Pilu Warga Gaza Terpaksa Berbagi Sepatu dan Pakai Baju Sama Berbulan-bulan

Pilu Warga Gaza Terpaksa Berbagi Sepatu dan Pakai Baju Sama Berbulan-bulan

Haris Fadhil - detikNews
Minggu, 18 Agu 2024 16:36 WIB
(FILES) A young Palestinian boy walks barefoot near stagnant wastewater in Deir el-Balah in the central Gaza Strip on July 19, 2024. Finding shoes and clothing has become increasingly difficult for the 2.4 million people living in the Palestinian territory besieged by Israel. (Photo by Bashar TALEB / AFP)
Foto: Kondisi warga kesulitan pakaian di Gaza akibat perang (AFP/BASHAR TALEB)
Gaza -

Selama berbulan-bulan, Safaa Yassin mendandani anaknya dengan pakaian putih yang sama. Kisah Yassin itu sangat umum di Jalur Gaza, Palestina, yang kini hancur akibat perang selama 10 bulan.

"Ketika saya hamil, saya bermimpi mendandani putri saya dengan pakaian yang indah. Sekarang, saya tidak punya apa-apa untuk dikenakan padanya," kata Yassin, salah satu dari ribuan warga Palestina yang mengungsi dari Kota Gaza, seperti dilansir AFP, Minggu (18/8/2024).

"Saya tidak pernah berpikir bahwa suatu hari saya tidak akan bisa mendandani anak-anak saya," kata wanita berusia 38 tahun itu, yang sekarang tinggal di Al-Mawasi, daerah pesisir yang ditetapkan sebagai zona kemanusiaan oleh pasukan Israel.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia mengaku sempat membawa pakaian yang ditemukan sebelum mengungsi ke selatan Gaza. Namun, katanya, pakaian itu tak lagi cocok dengan musim panas yang terjadi saat ini.

"Tetapi beberapa pakaian yang saya temukan sebelum mengungsi ke selatan ukurannya salah atau tidak cocok untuk musim ini," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Gaza saat ini dilanda suhu musim panas yang mencapai lebih dari 30 derajat celsius setiap hari. Menemukan pakaian, jenis apa pun, menjadi semakin sulit bagi 2,4 juta orang yang tinggal di Gaza yang dikepung Israel.

(FILES) A young Palestinian boy walks barefoot near stagnant wastewater in Deir el-Balah in the central Gaza Strip on July 19, 2024. Finding shoes and clothing has become increasingly difficult for the 2.4 million people living in the Palestinian territory besieged by Israel. (Photo by Bashar TALEB / AFP)oto: Kondisi warga kesulitan pakaian di Gaza akibat perang (AFP/BASHAR TALEB)

Gaza pernah memiliki industri tekstil yang berkembang pesat. Namun, hanya sedikit barang yang tersedia sejak perang pecah pada 7 Oktober 2023.

Warga lain, Faten Juda, juga kesulitan mendandani putranya yang berusia 15 bulan, Adam. Anaknya harus terhimpit dalam piyama yang tidak pas, lengan dan kakinya yang telanjang mencuat dari kain yang ketat.

"Dia tumbuh setiap hari dan pakaiannya tidak lagi pas untuknya, tetapi saya tidak dapat menemukan yang lain," kata pria berusia 30 tahun itu kepada AFP.

Kerudung yang Sama

Anak-anak bukan satu-satunya yang menderita kekurangan pakaian di Jalur Gaza, yang memiliki 900 pabrik tekstil pada masa kejayaan industri tersebut di awal tahun 1990-an. Sektor ini mempekerjakan 35.000 orang dan mengirim empat juta barang ke Israel setiap bulan.

Namun, jumlah tersebut menurun drastis sejak 2007 ketika Hamas mengambil alih kekuasaan dan Israel memblokade Gaza. Dalam beberapa tahun terakhir, pabrik-pabrik di Gaza telah menyusut hingga sekitar 100 dan hanya mempekerjakan sekitar 4.000 orang serta mengirimkan 30.000-40.000 barang per bulan ke Israel dan Tepi Barat yang diduduki Israel.

