lahan beralih dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah (Pemda) tingkat Kabupaten,  sejalan dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Setelah hampir 10 tahun berjalan, ternyata juga tidak memberikan kemakmuran pada rakyat. Bahkan kerusakan hutan dan pengalihan tata guna tanah semakin merugikan bangsa ini.  Sumber daya alam kita lebih hancur karena menjadi 'rayahan' atau rebutan sekelompok orang yang mengaku penguasa baru yang saat orde baru hanya bisa menonton dan protes dengan alasan untuk kemakmuran daerah.

Kemiskinan semakin parah di daerah-daerah yang kaya sumber alam. Kalimantan sudah tinggal sejarah.  Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Papua juga sudah dieksploitasi besar-besaran tanpa ada proses penanganan dan penegakan hukum yang berarti karena semua daerah berpaling ke UU Otonomi. Departemen ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan seperti manula yang tak bergigi melawan kesewenangan Bupati dalam mengeluarkan izin perambahan hutan, fungsi alih lahan dan penguasaan pertambangan. Perjalanan saya ke Sulawesi minggu lalu membuktikan bahwa kerakusan manusia memang sangat dasyat sebagai akibat dari tingginya biaya politik di daerah. Sumber daya alam dijadikan sumber dana utama untuk biaya politik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengaturan Perizinan vs Masyarakat

Perjalanan darat saya dari Makassar - Palu - Poso - Bungku - Sorowako - Kolaka - Bombana Kendari menunjukkan bahwa tanah Sulawesi juga sudah dirambah habis seperti Kalimantan. Ada satu Kabupaten dalam kurun waktu 2 tahun telah mengeluarkan ratusan Kuasa Pertambangan (KP) baru.  Jadi jangan heran kalau akan muncul banyak KP yang saling tumpang tindih dengan KP dan KK yang pada akhirnya akan memicu munculnya konflik antara para pemegang KK, KP dan masyarakat. KP memang dikeluarkan oleh Bupati sedangkan KK dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.

Munculnya banyak  KP patut diduga menjadi salah satu penyebab rusaknya alam indah Indonesia, karena pemegang KP hanya berniat menjual hasil tambang yang dieksplorasi tanpa punya niat dan kewajiban untuk menormalisasi dan menghijaukan kembali lahan bekas tambang serta membangun industri pengolahan agar hasil tambang mempunyai nilai tambah bagi bangsa ini. Pemegang KP pada dasarnya adalah pengumpul atau pedagang yang tidak mempunyai pabrik pengolahan, tetapi hanya mengeduk hasil tambangnya dan langsung diekspor sebagai bahan mentah.

Pembicaraan saya dengan seorang petinggi Departemen menunjukkan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi memang  tidak dapat berbuat apa-apa jika Bupati telah mengeluarkan izin KP. Bisa dibayangkan dengan tidak adanya kewenangan Pemerintah Pusat dan Provinsi mengontrol pemberian izin KP oleh para Bupati, kerusakan lingkungan di negara kita tercinta ini akan semakin cepat.  Begitu pula dengan pemiskinan masyarakat di sekitar KP yang pada akhirnya dapat memicu konflik horizontal dan terhambatnya ekonomi lokal dan nasional.

Berbeda dengan pemegang KK, mereka tidak bisa hanya mengeruk tanah Indonesia dan menjual hasil tambangnya saja tetapi juga wajib  menormalisasi dan  menghijaukan kembali lokasi bekas tambang serta membangun pabrik pengolahan agar bangsa Indonesia dapat menikmati nilai tambahnya dari hasil eksploitasi tambang. Apalagi dalam RUU Minerba yang sedang digodok oleh DPR-RI jelas pemegang KP atau KK dilarang mengekspor bahan tambang dan mineral dalam kondisi mentah, artinya para pemegang KP harus mempunyai  pabrik pengolahan atau smelter. Sayangnya RUU Minerba terancam dead lock dan adanya ancaman dari sekelompok golongan yang akan membawa UU Minerba ini ke Mahkamah Konstitusi.

