Amerika Serikat (AS) akan menggelar Pemilihan Presiden (Pilpres) pada November 2024. Berdasarkan jajak pendapat terbaru, capres dari Demokrat Kamala Harris unggul tipis dari capres Republik Donald Trump.
Pemilu AS akan digelar pada 5 November 2024. Namun, pemungutan suara awal sudah mulai digelar.
Dilansir The Guardian, Senin (7/10/2024), lebih dari 1,4 juta orang telah memberikan suaranya dalam Pilpres tahun ini saat kampanye Harris dan Trump masih terus berlanjut di beberapa negara bagian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut pelacak jajak pendapat The Guardian per 5 Oktober, Harris diprediksi memimpin dengan perolehan 49,3 persen suara secara nasional, dibandingkan Trump dengan hanya 46 persen suara.
Angka tersebut dirilis saat pemungutan suara awal sudah berlangsung, dan menurut data Election Lab di University of Florida, lebih dari 1,4 juta warga AS telah memberikan suaranya hingga Jumat (4/10) siang waktu setempat. Keunggulan tipis Harris atas Trump itu serupa dengan analisis The Guardian pekan lalu.
Meski perolehan suara nasional atau popular votes penting, namun Pilpres AS yang menggunakan sistem electoral college membuat capres harus mampu mendapatkan 270 electoral colleges dari total 538 electoral colleges untuk memenangkan Pilpres. Jalan paling sederhana untuk mendapatkan hal tersebut adalah dengan memenangkan swing states.
Para pakar politik memprediksi pertarungan antara Harris dan Trump akan berlangsung sengit di sejumlah swing states. Swing states sendiri merupakan negara bagian yang menjadi perebutan suara dan ada kemungkinan untuk dimenangkan oleh capres Partai Demokrat atau capres Partai Republik.
Puluhan negara bagian AS lainnya memiliki riwayat sebagai blue states, yang artinya selalu dimenangkan oleh Partai Demokrat, atau red states yang selalu dimenangkan oleh Partai Republik.
Ada tujuh swing states yang menjadi perebutan suara dalam pilpres AS, yakni Pennsylvania, Michigan, Wisconsin, Nevada, North Carolina, Georgia dan Arizona. Harris dinyatakan memimpin di sebanyak lima negara bagian dari total tujuh negara bagian yang menjadi swing states.
Hal itu didasarkan pada angka rata-rata jajak pendapat untuk negara bagian berkualitas tinggi yang dikumpulkan platform analisis jajak pendapat 538 selama 10 hari terakhir. Namun secara keseluruhan, kedua capres tetap memiliki peluang kemenangan yang sama.
Sementara berdasarkan data jajak pendapat 538/ABC News per 7 Oktober, seperti dilansir BBC, Harris diprediksi meraup 48 persen suara dan Trump meraup 46 persen suara. Untuk perolehan suara di tujuh swing states, jajak pendapat 538/ABC News juga menunjukkan persaingan super ketat antara kedua capres.
Harris disebut unggul kurang dari 1 poin untuk negara bagian Pennsylvania, kemudian unggul 1 poin di Nevada, lalu unggul masing-masing 2 poin di Michigan dan Wisconsin. Sedangkan Trump disebut unggul kurang dari 1 poin di North Carolina dan unggul masing-masing satu poin di Georgia dan Arizona.
Selisih tipis juga ditunjukkan dalam jajak pendapat media terkemuka CNN yang dilakukan oleh SSRS, yang dirilis dua pekan lalu, yang menunjukkan Harris meraup 48 persen suara dukungan dan Trump meraup 47 persen suara dukungan.
CNN memprediksi Pilpres AS 2024 sebagai pemilu dengan selisih suara paling tipis dalam abad ini. Faktanya, berdasarkan laporan CNN, persaingan antara Harris dan Trump sejauh ini menjadi persaingan paling ketat untuk memimpin Gedung Putih dalam 60 tahun terakhir.
Laporan CNN juga menunjukkan jajak pendapat sejak 10 September lalu, ketika kedua capres melakukan debat publik, persaingan keduanya masih berada dalam batas margin of error dan terlalu sulit untuk diprediksi.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Capres Unggul Popular Vote Belum Tentu Menang di Pilpres AS
Sejarah pernah mencatat capres AS yang unggul dalam popular vote tetap kalah Pilpres. Salah satunya ialah Hillary Clinton.
Pada Pilpres AS 2016, Donald Trump sebenarnya kalah dalam popular vote secara nasional. Hillary masih sedikit lebih unggul dari Trump dengan selisih hanya sekitar 200 ribu suara.
Pemilu AS memberlakukan sistem electoral college yang bisa memicu situasi langka. Untuk pilpres tahun 2016, situasi langka itu terjadi, yakni saat presiden terpilih Trump tetap memenangi pilpres meskipun jumlah dukungan secara nasional terhadapnya jauh lebih sedikit dari rivalnya.
Penghitungan sejumlah media ternama AS saat itu, seperti CNN dan Washington Post, menunjukkan keunggulan tipis Hillary atas Trump secara nasional atau biasa disebut popular vote. Adapun yang dimaksud popular vote ialah jumlah akumulasi seluruh suara dari 50 negara bagian AS plus Washington DC. Artinya, Hillary mendapat lebih banyak suara rakyat AS dibanding Trump.
Penghitungan CNN saat itu menunjukkan Hillary memperoleh 48,5 persen. Sedangkan Trump memperoleh 46,4 persen popular votes. Namun, Trump menang lewat raihan 306 electoral college dari total 538 electoral college yang diperebutkan.
Berdasarkan laporan AFP, Trump merupakan presiden terpilih dari Partai Republik kedua yang mengalami situasi langka ini. Tahun 2000 lalu, George W Bush dari Partai Republik juga memenangi Pilpres AS meskipun kalah dalam popular vote melawan Al Gore dari Partai Demokrat.
Situasi saat itu menunjukkan Bush meraup 271 electoral college melawan Gore dengan 266 electoral college. Padahal, Gore jauh unggul dari Bush dalam popular vote, yakni dengan perolehan 48,4 persen melawan 47,9 persen.
Lalu, apa itu electoral college?
Suara elektoral atau electoral college sangat krusial dalam menentukan siapa yang akan menjadi Presiden AS. Suara elektoral, dalam sistem pemilu AS, adalah jumlah suara yang dipunyai oleh setiap negara bagian di AS.
Jumlah suara ini berbeda-beda di setiap negara bagian tergantung dari jumlah penduduknya. Negara bagian California misalnya memiliki 55 suara. Sementara, North Dakota hanya tiga suara. Total dari seluruh negara bagian adalah 538 suara.
Dalam sistem pemilu di AS yang biasanya dikuasai oleh dua calon, yakni dari Partai Republik dan Partai Demokrat, maka pemenang perlu meraih minimal 270 suara elektoral untuk memenangkan Pilpres. Suara elektoral didapatkan dari popular vote atau suara coblosan rakyat langsung di negara-negara bagian AS.
Untuk mendapatkan electoral college ini, diberlakukanlah sistem 'the winner take all' atau pemenang meraup semua electoral college di negara bagian yang dimenanginya lewat popular vote itu. Kemenangan tipis dalam popular vote di sebuah negara bagian bisa mengamankan semua suara elektoral negara bagian tersebut. Calon yang kalah tidak akan mendapatkan suara elektoral meski kekalahannya hanya 1 suara dalam popular vote.