Pemimpin biro politik Hamas, Ismail Haniyeh, yang tewas dalam serangan di Iran, dikenal sebagai sosok yang keras dalam diplomasi internasional ketika perang melawan Israel berkecamuk di Jalur Gaza. Namun, Haniyeh juga dipandang lebih moderat dibandingkan para pejabat garis keras Hamas di Jalur Gaza.
Seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, Rabu (31/7/2024), Haniyeh yang lahir di al-Shati, sebuah kamp pengungsi Gaza, tahun 1962 silam ini terpilih menjadi kepala biro politik Hamas pada tahun 2017 lalu, menggantikan Khaled Meshaal.
Namun pada saat itu, Haniyeh sudah menjadi tokoh terkenal setelah sempat menjadi Perdana Menteri (PM) Palestina pada tahun 2006 menyusul kemenangan Hamas dalam pemilu parlemen pada tahun itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perjanjian pembagian kekuasaan yang rapuh antara Hamas dan gerakan Fatah, yang dipimpin Presiden Palestina Mahmoud Abbas, kolaps dengan cepat. Hamas kemudian mengambil kendali penuh atas Jalur Gaza sejak tahun 2007 setelah mengusir para loyalis Abbas dengan kekerasan.
Sosok Haniyeh yang dianggap pragmatis, diketahui selama ini tinggal di pengasingan, dengan membagi waktunya antara Turki dan Qatar. Kantor biro politik Hamas sendiri diketahui berada di Doha, Qatar.
Pada masa mudanya, Haniyeh dikenal memiliki sikap yang tenang dan pernah menjadi anggota cabang mahasiswa dari kelompok Ikhwanul Muslimin di Universitas Islam Gaza.
Dia bergabung dengan Hamas tahun 1987 ketika kelompok militan itu didirikan di tengah meletusnya intifada Palestina pertama, atau pemberontakan melawan pendudukan Israel, yang berlangsung hingga tahun 1993.
Pada masa itu, Haniyeh beberapa kali dijebloskan ke penjara oleh Israel dan kemudian diusir ke Lebanon bagian selatan selama enam bulan.
Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.
Lihat Video: Pemimpin Hamas Dikabarkan Tewas Terbunuh di Iran
Tiga anak laki-laki Haniyeh -- Hazem, Amir dan Mohammad -- terbunuh pada 10 April lalu ketika serangan udara Israel menghantam mobil yang mereka gunakan. Haniyeh juga kehilangan empat cucunya -- tiga perempuan dan satu laki-laki -- dalam serangan tersebut.
Haniyeh membantah tuduhan Israel bahwa putra-putranya merupakan petempur Hamas. Dia mengatakan pada saat itu bahwa "kepentingan rakyat Palestina diutamakan di atas segalanya" ketika ditanya apakah kematian keluarganya akan berdampak pada perundingan gencatan senjata.
Meskipun menyampaikan banyak pernyataan keras di depan publik, menurut para diplomat dan pejabat Arab, sosok Haniyeh dipandang relatif pragmatis dibandingkan dengan suara-suara garis keras di dalam Jalur Gaza, yang menjadi lokasi sayap bersenjata Hamas merencanakan serangan 7 Oktober ke Israel.
Israel menganggap seluruh kepemimpinan Hamas sebagai teroris, dan menuduh Haniyeh serta para pemimpin senior lainnya terus "mengendalikan organisasi teror Hamas".
Namun seberapa banyak Haniyeh mengetahui soal serangan Hamas pada 7 Oktober tahun lalu masih belum jelas. Rencana serangan itu, yang disusun oleh dewan militer Hamas di Jalur Gaza, merupakan rahasia yang dijaga ketat sehingga beberapa pejabat Hamas tampak terkejut dengan waktu dan skalanya.
Namun Haniyeh, yang seorang Muslim Sunni, memiliki andil besar dalam membangun kapasitas tempur Hamas. Salah satunya dengan menjalin hubungan dengan Iran, yang mayoritas Muslim Syiah, yang tidak merahasiakan dukungannya untuk kelompok tersebut.
Selama beberapa tahun ini Haniyeh menjabat pemimpin Hamas, Israel menuduh tim kepemimpinannya membantu mengalihkan bantuan kemanusiaan kepada sayap bersenjata kelompok militan itu. Hamas telah membantah tuduhan itu.
Sejauh ini belum ada komentar Israel atas laporan kematian Haniyeh.
Simak Video 'Pemimpin Hamas Tewas Seusai Hadiri Pelantikan Presiden Iran':