Jagal Motor di Jalan Raya
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Agus Pambagio

Jagal Motor di Jalan Raya

Senin, 27 Okt 2008 13:19 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Setiap hari sejak Matahari menampakkan diri di ufuk timur sampai menjelang tengah malam, 12 juta warga DKI Jakarta dan Bodetabek berebut ruang sempit di jalan raya demi akses menuju  kantor dan kembali rumah atau dari pertemuan satu ke pertemuan lainnya tepat waktu.  Berbagai kejadian akan kita temui atau lihat di jalan raya yang semakin hari semakin padat dan penuh emosi.

Kepanikan kita akan terlambat sampai di tempat tujuan diperparah dengan semakin banyaknya pengendara sepeda motor yang menyelinap di sekitar mobil atau trotoar tempat kita berjalan layaknya pemilik jalan raya. Sudah lima tahun belakangan ini sepeda motor menjadi raja jalanan mengalahkan angkutan umum yang dulu terkenal sebagai penguasa jalanan. Kecelakaan yang sering melibatkan motor vs mobil sudah merupakan kejadian biasa sehari-hari.

Yang mengkhawatirkan saya saat ini justru kecelakaan motor vs motor terus meningkat. Hampir setiap hari saya menyaksikan minimal 2 kai kecelakaan motor lawan motor di jalan raya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai pejalan kaki, saya sangat terganggu jika sedang berjalan di trotoar di Jabodetabek yang sudah semakin sempit  oleh pedagang kaki lima  dipenuhi pula oleh pengendara motor yang semakin ugal-ugalan mengambil jatah pejalan kaki di trotoar. Pengendara motor sepertinya sangat tidak peduli dengan pejalan kaki. Jalan raya sudah dipadatinya, trotoar pun diambilnya pula. Dua tahun lalu naik motor memang bisa mempersingkat waktu sampai ke tujuan tetapi saat ini naik motor sama macetnya dengan naik mobil.

Mobil baret atau penyok kesenggol motor sudah merupakan kejadian sehari-hari yang dialami pengendara mobil dengan pasrah. Kalau menyenggol mobil pengendara motor umumnya akan berlalu begitu saja tanpa berhenti dan minta maaf, bahkan kalau kita klakson mereka marah. Namun jika tersenggol mobil, pasti pengendara mobil diminta berhenti dan diwajibkan harus mengganti rugi.

Sopan santun di jalan raya memang sudah menguap. Jika terjadi kecelakaan antara mobil dengan sepeda motor, sudah dapat dipastikan mobilnya yang salah karena pengendara atau  pemilik mobil dianggap lebih kaya dari pengendara atau pemilik motor.  Mengapa  bisa  demikian? Apakah hukum memang sudah tidak berlaku lagi di jalan raya?

Antara Kepadatan dan Ketidakmampuan Aparat

DKI Jakarta dengan total panjang jalan 7.650 km dan luas jalan 43 juta m2 telah dipadati oleh 3,5 juta motor  atau 5,5 juta jika ditambah motor yang masuk wilayah DKI Jakarta dari Bodetabek dan ditambah dengan  2,5 juta mobil termasuk  bus kota atau 3,5 juta jika ditambah  dari Bodetabek.

Dengan tingkat pertumbuhan ruas jalan yang hanya 1% dibandingkan dengan pertumbuhan kendaraan bermotor sebesar 11%, jelas tidak seimbang dan akibatnya dapat kita lihat sendiri semakin hari jalanan di Jabodetabek semakin padat.

Jalanan superpadat di Jabodetabek tidak saja karena jumlah kendaraan yang sudah melebihi daya tampung jalan tetapi juga disebabkan oleh ketidakdisiplinan pengendara kendaraan bermotor, terutama pengendara motor dan kendaraan umum. Pelanggaran rambu sudah tidak terhitung.

Lihat saja di perempatan jalan, puluhan motor siap start layaknya di jalur balap tanpa memperdulikan lampu. Jika dari arah lain tidak ada kendaraan yang lewat, dapat dipastikan barisan motor ini akan menghambur melanggar lampu lalu lintas yang masih menyala merah.

Banyaknya sepeda motor berjalan berlawanan arah, melewati jembatan penyeberangan orang, masuk ke busway baik berlawanan maupun searah,  memaksa berjalan meskipun mobil atau motor di depannya sudah memberi tanda akan berbelok dan sebagainya, merupakan jenis-jenis pelanggaran yang dilakukan para pengendara sepeda motor sehari-hari yang kita lihat.

Mereka sangat tidak perduli dengan orang lain yang sama-sama pengguna jalan. Kalau kita ingatkan, mereka akan marah dan menantang kita berkelahi. Minta ampun dah!

Bisa dibayangkan jalan yang hanya tumbuh 1%/tahun dipadati oleh kendaraan umum yang "ngetem", arogansi pengendara sepeda motor dan kelakuan pengendara mobil yang serobot kiri serobot kanan membuat kita warga Jakarta pendek umur karena stres dan jagal massal  di jalan raya.

Semua ini karena patut diduga 80% pengemudi dan pengendara kendaraan bermotor di Jabodetabek memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM)-nya dengan cara membeli atau ujian kolektif. Sehingga mereka tidak paham arti rambu dan peraturan lalu lintas. Bagaimana bisa paham peraturan dan rambu lalu lintas kalau dapat SIM-nya tanpa ujian.

Jadi jelas memang karena aparat perlu dana yang tidak bisa diperoleh melalui anggaran belanja negara, maka aparat menjadi kreatif untuk mendapatkan tambahan dana. Mulai dari menyediakan pembuatan SIM massal, pungli pelanggar lalu lintas, dan berbagai kegiatan melanggar hukum lainnya. Bagaimana rakyat mau taat kalau aparat dan negara lepas tangan atau pura-pura tidak tahu?

Adakah Jalan Keluar?

Semua keruwetan di jalan raya seputar Jabodetabek sebenarnya dapat diurai jika Pemda mau melakukan  beberapa  langkah  strategis, berani dan gila! Seperti apa  itu dan bagaimana caranya?

Pertama, proses pengambilan SIM harus diperketat sehingga tidak lagi ada ujian SIM secara kolektif yang biasanya dilakukan oleh mahasiswa atau organisasi tertentu atau bahkan kursus mengemudi dengan alasan kemudahan administrasi.

Dalam ujian kolektif biasanya tidak semua pemohon ikut ujian tetapi semua pemohon akan dapat SIM. Bagaimana mereka bisa kita harapkan paham berlalu lintas kalau tidak pernah ikut ujian SIM atau bahkan baca buku tentang rambu dan peraturan berlalu lintas? Ujian SIM bagi warga negara harus dilakukan dengan benar dan tidak semua peserta ujian harus lulus dan dapat SIM.

Kedua, pihak Kepolisian harus tegas karena tindakan polisi menilang pelanggar lalu lintas dilindungi UU. Kalau polisi takut pada pelanggar lalu lintas, bagaimana  rakyat mau menghargai polisi?

Terkait dengan proses tilang memang ada baiknya pemerintah pusat segera memikirkan bagaimana supaya uang denda tilang tidak lagi masuk ke kas negara semua sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)  tetapi 50% dapat masuk ke Kepolisian sehingga bisa digunakan sebagai dana kesejahteraan polisi lalu lintas agar bersemangat menegakkan hukum dengan tegas  tanpa pungli.

Ketiga, Pemda harus membangun secara baik dan tuntas sarana transportasi umum modern yang nyaman dan aman. BRT (Bus Rapid Transport) atau busway sudah bagus namun pengelolaan busway yang dilakukan Pemda DKI masih sama dengan kalau mereka mengelola "oplet". Jadi jangan heran kalau busway akan segera menjadi PPD jilid II. Tanpa prasarana dan sarana angkutan umum yang modern, baik dan terintegrasi jangan harap pengguna kendaraan pribadi dan pengendara motor akan berpindah ke busway.

Keempat, Pemda DKI harus berani dan segila Pemda di Shanghai dan kota-kota lain yang sudah sejak tahun 2004 melarang motor masuk ke jalan-jalan protokol. Tanpa ini semua, jagal motor di jalan raya DKI Jakarta dan mungkin juga Bodetabek akan terus meningkat.

Beranikah Gubernur DKI menata jalanan di DKI Jakarta agar tidak bertambah macet? Saya pribadi kok ragu karena Gubernur kita saat ini sangat santun, pandai dan berhati-hati. Maaf Bang Foke, kita perlu Anda lebih tegas, berani dan nekat, demi Ibu Kota negara tercinta ini nyaman dihuni dan membanggakan untuk ditonjolkan di pergaulan global.

Saya tunggu kenekatan dan kegilaan Bang Foke mengatur DKI Jakarta, khususnya jagal motor di jalan raya.

Agus Pambagio (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen)

(nrl/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads