Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah menolak dan mencabut visa para pejabat Palestina termasuk Presiden Mahmud Abbas. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan untuk mengizinkan Mahmud Abbas berpidato melalui sambungan video.
"Negara Palestina dapat mengirimkan pernyataan Presidennya yang telah direkam sebelumnya, yang akan diputar di Ruang Sidang Umum," kata keterangan PBB dilansir kantor berita AFP, Jumat (19/9/2025).
Debat Umum Tingkat Tinggi PBB akan dimulai pada 23 September ini di New York, AS. Rangkaian Sidang Majelis Umum PBB ke-80 ini telah dibuka sejak 9 September lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagaimana diketahui, Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa mereka tidak akan mengizinkan Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk melakukan perjalanan ke New York, untuk menghadiri Sidang Majelis Umum PBB, di mana beberapa negara sekutu AS akan mengakui negara Palestina.
Pemerintahan Presiden Donald Trump, seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, Sabtu (30/8), telah menolak dan mencabut visa untuk para pejabat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Otoritas Palestina, yang berbasis di Tepi Barat, menjelang Sidang Umum PBB karena telah "merusak prospek perdamaian".
Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS, yang enggan disebut namanya, mengatakan bahwa Abbas dan sekitar 80 warga Palestina lainnya terdampak oleh keputusan yang diumumkan pada Jumat (29/8) waktu setempat.
Abbas telah merencanakan perjalanan ke New York untuk menghadiri Sidang Umum PBB tingkat tinggi yang digelar secara tahunan di markas besar PBB di Manhattan, New York, AS.
Abbas juga awalnya dijadwalkan menghadiri pertemuan puncak, yang digelar oleh Prancis dan Arab Saudi, di mana Prancis, Inggris, Kanada, dan Australia telah berjanji untuk secara resmi mengakui negara Palestina.
Kantor Abbas mengatakan pihaknya terkejut dengan keputusan AS menolak dan mencabut visa tersebut. Ditegaskan bahwa keputusan semacam itu melanggar "perjanjian markas besar" PBB.
Berdasarkan "perjanjian markas besar" PBB tahun 1947, AS secara umum diwajibkan untuk mengizinkan akses bagi para diplomat asing ke markas PBB di New York.
Namun, Washington mengatakan mereka dapat menolak visa dengan alasan keamanan, ekstremisme, dan kebijakan luar negeri.
Departemen Luar Negeri AS membenarkan keputusannya itu, dengan melontarkan kembali tuduhan lama soal PLO dan Otoritas Palestina telah gagal dalam menolak ekstrmisme, sambil mendorong "pengakuan sepihak" atas negara Palestina.
"Ini demi kepentingan keamanan nasional kami untuk meminta pertanggungjawaban PLO dan Otoritas Palestina atas ketidakpatuhan mereka terhadap komitmen mereka, dan karena merusak prospek perdamaian," sebut Departemen Luar Negeri AS.
Para pejabat Palestina menolak tuduhan tersebut, dengan mengatakan bahwa perundingan-perundingan yang dimediasi AS selama puluhan tahun telah gagal mengakhiri pendudukan Israel dan mengamankan negara Palestina yang merdeka.
Dikatakan Departemen Luar Negeri AS bahwa mereka mendesak PLO dan Otoritas Palestina untuk "secara konsisten menolak terorisme", termasuk serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023. Abbas, dalam surat kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Juni, mengecam serangan Hamas dan menyerukan pembebasan sandera.
Departemen Luar Negeri AS juga menambahkan bahwa mereka terbuka untuk kembali terlibat "jika Otoritas Palestina/PLO memenuhi kewajiban mereka dan secara nyata mengambil langkah konkret untuk kembali ke jalur kompromi yang konstruktif dan hidup berdampingan secara damai dengan negara Israel".
Lebih lanjut, Departemen Luar Negeri AS mengatakan bahwa misi Palestina untuk PBB, yang terdiri atas para pejabat yang bermarkas permanen di sana, akan terhindar dari pembatasan tersebut.
Lihat juga Video: Presiden Palestina Tolak Gagasan Pemerintahan Asing di Gaza