Warga Amerika Serikat melakukan demo besar-besaran di seluruh 50 negara bagian AS sambil menyerukan 'No Kings' atau bukan raja, sebagai pelampiasan kemarahan atas kebijakan Presiden AS Donald Trump. Demo tersebut salah satunya karena massa menilai adanya ancaman terhadap demokrasi di AS.
Dilansir AFP, BBC, dan CNN, Minggu (19/10/2025), ada sejumlah tema utama yang menjadi sorotan seperti ancaman yang dirasakan terhadap demokrasi, penggerebekan Imigrasi dan pengerahan pasukan pemerintah di kota-kota AS, serta pemotongan program federal, terutama layanan kesehatan
Demo yang digelar di Times Square, New York City, pada Sabtu pagi diikuti ribuan orang. Jalanan dan pintu masuk kereta bawah tanah dipenuhi pengunjuk rasa yang memegang spanduk bertuliskan slogan-slogan seperti "Demokrasi bukan Monarki" dan "Konstitusi tidak opsional".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyelenggara dan pengunjuk rasa yang turun ke jalan mengatakan acara tersebut berlangsung damai.
Anti-kekerasan adalah prinsip inti dari acara No Kings, demikian pernyataan kelompok tersebut di situs webnya. Penyelenggara juga mendesak semua peserta untuk mengurangi potensi pertengkaran.
Di New York, sebagian massa meneriakkan "inilah demokrasi" diiringi tabuhan drum yang hampir konstan di latar belakang, diiringi lonceng sapi dan alat-alat musik.
Departemen Kepolisian New York mengatakan lebih dari 100.000 orang telah berkumpul untuk berunjuk rasa secara damai di kelima wilayah kota, dan tidak ada penangkapan yang dilakukan terkait protes tersebut.
Di Times Square, seorang petugas polisi yang berjaga memperkirakan lebih dari 20.000 orang berdemonstrasi di 7th Avenue.
Ancaman Demokrasi
Dalam demo tersebut terdapat spanduk warna-warni menyerukan kepada masyarakat untuk "melindungi demokrasi,". Sementara massa aksi lainnya menuntut AS menghapuskan badan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) yang menjadi pusat tindakan keras anti-imigran Trump.
Para demonstran mengecam apa yang mereka sebut sebagai taktik keras miliarder Republik tersebut, termasuk serangan terhadap media, lawan politik, dan imigran ilegal.
"Saya tidak pernah menyangka akan hidup untuk menyaksikan kematian negara saya sebagai negara demokrasi," ujar seorang lansia, Colleen Hoffman (69), kepada AFP saat ia berdemo di Broadway, New York.
"Kita berada dalam krisis, kekejaman rezim ini, otoritarianisme. Saya merasa tidak bisa berdiam diri di rumah dan tidak berbuat apa-apa," lanjutnya.
Seorang penulis dan editor lepas, Beth Zasloff, mengatakan ia mengaku mengikuti demo di New York karena ia merasa marah dan tertekan atas apa yang disebutnya "gerakan menuju fasisme dan pemerintahan otoriter" yang terjadi di bawah pemerintahan Trump.
"Saya sangat peduli dengan Kota New York. Berada di sini bersama banyak orang lain memberi saya harapan," kata Zasloff.
Kritik Kebijakan Imigrasi
Diketahui, sejak kembali menjabat Gedung Putih pada bulan Januari, Trump telah menggunakan perintah eksekutif untuk membubarkan sebagian badan-badan pemerintahan federal dan mengerahkan pasukan Garda Nasional ke kota-kota AS meskipun ada keberatan dari gubernur negara bagian.
Ia juga telah meminta para pejabat tinggi penegak hukum di pemerintahan untuk mengadili mereka yang dianggap sebagai musuh-musuhnya.
Presiden mengatakan tindakannya diperlukan untuk membangun kembali negara yang sedang krisis dan menepis klaim bahwa ia seorang diktator atau fasis, sebagai sesuatu yang histeris.
Namun, para kritikus memperingatkan bahwa beberapa langkah pemerintahannya tidak konstitusional dan merupakan ancaman bagi demokrasi Amerika.
Sementara itu, seorang warga New Jersey yang tumbuh besar di Italia bernama Massimo Mascoli (68), mengatakan ia melakukan demo karena ia khawatir AS mengikuti jejak yang sama dengan negara asalnya pada abad lalu.
"Saya adalah keponakan seorang pahlawan Italia yang meninggalkan pasukan Mussolini dan bergabung dengan perlawanan," kata Mascoli.
"Dia disiksa dan dibunuh oleh kaum fasis, dan setelah 80 tahun, saya tidak menyangka akan menemukan fasisme lagi di Amerika Serikat."
Di antara kekhawatirannya, Mascoli khususnya mengkhawatirkan tindakan keras imigrasi pemerintahan Trump dan pemotongan anggaran kesehatan bagi jutaan warga Amerika.
"Kita tidak bisa mengandalkan Mahkamah Agung, kita tidak bisa mengandalkan pemerintah," ujarnya kepada BBC.
"Kita tidak bisa mengandalkan Kongres. Kita memiliki semua lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang semuanya menentang rakyat Amerika saat ini. Jadi, kita berjuang," ujarnya.
Protes Pemotongan Program Federal
Anthony Lee, yang bekerja di Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) dan merupakan salah satu dari banyak pegawai federal yang dirumahkan setelah penutupan pemerintah, mengatakan ia datang ke demonstrasi tersebut untuk melindungi layanan publik. Lee, presiden cabang Serikat Pekerja Departemen Keuangan Nasional di DC, menghadiri acara tersebut bersama sekelompok pegawai federal yang tergabung dalam serikat pekerja.
"Saya telah menjadi pegawai negeri selama lebih dari 20 tahun, dan melihat kehancuran yang dialami pemerintah kita, layanan publik kita, selama beberapa bulan terakhir sungguh menakutkan," kata Lee.
Trump Disebut Diktator
Pemimpin Minoritas Senat dan Demokrat New York, Chuck Schumer, juga bergabung dalam protes tersebut.
"Kita tidak punya diktator di Amerika. Dan kita tidak akan membiarkan Trump terus mengikis demokrasi kita," tulis Schumer di kolom X bersama foto dirinya yang sedang mengangkat spanduk bertuliskan "perbaiki krisis layanan kesehatan," katanya.
Tonton juga Video Trump: Kurasa Tak Ada yang Bisa Membuatku Masuk Surga











































