Parlemen Irak meloloskan amandemen undang-undang (UU) yang mengatur status pribadi di negara tersebut. Para penentang amandemen itu menilai hal tersebut sama saja melegalkan pernikahan anak, namun para pendukung amandemen menyebutnya sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.
Amandemen UU tersebut, seperti dilansir Associated Press dan The Guardian, Kamis (23/1/2025), meningkatkan kewenangan pengadilan Islam terhadap masalah keluarga, termasuk pernikahan, perceraian, dan warisan.
Para aktivis setempat berargumen bahwa amandemen itu melemahkan UU Status Pribadi tahun 1959 yang selama ini berlaku di Irak, untuk menyatukan hukum keluarga dan menetapkan perlindungan bagi perempuan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hukum yang saat ini berlaku di Irak menetapkan 18 tahun sebagai usia minimum untuk menikah dalam banyak kasus.
Amandemen yang diloloskan parlemen Irak itu, dinilai akan memungkinkan para ulama untuk menafsirkan sesuai penafsiran mereka terhadap hukum Islam, yang oleh sebagian pihak ditafsirkan memperbolehkan pernikahan anak perempuan di usia remaja -- atau pada usia 9 tahun di bawah mazhab Jaafari yang diikuti oleh banyak otoritas Syiah di negara tersebut.
Para pendukung amandemen itu, yang sebagian besar didukung oleh para anggota parlemen Syiah yang konservatif, memberikan pembelaan dengan menyebut amandemen tersebut menjadi sarana untuk menyelaraskan hukum dengan prinsip-prinsip Islam dan mengurangi pengaruh Barat terhadap budaya Irak.
Seorang aktivis HAM setempat, Intisar al-Mayali, yang juga anggota Liga Wanita Irak, menyebut diloloskannya amandemen UU Status Pribadi itu "akan meninggalkan dampak buruk pada hak-hak wanita dan anak perempuan, melalui pernikahan anak pada usia dini, yang melanggar hak mereka untuk hidup sebagai anak-anak, dan akan mengganggu mekanisme perlindungan untuk perceraian, hak asuh, dan warisan bagi perempuan".
Lihat juga Video: Momen Warga Irak Bersukacita Sambut Serangan Iran ke Israel
Simak berita selengkapnya di halaman berikutnya.
Sidang parlemen untuk memvoting amandemen UU itu berakhir ricuh dan dituding melanggar prosedur, karena ternyata amandemen diloloskan tanpa adanya suara mayoritas anggota parlemen.
"Separuh dari anggota parlemen yang hadir dalam sidang tidak memberikan suara, sehingga melanggar kuorum," kata seorang pejabat parlemen Irak, yang enggan disebut namanya. Dia menyebut beberapa anggota parlemen memberikan protes keras dan yang lainnya memaksa naik ke podium.
Setelah sidang digelar, beberapa anggota parlemen mengeluhkan proses voting atau pemungutan suara, di mana amandemen UU kontroversial itu divoting secara bersamaan dengan dua UU lainnya.
Namun ketua parlemen Irak, Mahmoud al-Mashhdani, justru memuji diloloskannya amandemen UU tersebut sebagai "sebuah langkah penting dalam proses meningkatkan keadilan dan mengatur kehidupan sehari-hari warga negara".
Lihat juga Video: Momen Warga Irak Bersukacita Sambut Serangan Iran ke Israel