Otoritas Filipina berhasil menyita sabu kristal seberat 1,8 ton dengan nilai pasaran diperkirakan melebihi US$ 230 juta (Rp 3,7 triliun). Presiden Ferdinand Marcos Jr menyebut penyitaan sabu tersebut sebagai sebuah rekor dan "pendekatan tepat" terhadap perang narkoba.
Seperti dilansir AFP, Selasa (16/4/2024), Kepolisian Filipina menemukan obat-obatan terlarang itu dalam penggeledahan sebuah van di Provinsi Batangas, selatan Manila, pada Senin (15/4) waktu setempat. Pengemudi van itu telah ditangkap.
Presiden Marcos yang memeriksa narkoba yang disita pada Selasa (16/4) waktu setempat, mengatakan bahwa ini merupakan "pengiriman sabu terbesar yang pernah terungkap" di Filipina.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sabu merupakan methamphetamine murah dan sangat membuat ketagihan, yang di Filipina disebut dengan istilah "shabu". Tidak diketahui secara jelas apakah Presiden Marcos merujuk pada rekor nilai pasaran atau kuantitas sabu yang disita.
"Namun tidak ada satu orang pun yang tewas, tidak ada yang tewas, tidak ada baku tembak, tidak ada yang terluka," ucap Presiden Marcos saat berbicara kepada wartawan setempat.
"Kami melakukan operasi ini dengan hati-hati. Itu pendekatan yang tepat, bagi saya, itulah pendekatan yang harus dilakukan dalam perang narkoba," imbuhnya.
Pihak kepolisian masih menelusuri sumber obat-obatan terlarang itu. Namun Presiden Marcos mengatakan bahwa narkoba itu tidak diproduksi secara lokal.
Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.
Saksikan juga 'Saat Pesta Miras-Obat di Malam Lebaran, 57 Pemuda Cianjur Diamankan Polisi':
Ribuan orang terbunuh dalam operasi anti-narkoba di bawah pemerintahan mantan Presiden Rodrigo Duterte, yang memicu penyelidikan internasional atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Perang narkoba terus berlanjut di bawah pemerintahan Presiden Marcos meskipun dia mendorong penekanan lebih besar pada pencegahan dan rehabilitasi.
Menurut data proyek penelitian Dahas yang didukung Universitas Filipina, lebih dari 600 orang tewas dalam pembunuhan terkait perang narkoba sejak Juni 2022.
Peneliti senior Human Rights Watch (HRW), Carlos Conde, menyebut penggerebekan narkoba pada Senin (15/4) waktu setempat membuktikan perburuan narkotika "bisa dilakukan tanpa kekerasan, jika otoritas benar-benar melakukan tugasnya dan mengikuti proses yang semestinya".
Conde menantang pemerintahan Presiden Marcos untuk menyatakan diakhirinya perang narkoba yang kejam dan membatalkan perintah Duterte untuk melakukan penindakan keras yang diwarnai pertumpahan darah.
"Sudah waktunya bagi Marcos untuk menerapkan pembicaraan soal reformasi kebijakan narkoba," cetus Conde.