Pemerintah Amerika Serikat ternyata telah menghentikan pengiriman bom ke Israel sejak pekan lalu karena kekhawatiran negara itu akan menyerang kota Rafah di Gaza selatan. Ini menandai pertama kalinya dalam konflik tersebut, Presiden Joe Biden mengurangi bantuan militer kepada sekutu utama AS tersebut.
Washington menghentikan pengiriman 1.800 bom seberat 2.000 pon (907 kg) dan 1.700 bom seberat 500 pon (226 kg) setelah Israel belum "sepenuhnya mengatasi" kekhawatiran AS mengenai operasi darat besar-besaran," kata seorang pejabat senior pemerintah AS, seperti dilansir kantor berita AFP, Rabu (8/5/2024).
Hal ini disampaikan seiring Gedung Putih mengecam penutupan perbatasan Rafah dengan Mesir yang "tidak dapat diterima" setelah Israel mengirim tank-tank pada Selasa pagi waktu setempat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penghentian pengiriman senjata ke Israel ini menandai pertama kalinya Biden bertindak berdasarkan peringatan yang ia berikan kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada bulan April lalu, bahwa kebijakan AS terhadap Gaza akan bergantung pada bagaimana Israel memperlakukan warga sipil.
Pejabat AS itu mengatakan pemerintahan Biden mengambil keputusan mengenai senjata tersebut ketika tampaknya Israel berada di ambang operasi darat besar-besaran di Rafah. Rencana serangan darat ke Rafah ini telah ditentang keras oleh Washington karena lebih dari satu juta orang berlindung di sana.
Pejabat AS itu mengatakan Washington "secara khusus fokus" pada penggunaan bom terberat yang berbobot 2.000 pon "dan dampaknya di lingkungan perkotaan yang padat seperti yang kita lihat di wilayah lain di Gaza."
Simak Video: Hamas Ancam Tak Ada Gencatan Senjata Jika Israel Terus Serang Rafah
"Kami belum membuat keputusan akhir tentang bagaimana melanjutkan pengiriman ini," kata pejabat tersebut.
Departemen Luar Negeri AS masih mengkaji pengiriman senjata lainnya, termasuk penggunaan perangkat bom presisi yang dikenal sebagai JDAM, tambah pejabat itu.
Sebelumnya, Gedung Putih mengatakan bahwa Israel telah berjanji bahwa serangan militer ke Rafah pada Selasa pagi adalah "operasi terbatas" dan bukan invasi skala penuh yang dikhawatirkan.