Pada bulan Januari 2024, tiga bulan setelah perang dimulai, Bank Dunia memperkirakan 79 persen dari perusahaan-perusahaan swasta di Gaza telah hancur sebagian atau seluruhnya. Pabrik-pabrik yang masih berdiri pun telah berhenti beroperasi setelah berbulan-bulan tanpa listrik di Gaza.

Setiap bahan bakar yang datang untuk generator sebagian besar digunakan untuk rumah sakit dan fasilitas-fasilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti gudang-gudang dan titik-titik pasokan bantuan. Dalam kondisi seperti ini, menemukan pakaian baru merupakan hal langka.

"Beberapa wanita telah mengenakan jilbab yang sama selama 10 bulan terakhir," tulis Philippe Lazzarini, kepala UNRWA, badan PBB yang bertanggung jawab atas pengungsi Palestina, di X.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

Mengenakan pakaian yang sama sepanjang waktu tidak hanya tidak menyenangkan, tetapi juga membahayakan kesehatan. Keterbatasan air untuk mencuci juga memicu kutu penyebar penyakit merajalela.

Ahmed al-Masri (29) meninggalkan rumahnya di Gaza utara saat perang dimulai. Kini, dia mengatakan tidak memiliki sepatu atau pakaian cadangan selama mengungsi.

"Sepatu saya rusak parah. Saya telah memperbaikinya setidaknya 30 kali, dan setiap kali membayar 10 kali lipat lebih mahal daripada sebelum perang," katanya, wajahnya yang kurus kering terbakar matahari.

Dengan dua pertiga penduduk Gaza hidup dalam kemiskinan bahkan sebelum perang, banyak orang terpaksa menjual pakaian mereka setelah konflik pecah dan semakin menghancurkan ekonomi.

"Tidak ada lagi sepatu atau pakaian yang bisa dijual", kata Omar Abu Hashem (25 tahun) yang mengungsi dari Rafah, di perbatasan Mesir, ke Khan Yunis yang lebih jauh di utara.

Abu Hashem meninggalkan rumahnya dengan tergesa-gesa sehingga tidak dapat membawa apa pun. Dia telah mengenakan sepasang sepatu yang sama selama lima bulan, tetapi hanya dua hari sekali. Dia berbagi sepatu dengan saudara iparnya.

"Saya berbagi sepasang sepatu dengan saudara ipar saya," jelasnya.

(FILES) A young Palestinian boy walks barefoot near stagnant wastewater in Deir el-Balah in the central Gaza Strip on July 19, 2024. Finding shoes and clothing has become increasingly difficult for the 2.4 million people living in the Palestinian territory besieged by Israel. (Photo by Bashar TALEB / AFP)Foto: Kondisi warga kesulitan pakaian di Gaza akibat perang (AFP/BASHAR TALEB)

Dia mengaku kerap takutan saat berjalan dengan kaki telanjang dan harus berjinjit di sekitar sampah serta puing-puing yang membawa penyakit dan berbagai macam kontaminasi. Sementara itu, Ahmed al-Masri hanya menginginkan sabun untuk mencuci satu-satunya kaus dan celana panjangnya.

"Saya telah mengenakan pakaian yang sama selama sembilan bulan. Saya tidak punya yang lain. Saya segera mencuci kaus saya dan kemudian menunggu hingga kering," katanya.

"Dan semua ini, tanpa sabun atau deterjen," sambungnya.

Perang Gaza ini diklaim oleh Israel sebagai balasan atas serangan Hamas yang terjadi pada 7 Oktober 2023 di wilayah Israel. Serangan Hamas itu mengakibatkan kematian sekirat 1.200 orang, serta menyebabkan 251 sandera di mana 111 di antaranya masih ditahan di Gaza.

Serangan Israel di Gaza, yang diklaim sebagai balasan dan upaya melenyapkan Hamas, telah menewaskan lebih dari 40 ribu warga Gaza dan menyebabkan hampir seluruh penduduk Gaza mengungsi. Serangan Israel juga telah menghancurkan sebagian besar perumahan dan infrastruktur lainnya di Gaza yang menyebabkan kekurangan pangan.

Halaman 2 dari 2
(haf/haf)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads