Amira, seorang ibu asal Sudan, terbangun setiap hari dengan gemetar, dihantui oleh pemandangan pemerkosaan massal yang disaksikannya saat melarikan diri dari El-Fasher setelah kota itu dikuasai pasukan paramiliter.
Setelah pengepungan selama 18 bulan yang diwarnai kelaparan dan pengeboman, El-Fasher yang merupakan benteng terakhir militer Sudan di wilayah Darfur bagian barat, jatuh ke tangan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) pada 26 Oktober lalu. Militer Sudan dan RSF terlibat perang sejak April 2023.
Sejak saat itu, seperti dilansir AFP, Rabu (5/11/2025), muncul laporan tentang pembunuhan massal, kekerasan seksual, serangan terhadap pekerja kemanusiaan, penjarahan, dan penculikan di kota El-Fasher yang sebagian besar komunikasinya terputus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerkosaan itu merupakan pemerkosaan bergiliran. Pemerkosaan massal di depan umum, pemerkosaan di depan semua orang, dan tidak ada yang bisa menghentikannya," tutur Amira yang berbicara dari tempat penampungan sementara di Tawila, sekitar 70 kilometer di sebelah barat El-Fasher.
Amira yang merupakan ibu empat anak ini berbicara dalam sebuah webinar yang diselenggarakan kelompok kampanye Avaaz bersama beberapa penyintas kekerasan baru-baru ini.
Di Korma, desa berjarak 40 kilometer sebelah barat laut El-Fasher, Amira menuturkan dirinya ditahan selama dua hari karena tidak mampu membayar para petempur RSF untuk perjalanan yang aman. Bagi mereka yang tidak mampu membayar, sebut Amira, tidak akan mendapatkan makanan, air minum dan hak untuk pergi, dengan penyerangan massal terjadi di malam hari.
"Anda akan tertidur dan mereka akan datang dan memperkosa Anda," tuturnya.
"Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, orang-orang yang tidak mampu membayar, dan para petempur mengambil anak perempuan mereka sebagai gantinya. Mereka mengatakan, 'Karena Anda tidak mampu membayar, kami akan mengambil anak-anak perempuan Anda'. Jika Anda memiliki anak perempuan yang masih kecil, mereka akan segera mengambilnya," ucap Amira.
Menteri negara untuk kesejahteraan sosial Sudan, Sulimah Ishaq, mengatakan kepada AFP bahwa sedikitnya 300 perempuan tewas pada harinya jatuhnya El-Fasher ke tangan RSF. "Beberapa di antaranya setelah mengalami kekerasan seksual," ucapnya.
General Coordination for Displaced People and Refugees di Darfur, sebuah kelompok kemanusiaan independen, melaporkan sebanyak 150 kasus kekerasan seksual sejak jatuhnya El-Fasher hingga 1 November.
"Beberapa insiden terjadi di El-Fasher dan yang lainnya terjadi selama perjalanan ke Tawila," kata juru bicara organisasi tersebut, Adam Rojal.
Pekan lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengonfirmasi laporan mengkhawatirkan yang menyebut 25 perempuan diperkosa bergiliran ketika pasukan RSF memasuki tempat penampungan pengungsi di dekat Universitas El-Fasher.
Juru bicara kantor HAM PBB, Seif Magango, menyebut bahwa pemerkosaan itu dilakukan "di bawah todongan senjata api".
Simak juga Video: Konflik Sudan Lumpuhkan Sistem Kesehatan, Ibu Hamil Kesulitan Dapat Layanan











































