Maka layak di bulan ini, perayaan, nyekar, dan penghargaan untuk pahlawan berjalan tidak putus-putus. Pemerintah kembali memberi gelar putera-puteri yang rela korban nyawa demi Indonesia merdeka. Dan di Surabaya, parade kegiatan tahunan yang merefleksi peristiwa heroik itu juga kembali digelar.
Kita punya banyak pahlawan. Yang diberi atribut pahlawan maupun yang bukan. Dia berjasa untuk negara. Berkorban nyawa demi kemerdekaan. Korban apa saja menyokong jalan ke arah itu. Kita tabik untuk Mas Isman yang baru saja menerima gelar pahlawan, juga untuk mereka yang tidak dikenal, serta rakyat Surabaya hingga Malang Selatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita itu dikejar-kejar musuh sampai Malang Selatan. Kita tidak punya senjata yang memadai. Makan pun kita diberi rakyat di setiap daerah. Dari Surabaya hingga Malang Selatan. Jadi kita berjuang itu karena dukungan rakyat. Rakyat semua itu pahlawan," kata Gatut Kusumo almarhum, tokoh TRIP.
Menurut almarhum Ruslan Abdulgani, yang menyulut terjadinya perang besar-besaran di Surabaya dan menyebabkan terbunuhnya Jenderal Mallaby adalah tretan dzibik. Anak-anak muda Madura, yang kebetulan lewat depan penjara Kalisosok, sambil membawa bendera merah putih yang merahnya dari darah. Mereka berteriak merdeka di sepanjang jalan hingga di Gedung Internatio.
Di gedung ini sedang terjadi perundingan wakil Indonesia dan sekutu. Sorak itu direspons tentara yang berjaga di perundingan itu dengan tembakan senjata. Tak lama setelah itu terdengar ledakan di dekat Jembatan Merah yang berjarak 100 meter dari Gedung Internatio. Dan Jenderal Mallaby terbunuh.
"Saya tidak tahu nama anak-anak Madura yang ditembaki itu. Saya juga tidak tahu mereka saat itu masih hidup atau mati. Yang saya agak paham, ketika mobil Mallaby meledak, ada seorang pemuda menghampiri sayaΒ di selokan Jembatan Merah tempat saya bersembunyi. Dia membisiki 'Londone wis tak garap cak'. Belandanya (asal orang kulit putih disebut Belanda, pen) sudah tak bunuh," cerita almarhum.
Ini yang membuat Kota Surabaya dibombardir habis-habisan. Dari darat, laut dan udara. Ratusan ribu rakyat Surabaya berkalang tanah. Bung Karno tidak berdaya. Menyerahkan nasib rakyat Surabaya pada arek-arek Surabaya sendiri. Layak, peristiwa heroik bak dongeng itu diganjar dengan penyebutan kota ini sebagai Kota Pahlawan.
Namun zaman tidak berhenti. Lawan pun pastilah mimikri. Sulit menentukan kawan dan negator berdasar ciri phisik. Di tengah 'kali ilang kedunge lan pasar ilang kumandange' seperti yang tersurat dalam Jangka Jayabaya, kelak kita tidak hanya kesulitan menemukan pahlawan baru. Besar kemungkinan kita akan salah memilih pahlawan. Bisa-bisa kita mempahlawankan bajingan.
Agar itu tidak terjadi, biarpun sudah terlambat, bangsa ini harus kembali ke tradisi dan budayanya. Tanpa itu bangsa ini akan terjajah tidak tersadari kalau sudah dijajah. Sebab globalisasi hanya fatamorgana, menjebak bangsa-bangsa yang gampang tergoda untuk masuk arus ketidak-tahuan dan ketidak-pastian.
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya, tinggal di Jakarta
Halaman 2 dari 1
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini