Negara Mayoritas Muslim Tajikistan Larang Hijab, Ini Alasannya

Negara Mayoritas Muslim Tajikistan Larang Hijab, Ini Alasannya

Tim detikcom - detikNews
Selasa, 25 Jun 2024 13:36 WIB
Arab woman with veil against orange yellow sky
Ilustrasi (dok. Getty Images/iStockphoto/vanbeets)
Dushanbe -

Tajikistan yang merupakan negara mayoritas Muslim di Asia Tengah baru saja mengesahkan undang-undang yang melarang pemakaian hijab. Apa alasannya?

Seperti dilansir Euronews.com, Selasa (25/6/2024), pemerintah Tajikistan, yang merupakan negara bekas Uni Soviet di kawasan Asia Tengah, mengesahkan undang-undang yang melarang hijab di negaranya pada akhir pekan.

Undang-undang itu sebelumnya telah disetujui oleh majelis tinggi parlemen Tajikistan, atau yang disebut Majlisi Milli, pada Kamis (20/6) pekan lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Disahkannya undang-undang larang hijab itu dipandang mengejutkan, karena menurut sensus terakhir tahun 2020 lalu, Tajikistan yang berpenduduk 10 juta jiwa ini memiliki sekitar 96 persen penduduk beragama Islam.

Pada intinya, undang-undang itu melarang penggunaan "pakaian asing" yang termasuk hijab atau jilbab, atau penutup kepala yang dikenakan oleh perempuan Muslim. Sebaliknya, warga Tajikistan dianjurkan untuk mengenakan pakaian nasional negara tersebut.

ADVERTISEMENT

Mereka yang melanggar undang-undang itu akan dikenai hukuman denda dengan besaran yang bervariasi. Mulai dari denda sebesar 7.920 Somoni Tajikistan (Rp 12 juta) untuk warga negara biasa, denda 54.000 Somoni (Rp 82,6 juta) untuk pejabat pemerintah dan denda 57.600 Somoni (Rp 88 juta) untuk tokoh keagamaan.

Undang-undang yang melarang pemakaian hijab itu merupakan yang terbaru dari serangkaian 35 tindakan terkait agama yang dilakukan pemerintah Tajikistan.

Dalam penjelasannya, pemerintah Tajikistan menggambarkan langkah yang diambilnya tersebut sebagai tindakan untuk "melindungi nilai-nilai budaya nasional" dan "mencegah takhayul dan ekstremisme".

Simak juga Video 'Tiga Ciri Jati Diri Muslim':

[Gambas:Video 20detik]

Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.

Undang-undang serupa telah disahkan awal bulan ini, dan berdampak terhadap sejumlah praktik keagamaan, seperti tradisi berabad-abad yang dikenal di Tajikistan sebagai "iydgardak" di mana anak-anak mendatangi rumah-rumah untuk mengumpulkan uang saku pada Hari Raya Idul Fitri.

Terlepas dari itu, menurut Euronews.com, larangan hijab di Tajikistan dan undang-undang yang berdampak pada praktik keagamaan itu dipandang sebagai cerminan dari garis politik yang diupayakan oleh pemerintahan presiden seumur hidup, Emomali Rahmon, sejak tahun 1997 silam.

Presiden Tajikistan Bertekad Berantas Ekstremisme Sejak Lama

Diketahui bahwa Presiden Rahmon, yang berkuasa sejak tahun 1994, sudah sejak lama mengincar apa yang mereka gambarkan sebagai ekstremisme di Tajikistan.

Setelah perjanjian damai tercapai untuk mengakhiri perang sipil selama lima tahun pada tahun 1997 silam, Presiden Rahmon pertama kali menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan oposisi, Partai Kebangkitan Islam Tajikistan (TIRP), yang mendapatkan serangkaian konsesi.

Menurut perjanjian yang dimediasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perwakilan TIRP yang pro-syariat Islam akan berbagi 30 persen pemerintahan, dan TIRP akan diakui sebagai partai politik pertama pasca-Soviet yang didirikan berdasarkan nilai-nilai Islam.

Namun, Presiden Rahmon berhasil menyingkirkan TIRP dari kekuasaan, meskipun partai tersebut menjadi lebih sekuler seiring berjalannya waktu. Pada tahun 2015, Presiden Rahmon membubarkan TIRP setelah menetapkannya sebagai organisasi teroris usai partai itu diduga terlibat dalam upaya kudeta yang gagal.

Upaya kudeta gagal itu menewaskan Jenderal Abdulhakim Nazarzoda, seorang birokrat penting pemerintah Tajikistan.

Dalam situasi itu, Presiden Rahmon mengarahkan fokus pemerintahannya terhadap apa yang disebutnya sebagai pengaruh "ekstremis" di tengah masyarakat.

Setelah memberlakukan larangan hijab untuk lembaga publik, termasuk universitas dan gedung pemerintahan, pada tahun 2009, rezim Presiden Rahmon mendorong sejumlah aturan formal dan informal yang bertujuan mencegah negara-negara tetangga memberikan pengaruh tapi juga memperkuat kekuasaan.

Meskipun tidak ada aturan hukum soal memanjangkan jenggot di Tajikistan, sejumlah laporan menyebut penegak hukum mencukur paksa pria-pria yang berjenggot lebat, yang dipandang sebagai tanda potensial untuk pandangan keagamaan yang ekstremis.

Undang-undang Tanggung Jawab Orang Tua, yang diberlakukan sejak tahun 2011, mengatur hukuman untuk para orang tua yang menyekolahkan anak-anak mereka ke pendidikan keagamaan di luar negeri.

Undang-undang yang sama juga melarang anak-anak di bawah 18 tahun untuk memasuki tempat ibadah tanpa izin.

Sementara itu, laporan tahun 2017 yang dirilis Komisi Urusan Agama Tajikistan menyebut 1.938 masjid ditutup dalam waktu setahun dan tempat-tempat ibadah dialihfungsikan menjadi kedai teh dan pusat medis.

Rentetan undang-undang terbaru ini dinilai dipicu oleh serangan mematikan di Balai Kota Crocus di Moskow, Rusia, pada April lalu. Empat pelaku penyerangan yang ditangkap oleh otoritas Rusia disebut memiliki paspor Tajikistan dan dituduh sebagai anggota ISIS-Khorasan.

Presiden Rahmon dalam pernyataannya menegaskan dirinya ingin menjadikan Tajikistan sebagai negara yang "demokratis, berdaulat, berdasarkan hukum dan sekuler". Dia bahkan mengutip kalimat pembuka dalam Konstitusi Tajikistan tahun 2016 yang menganjurkan masyarakat untuk "mencintai Tuhan dengan hati".

Simak juga Video 'Tiga Ciri Jati Diri Muslim':

[Gambas:Video 20detik]

Halaman 2 dari 2
(nvc/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads