Sejumlah warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja sebagai pemetik buah di Inggris dipecat dan dipulangkan dalam beberapa pekan terakhir. Pemecatan itu dilakukan karena para WNI itu tidak memetik buah dengan cukup cepat.
Seperti dilansir The Guardian, Selasa (23/7/2024), situasinya semakin memprihatinkan karena para WNI itu telah membayar ribuan Poundsterling -- diduga pungutan liar -- untuk berangkat ke Inggris, demi bisa bekerja sebagai pemetik buah di sebuah perkebunan yang memasok banyak supermarket besar di sana.
Salah satu pekerja WNI itu mengakui telah menjual tanah keluarganya, serta sepeda motor miliknya dan orang tuanya, demi membayar biaya lebih dari 2.000 Poundsterling (Rp 41,8 juta) untuk bisa datang ke Inggris pada Mei lalu. Kini, dia mengaku tertekan karena menganggur dengan hanya memiliki sedikit harta benda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya merasa bingung, marah dan marah dengan situasi ini. Saya tidak punya pekerjaan di Indonesia, (dan) saya sudah menghabiskan seluruh uang saya untuk datang ke Inggris," tutur pekerja WNI yang tidak disebut namanya tersebut.
Kelompok pengawas eksploitasi tenaga kerja sedang menyelidiki dugaan bahwa pekerja WNI itu merupakan salah satu dari beberapa pekerja yang dipungut biaya ilegal hingga 1.000 Poundsterling oleh sebuah organisasi di Indonesia, yang dilaporkan mengklaim biaya itu membawa para pekerja ke Inggris lebih cepat.
The Guardian telah berbicara dengan empat pekerja yang dipecat, dan dalam tiga kasus terlibat bukti adanya biaya ilegal yang dibayarkan kepada pihak ketiga, selain lebih dari 1.000 Poundsterling yang ditransfer untuk tiket pesawat dan visa kepada perekrut dengan lisensi resmi.
Tuduhan soal pungutan liar yang dibayarkan di Indonesia itu, menurut laporan The Guardian, menimbulkan pertanyaan soal risiko eksploitasi dalam skema pekerja musiman, yang memungkinkan pekerja dari luar negeri mendapat visa enam bulan untuk bekerja di pertanian, tapi membuat mereka menanggung semua risiko finansial.
The Guardian memahami bahwa Menteri Imigrasi Inggris yang baru, Seema Malhorta, akan mempertimbangkan skema eksploitasi dalam sistem visa kerja untuk menekan praktik eksploitatif. Komite Penasihat Migrasi merekomendasikan bahwa visa musiman harus "menjamin ketahanan pangan", tapi harus mencakup lebih banyak mencakup soal perlindungan, termasuk jaminan kerja setidaknya dua bulan.
Simak berita selengkapnya di halaman berikutnya.
Saksikan juga 'Bareskrim Ungkap Kasus TPPO 50 WNI Dijadikan PSK di Australia':
Kasus pemecatan sejumlah WNI pemetik buah ini, menurut laporan The Guardian, melibatkan perusahaan bernama Haygrove di Hereford yang memasok buah-buahan lunak ke supermarket Inggris. Disebutkan bahwa Haygrove memberikan surat peringatan kepada lima pekerja WNI soal kecepatan pemetikan buah mereka, sebelum memecat mereka sekitar 5-6 minggu setelah mereka mulai bekerja.
Kelima WNI itu dipesankan tiket penerbangan pulang ke Indonesia oleh perekrut resmi mereka di Inggris keesokan hari usai dipecat.
Para pekerja WNI itu mengatakan bahwa target di perkebunan di Ledbury mencakup pemetikan 20 kilogram ceri dalam satu jam. "Sangat sulit untuk mencapai target karena hari demi hari, buah yang dihasilkan semakin sedikit," tutur salah satu pemetik buah asal Indonesia tersebut.
Dalam pernyataannya, direktur pelaksana pertanian Haygrove, Beverly Dixon, mengatakan bahwa perkebunan itu secara konsisten harus memberikan upah kepada para pekerja karena kinerja yang buruk dan telah menyokong mereka agar berusaha meningkatkan kinerja. Dia menyebut bahwa target "ditetapkan berdasarkan standar yang dapat dicapai dengan mayoritas pemetik buah terkadang mencapai lebih dari dua kali lipat kecepatan tersebut".
Kelima pekerja WNI, yang semua laki-laki itu, tiba di Inggris pada pertengahan Mei dan semuanya dipecat dari Haygrove pada 24 Juni lalu, dengan penghasilan yang didapat sekitar 2.555 Poundsterling (Rp 53,5 juta) hingga 3.874 Poundsterling (Rp 81 juta)
Setelah dikurangi biaya perjalanan ke Inggris dan biaya hidup, penghasilan para pekerja WNI itu hanya tersisa sedikit dan bahkan membuat mereka memiliki utang.
Dua pekerja WNI di antaranya, sebut The Guardian, melarikan diri ke London dan menolak pulang ke Indonesia pada 25 Juni lalu. Keduanya ini diberi pekerjaan baru di tempat penampungan di Inggris setelah ada intervensi dari aktivis kesejahteraan migran di sana.