Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa pembangunan kembali Jalur Gaza yang dilanda kehancuran akibat perang antara Israel dan Hamas akan memakan biaya sekitar US$ 30 miliar (Rp 482,5 triliun) hingga US$ 40 miliar (Rp 643,3 triliun).
Seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Jumat (3/5/2024), PBB juga menyebut bahwa pembangunan kembali Jalur Gaza akan memerlukan upaya besar-besaran dalam skala yang belum pernah terjadi sejak Perang Dunia II.
"Program Pembangunan PBB untuk rekonstruksi ... Jalur Gaza melampaui US$ 30 miliar dan bisa mencapai hingga US$ 40 miliar," sebut Asisten Sekretaris Jenderal PBB, Abdallah al-Dardari, saat berbicara dalam konferensi pers di Amman, Yordania, pada Kamis (2/5) waktu setempat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Skala kehancurannya sangat besar dan belum pernah terjadi sebelumnya... Ini adalah misi yang belum pernah ditangani oleh komunitas global sejak Perang Dunia II," ucapnya.
Al-Dardari menambahkan bahwa jika rekonstruksi Jalur Gaza dilakukan melalui proses normal, bisa memakan waktu beberapa dekade. "Itu akan memakan waktu puluhan tahun, dan rakyat Palestina tidak bisa menunggu selama beberapa dekade," ujarnya.
"Oleh karena itu, penting bagi kita untuk bertindak cepat untuk menempatkan kembali masyarakat di perumahan yang layak dan memulihkan kehidupan mereka menjadi normal -- secara ekonomi, sosial, dalam hal kesehatan dan pendidikan," cetus Al-Dardari dalam pernyataannya.
"Ini adalah prioritas utama kami, dan hal ini harus dicapai dalam tiga tahun pertama setelah penghentian permusuhan," tegasnya.
Simak berita selengkapnya di halaman berikutnya.
Lebih lanjut, dia memperkirakan total puing akibat pengeboman dan ledakan di Jalur Gaza mencapai 37 juta ton.
"Kita berbicara soal angka yang sangat besar, dan angka ini terus meningkat setiap harinya. Data terakhir menunjukkan jumlahnya sudah mendekati 40 juta ton," ujarnya.
Disebutkan juga oleh Al-Dardari bahwa "72 persen dari seluruh bangunan tempat tinggal telah hancur seluruhnya atau sebagian".
"Rekonstruksi harus direncanakan dengan hati-hati, efisien dan sangat fleksibel karena kita tidak tahu bagaimana perang akan berakhir," kata Al-Dardari.