Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, terlibat dalam diskusi tentang kepemimpinan otoritas transisi pascaperang di Gaza, Palestina. Proposal yang berisi tentang pemerintahan sementara di Gaza itu disebut mendapat dukungan Amerika Serikat (AS).
Dilansir BBC, Minggu (28/9/2025), proposal yang kabarnya mendapat dukungan dari Gedung Putih itu disebut akan menempatkan Blair sebagai pemimpin otoritas pemerintahan yang didukung oleh PBB dan negara-negara Teluk sebelum menyerahkan kendali Gaza kembali kepada Palestina.
Kantor Blair menyatakan tidak akan mendukung proposal apa pun yang menggusur penduduk Gaza dari Gaza. Blair, yang membawa Inggris ke dalam Perang Irak pada tahun 2003, telah menjadi bagian dari pembicaraan perencanaan tingkat tinggi dengan AS dan pihak-pihak lain tentang masa depan Gaza.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada bulan Agustus 2025, dia juga bergabung dalam pertemuan di Gedung Putih dengan Trump untuk membahas rencana yang digambarkan oleh utusan AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, sebagai 'sangat komprehensif'. Namun, hanya sedikit informasi lain yang diungkapkan tentang pertemuan tersebut.
Rencana tersebut dapat menempatkan Blair sebagai kepala badan bernama Otoritas Transisi Internasional Gaza (Gita). Media Economist dan media Israel melaporkan rencana ini akan mengupayakan mandat PBB untuk menjadi 'otoritas politik dan hukum tertinggi' Gaza selama 5 tahun.
Rencana ini akan dimodelkan berdasarkan pemerintahan internasional yang mengawasi transisi Timor Timur dan Kosovo menuju status negara. Awalnya, rencana ini akan berpusat di Mesir, dekat perbatasan selatan Gaza, sebelum memasuki Gaza setelah Jalur Gaza stabil bersama pasukan multinasional.
Sebagai PM, Blair telah mengambil keputusan mengerahkan pasukan Inggris dalam Perang Irak 2003 yang dikritik keras dalam penyelidikan resmi atas konflik tersebut. Dia disebut telah bertindak berdasarkan intelijen yang cacat tanpa kepastian tentang produksi senjata pemusnah massal yang disebut-sebut ada di Irak.
Setelah meninggalkan jabatannya pada tahun 2007, Blair menjabat sebagai utusan Timur Tengah untuk Kuartet kekuatan internasional (AS, Uni Eropa, Rusia, dan PBB). Dia berfokus pada upaya membawa pembangunan ekonomi ke Palestina dan menciptakan kondisi untuk solusi dua negara.
Laporan mengenai diskusi tentang keterlibatannya dalam otoritas transisi untuk Gaza muncul setelah Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengatakan dia siap bekerja sama dengan Trump dan para pemimpin dunia lainnya untuk mengimplementasikan rencana perdamaian dua negara. Abbas menekankan penolakannya terhadap peran pemerintahan Hamas di Gaza dan menuntut pelucutan senjatanya.
Sepanjang konflik, berbagai proposal untuk masa depan Gaza telah diajukan oleh berbagai pihak. Misalnya, Donald Trump melontarkan rencana AS mengambil 'posisi kepemilikan jangka panjang' atas Gaza dengan mengatakan bahwa wilayah tersebut dapat menjadi 'Riviera Timur Tengah'.
Ide tersebut termasuk pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza yang melanggar hukum internasional. AS dan Israel mengatakan hal itu akan melibatkan emigrasi 'sukarela'.
Pada bulan Maret, AS dan Israel menolak rencana Arab untuk rekonstruksi pascaperang Jalur Gaza yang akan memungkinkan 2,1 juta warga Palestina yang tinggal di sana untuk tetap tinggal. Otoritas Palestina dan Hamas menyambut baik rencana Arab tersebut, yang menyerukan agar Gaza diperintah sementara oleh komite ahli independen dan pasukan penjaga perdamaian internasional dikerahkan di sana.
Pada Juli, sebuah konferensi internasional yang dipimpin Prancis dan Arab Saudi di New York mengusulkan 'komite administratif transisi' untuk Gaza yang akan beroperasi 'di bawah payung Otoritas Palestina'. AS maupun Israel tidak hadir dalam konferensi itu.
Deklarasi New York yang dihasilkan oleh konferensi tersebut kemudian didukung oleh mayoritas anggota Majelis Umum PBB dalam sebuah resolusi awal bulan ini. Awal pekan ini, Inggris secara resmi mengakui Negara Palestina, bersama Prancis, Kanada, Australia, dan beberapa negara lainnya.
Sebagai informasi, situasi kemanusiaan di Gaza semakin parah sejak militer Israel melancarkan perang di Gaza dengan dalih tanggapan atas serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023. Serangan Hamas itu sekitar 1.200 orang dan menyandera 251 lainnya.
Sementara, serangan Israel telah menewaskan sedikitnya 65.502 orang Gaza sejak Oktober 2023. Sebuah komisi penyelidikan PBB juga menyatakan Israel telah melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza, yang dibantah Israel.