Pemegang KK umumnya perusahaan multinasional besar yang seharusnya mudah dikontrol dengan berbagai aturan yang mengikat. Dari perjalanan saya ke lintas Sulawesi minggu lalu terlihat bahwa pemegang  KK jauh lebih tertib daripada pemegang KP. Namun ketertiban itu sering dicederai dengan ulah Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten yang mempersulit pemegang KK melakukan usahanya. Adanya Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara No. 9 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah merupakan contoh inkonsisten peraturan yang tidak saja merugikan investor pemegang KK tetapi juga bangsa Indonesia.

Bagaimana bisa Pemerintah Daerah mengatur besaran dan pengelolaan dana sumbangan untuk Corporate Social Responsibility (CSR) para pemegang KK dan KP? Pemegang KK dan KP harus  menyetorkan dana CSR melalui Pemerintah Provinsi Sultra,  tidak dapat menggunakan langsung untuk masyarakat sekitar lokasi pertambangan yang memang paling memerlukan. Apalagi dana CSR tersebut masuk ke APBD yang penggunaannya  pasti  akan melebar ke berbagai sektor. Tidak hanya untuk pemberdayaan masyarakat sekitar wilayah KK  atau KP bersangkutan seperti yang termaktub dalam jiwa CSR. Siapa yang bisa menjamin bahwa dana CSR yang disetor tersebut tidak dipakai untuk membeli seragam atau mobil Gubernur ? Atau pembangunan jalan yang melintasi rumah para politisi yang berkuasa ?

Langkah-Langkah Antisipasi

Melihat carut marutnya pengelolaan sumber daya alam di tingkat Provinsi maupun Kabupaten, sebaiknya Pemerintah Pusat tidak lagi membiarkan para Bupati bebas memberikan KP kepada siapa saja tanpa pemenuhan persyaratan yang ketat seperti yang dikenakan pada pemegang KK. Sebaiknya Pemerintah Kabupaten dan Provinsi hanya memberikan rekomendasi saja, kuasa perizinan dikembalikan ke Pemerintah Pusat agar mudah dikontrol dan diambil tindakan jika berlawanan dengan UU yang mengaturnya.

Pemerintah Pusat dalam hal ini, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan  harus segera me-review semua peraturan yang diterbitkan daerah terkait pemanfaatan sumber daya alam karena tinggal inilah satu-satunya kekayaan kita dibandingkan dengan negara lain dan ini harus segera diatur dengan sangat ketat. Jika ada Perda atau Pergub atau Surat Keputusan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang undangan, harus segera dibatalkan. Kontrol dan perizinan secara nasional harus ada di salah satu instansi bukan tersebar di daerah.

Jangan didesentralisasikan  izin pengolahan sumber daya alam kita karena sistem ini akan mudah dieksploitasi oleh kelompok yang tidak bertanggung jawab untuk biaya politik. Pemekaran wilayah, Pilkada dan semua yang berbau politik patut diduga sebagian besar didanai oleh hasil eksploitasi sumber daya alam secara membabi buta. Munculnya KP baru pasca Pilkada patut diduga menjadi politik balas jasa Kepala Daerah yang memenangkan Pilkada kepada tim suksesnya.

Bupati sering tampak garang pada pemegang KK atau KP yang relatif tertib hukum. Dari sudut pandang saya setelah melihat sendiri dan hadir di beberapa pertemuan dengan Pemerintah Daerah, terkait pengelolaan sumber daya alam, saya berkesimpulan bahwa para Bupati itulah yang paling bertanggung jawab menjadikan masyarakatnnya semakin  miskin karena dia yang memberikan izin eksploitasi lahan secara tidak bertanggung jawab demi pemenuhan libido politiknya.  Bukan pemegang KK atau KP sekalipun.  

*) Agus Pambagio, Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen (asy/asy)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads