Putusan MK telah membatalkan pasal 7 huruf r UU No 8 tahun 2015, tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Sebab pasal 'dinasti politik' tersebut dinilai inskonstitusional, bertentangan denganPasal 28 ayat (2) UUD 1945.
Menurut Mahfud, tidak ada yang dilanggar jika ada keluarga kepala daerah incumbent mencalonkan diri saat pilkada.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya pemerintah melalui pasal 7 huruf r UU tersebut, ingin membatasi paslon yang memiliki ikatan keluarga dengan incumbent. Lantaran selama ini paslon terpilih yang memiliki kekerabatan incumbent rentan lakukan korupsi. Hal ini sudah terjadi di beberapa daerah.
"Memang di Indonesia, fenomena ini menjadi problem. Karena (dinasti politik) bisa terjadi langkah-langkah (upaya) korupsi," lanjut Mahfud MD.
Untuk menyiasati potensi korupsi, Mahfud MD berpendapat agar instrumen hukum pilkada diperkatat. Sehingga potensi korupsi dari dinasti politik bisa diminimalisir.
"Apa yang (harus) kita lakukan, yakni instrumen hukum pilkada harus lebih ketat," paparnya.
Dia tak menampik sistem politik di Indonesia berbeda. Lantaran keluarga incumbent yang jadi kepala daerah di tempat lain berpotensi korupsi.
"Setiap orang yang memiliki hubungan keluarga dengan incumbent kok dilarang? Karena di Indonesia (pejabatnya) kreatif untuk korupsi," sindirnya.
Meski potensi korupsi dinasti politik ada, Mahfud MD menyebut masa depan Indonesia masih cerah. Ini bisa dilihat dari sejumlah kasus pelanggaran pilkada yang ditangani MK. Hal ini berbeda jika dibanding pada masa Orde Baru di mana pelanggaran pilkada hampir tak pernah diusut.
"Sehingga ke depan kita punya modal untuk maju," imbuh Mahfud MD.
Selain Mahfud MD, seminar yang selenggarakan Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII ini juga menghadirkan sejumlah pemateri. Seperti Ni'matul Huda, Guru Besar UII; Saldi Isra hakim MK; dan Riawan Tjandra, akademisi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). (sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini