Presiden Iran Ebrahim Raisi menuduh Amerika Serikat menggunakan "kebijakan destabilisasi" terhadap republik Islam tersebut yang tengah dilanda aksi-aksi protes atas kematian Mahsa Amini.
Gelombang kerusuhan telah mengguncang Iran sejak Amini (22), wanita Iran keturunan Kurdi, meninggal pada 16 September setelah penangkapannya oleh polisi moral di Teheran karena diduga melanggar aturan berpakaian untuk wanita.
Dilansir kantor berita AFP, Kamis (13/10/2022), kekerasan jalanan telah menyebabkan puluhan kematian, sebagian besar pengunjuk rasa tetapi juga anggota pasukan keamanan. Ratusan demonstran juga telah ditangkap.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menyusul kegagalan Amerika dalam militerisasi dan sanksi, Washington dan sekutunya telah menggunakan kebijakan destabilisasi yang gagal," kata Raisi pada pertemuan puncak di Kazakhstan.
Iran telah "membatalkan opsi militer Amerika dan ... memberikan kekalahan memalukan terhadap kebijakan sanksi dan tekanan maksimum," katanya, dikutip oleh kantornya.
Diketahui bahwa Washington telah memberlakukan serangkaian sanksi yang melumpuhkan terhadap Teheran sejak 2018, ketika presiden AS saat itu Donald Trump menarik negaranya dari perjanjian nuklir antara Iran dan kekuatan dunia.
Sebelumnya, pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei juga menuduh musuh bebuyutan Iran: Amerika Serikat dan Israel mengobarkan "kerusuhan".
"Hari ini, semua orang mengkonfirmasi keterlibatan musuh dalam kerusuhan jalanan ini," kata Khamenei.
Simak juga 'Penyebab Kematian Mahsa Amini Diungkap, Aksi Protes di Iran Masih Berlanjut':